Monday, 13 December 2004

Kemala

"Anda yang bernama Kemala?"
"Iya pak".
"Selamat atas bergabungnya saudara di perusahaan kami."
"Terima kasih pak, saya mohon bantuannya"

Kemala muda yang sedang menaruh harap pada pintu masa depannya.

"Bu, saya ndak bisa sering2 pulang kampung. Pekerjaan menumpuk bu. Sebagai pegawai baru saya harus berupaya membangun kepercayaan orang-orang di kantor bu"
Penggalan surat pertama Kemala.

"Bu, bagaimana Bima bu? Sudah pintar apa? Saya ingin sekali membawa Bima kesini bu. Bisa ibu datang kemari?"
Penggalan suratnya yang kedua.

"Bu, Bima ndak betah disini. Rewel terus. Kalau bekerja, saya terpaksa menitipkannya pada ibu kos. Sepertinya untuk sementara waktu saya harus menitipkannya lagi pada ibu."
Penggal surat ketiga Kemala untuk ibunya.

Setelah itu, seminggu, dua minggu, hingga 4 bulan lamanya tiada kabar dari Kemala.

-----

"Ingat nduk, anak itu amanah. Apalagi anakmu. Ia sekarang hanya memiliki engkau, ibunya."
"Nggih bu, saya tahu itu. Tapi membesarkan anak butuh biaya bu. Dengan penghasilan seperti ini saya ndak bisa berharap banyak untuk memberikan kebutuhannya bu."
"Tapi pergi ke sana itu jauh sekali nduk. Sebentar lagi anakmu mulai menanyakan ayahnya. kalau ibunya juga harus pergi jauh, nanti bagaimana ibu menjelaskannya nduk."
"Bu, saya pergi untuk kebaikannya. Dan itu tak akan lama bu."

-----

"Saya terima nikahnya Kemala binti Wardini dengan mas kawin tunai."
Senyum mengembang di wajah kedua mempelai baru. Ada janji disitu, janji setia hingga akhir nanti.

Tiga bulan kemudian.
"Alhamdulillah mas, sudah positif dua bulan", ujar sang istri malu-malu.
Wajah sang suami kaget, namun sedetik kemudian berubah menjadi sumringah.
"Alhamdulillah dek, jaga kesehatan ya", ujarnya seraya mengecup sang istri mesra.

Enam bulan kemudian.
"Nduk, ibu ndak tahu bagaimana menyampaikannya. suamimu sekarang di rawat di rumah sakit. Kepalanya bocor setelah ditabrak mobil saat menyeberang hendak pulang. Pak Yadi tadi yang mengabari ibu."
Sesampainya di rumah sakit.
"Maaf bu, kami sudah berusaha melakukan usaha sebaik mungkin. Tapi bapak sudah tidak tertolong lagi."

Lalu tiba-tiba dunia menjadi gelap bagi Kemala.

-----

Kemala muda kini bukan lagi kembang desa nan pemalu. Kariernya semakin menanjak. Hidupnya semakin mapan.
Demi inikah ia gadaikan peran mulianya?

3 comments:

imponk said...

Memang idealnya seorang ibu adalah mendidik dan merawat anak. Dalam kondisi tertentu dapat juga sangat dilematis, disamping harus kerja untuk biaya keluarga, ia juga diberi amanah yang berat. Lantas, manakah yang lebih didahulukan?
Saya rasa bu Kemala yang lebih tahu. Tanyakan saja ke dia. Saya benar-benar nggak tahu, sungguh.... maaf nyah, maaf, hehehe

Anonymous said...

sedikit mengasah kemampuan analisis, untuk menempatkan segala sesuatu sebagaimana porsinya dengan orientasi solutif. Karena sebagai seorang afdhoh(kader dakwah) tidak semestinya kita hanya melempar qodhoyah(permasalahan) dan bersembunyi dibalik satu nama -"realitas".
Ada banyak kondisi yang harus dicermati,namun tetaplah Islam sebagai solusi.
Seseorang yang berpikiran besar tidaklah harus bekerja di perusahaan besar dg dalih mencari maisyah.Kalau utk mencari maisyah kan ga harus ke kota besar, meski di sana mungkin lebih menjanjikan.Namun kadangkala mengkompromikan idealisme dan realitas adalah cerita tersendiri.Diperlukan pionir? Semua pihak adalah pionir. Analisis kasusnya adalah :

