Mba, aku ingin seperti mereka yang ada di televisi. Yang kemarin baru saja dikirim untuk mengikuti olimpiade fisika sedunia.
Mba tahu kan kalau nilai fisikaku bagus-bagus. Aku tersenyum gembira saat mendapat nilai tertinggi di kelas. Tapi kalau aku tunjukkan pada bapakku lagi-lagi jawabannya hanya berdehem. Ibuku? Tak jauh beda. Kata ibu: untuk apa toh nduk nilai setinggi langit, kamu itu seharusnya lebih sering bantu bapakmu nyari uang.
Tapi aku dapat nilai tinggi kan bukan untuk mendapat kebanggaan dari ibu dan bapakku ya mba? Pendidikan adalah ibadah, aku selalu inget kata-kata mba. Jadi walaupun ibu dan bapakku tampak tidak menghiraukan, tapi aku ingin Allah yang menyapaku atas semua usahaku mba. Boleh kan berharap seperti itu?
Kadang aku geli sendiri mba, kalau teman-teman lebih sering bertanya padaku ketimbang pada Pak Jono, guru fisika di sekolahku. Bagaimana tidak lucu, mereka bertanya padaku yang tidak punya buku di rumah. Aku hanya mengandalkan catatan dan ingatanku ketika membaca buku pinjaman dari temanku saat istirahat sekolah. Tapi semuanya lantas berubah menjadi kelegaan, merasa diriku bisa bermanfaat bagi orang lain merubah senyum geliku jadi senyum bahagia yang kuingin selalu berkembang selamanya.
Berlebihankah mba jika aku ingin menggantungkan cita-citaku disana, tinggi sekali?
Aku tergugu mendengar semua celotehnya.
Wie, semoga binar dimatamu tak pernah redup. Lalu sapaan-Nya yang kan kau dapati nanti.
Pagi-pagi sekali.
Mba, bapak sakit. Sudah tiga hari batuk darahnya tak henti juga. Ibu sudah semakin kurus saja. Tiga hari juga ibu tak tidur menemani bapak. Aku juga sudah tiga hari tidak masuk sekolah mba. Doakan bapak ya mba.
Wajahnya kuyu. Lelah jelas berbayang. Wie, ada cinta dalam tiap episode yang Ia hadirkan, percayalah.
Lalu seminggu kemudian.
Mba, yang ibu takutkan terjadi mba. Allah menghendaki bapak pergi meninggalkan kami. Meninggalkan ibu, aku dan dua orang adikku. Aku ikhlas mba. Aku sudah tidak tahan melihat bapak begitu menderita seminggu terakhir ini. Allah berikan yang terbaik bagi hamba-Nya. Itu yang selalu mba katakan padaku kan?
Wie, setabah itukah dirimu? Bahwa Allah pasti berikan yang terbaik bagi hamba-Nya.
Dua hari kemudian.
Mba tampaknya aku memang harus menggantung cita-citaku tinggi disana. Kini aku harus lebih memikirkan ibu dan adik-adikku mba. Aku tak ingin jadi manusia egois yang lebih mementingkan mimpiku. Aku ingin aku turut bermain dalam mimpi-mimpi ibu dan adik-adikku yang bisa kubantu mewujudkannya. Mulai besok aku berhenti sekolah mba.
Aku menghela nafas dalam. Wie, salahkah aku jika berharap binar di matamu tak kan pernah redup?
Inspired by iklan layanan masyarakat "pendidikan adalah ibadah".
Semoga semua anak negeri ini mendapat pendidikan selayaknya, lalu yang hadir kemudian adalah kemuliaan bangsa ini.
3 comments:
dek, tulisannya bagus banget sih. hiksss.... sedih bgt kalo inget nggak bisa banyak bantu sodara2.
seperti inilah yang terjadi padaku, bukan karena bapak tidak ada, tetapi mereka tidak pernah memikirkan akan jadi apa nantinya anak mereka... kedengarannya menyedihkan ya?
makasi semua, wie pasti seneng begitu banyak yang peduli ma dia :)
imponk--> mungkin sebenarnya bukan tidak peduli dengan masa depan anaknya, tapi mungkin tidak tahu bagaimana membahasakan kepeduliannya :)
Post a Comment