1.Sebagai Kemala :
Coba kalau Kemala ikut tarbiyah,maka ia akan paham kedudukan wanita dalam Islam,termasuk bagaimana ia mempersiapkan pernikahannya dahulu. Salah satu muwasshofat seorg muslim adalah kadiirun alal kasbi yang artinya bukan berpenghasilan tetap tapi tetap berpenghasilan(artinya dia mampu berpenghasilan kapan saja). Ini juga berlaku bagi akhowat meskipun ia tdk memiliki kewajiban utk mencari nafkah. Seorg ustadz mengatakan bahwa seorg akhowat seharusnya memiliki ketrampilan yg diandalkan karena asumsi suami kita adalah mujahid yang bisa syahid sewaktu-waktu :)Kalau baca shiroh sahabiyah dapat kita lihat bahwa zainab dikenal pandai menyamak kulit sehingga ia adalah istri nabi yang paling panjang tangan(gemar bersedekah) dari hasil pekerjaannya sendiri padahal ia kaya raya dan putri seorg bangsawan, fatimah juga seorg pekerja keras -menggiling gandum meski ia putri seorg rosul dsb. Mereka bekerja tanpa harus melepaskan peranannya sebagai seorang ibu, buktinya lihatlah sejarah anak2 mereka. Tentang karir? Kalau baca bukunya "ibu kita kartini" , di akhir tulisannya kartini akhirnya sadar bahwa peranan wanita yang utama adalah di rumah, tapi ia harus tetap menuntut ilmu setinggi-tingginya karena wanita adalah "ummu madrosatun"(madrasah utama bagi anak-anaknya).Jadi sama sekali tidak benar jika wanita ujung2nya jadi istri dan cuman di rumah shg tidak butuh menuntut ilmu sebagaimana laki2.Namun lebih tidak benar lagi jika menjadikan alasan ini sebagai legitimasi untuk merintis karir setinggi2nya dan menyerahkan urusan rumah tangga pada pembantu(prt).Sayangnya tulisan kartini ini banyak disalah artikan oleh sebagian besar wanita,jd yg terjadi adalah kondisi kedua. Kalau melihat sejarahnya kartini menulis terinspirasi oleh tafsir Al-qur'an yang diterjemahkan oleh seseorg kepadanya, sayangnya terjemahannya baru sampai separuh al-qur'an pada surat An-Nur saja, dari ayat "minadzulumati ilan nuur" yang akhirnya ia terjemahkan sebagai habis gelap terbitlah terang sbg judul bukunya. Itulah sebabnya tulisannya seolah2 menyerukan bahwa kedudukan wanita sama dlm menuntut karir dg laki2,krn baru separuh qur'an yg ia telaah waktu menulis buku. Namun pada akhirnya dia merevisi bukunya dan menuliskan kesimpulan bahwa yang terbaik bagi wanita adalan di rumah- disamping suami dan anak2nya. Bekerja boleh2saja tapi tdk melupakan peranannya. Kalau misalnya harus bekerja, setidaknya dia harus menentukan tempat terbaik untuk menitipkan anaknya(alhamdulillaah pada kasus kemala pada ibunya bukan pada prt),juga tempat yg baik utk sekolah anak2nya(saat ini sekolah plus islami sudah banyak,adek sepupu saya yg sd sudah diasramakan jauh dr ortunya sejak usia 5 thn terbukti perkembangannya cukup bagus,disamping disekolahnya ditarget utk menghafal al quran sejak dini). Selain itu kalau mmg waktu kecil terpaksa harus dititipkan pada prt,carilah prt yg basic agamanya bagus(kl jenjang pendidikannya tinggi kayaknya susah,krn mereka ga bakal jd prt :P),kecuali kl mahasiswi kayak2 kita2 ini mau parttime jd babysitter.

2. Sebagai Bima
Ok, bima kecil mungkin trauma krn kurangnya perhatian. Jika di kemudian hari ketika ia dewasa tdk mendapatkan tarbiyah bisa jadi ia menjadi produk jaman seperti pada umumnya, tawuran,mabuk2an,terjerat dalam arus hedonisme dsb.Tapi bila ia mengikuti tarbiyah,kurangnya perhatian dari orang tua bisa diminimalisir, bukankah kesadaran cukuplah ALlah bagi hamba-hambaNya adalah yg utama?Ia mempunyai keluarga lain yaitu saudara2nya seakidah dlm bi'ah besar sebuah jamaah yang akan mengenalkannya indahnya ukhuwah. Kelak ketika ia dewasa dan mengerti konsep birrul walidain, ia akan mengerti betul perjuangan orang tua yang kini hrs membuat ia bersyukur bisa sekolah sampai jenjang di mana ia berada,coba kalau mereka tidak bekerja sekeras dulu?Rasanya yang tersisa bukan kemarahan pada mereka namun sedih sekali menyaksikan mereka tetap harus bekerja hingga saat ini demi semata2 membiayainya.

3. kita sesama akhowat
Nah, kl kita sebagai akhowat yg sudah tertarbiyah, realitas Kemala itu adalah tantangan bagi kita untuk menjadikannya sebagai mad'u yang harus segera digarap :) Sebagai akhowat kita lebih mudah mendekati mereka dibandingkan ikhwan. Btw kayak di cerpen2 dakwah kepada wanita karir apalagi jika penganut feminisme itu mempunyai tantangan tersendiri, dan kita harus siap untuk mendakwahkan bahwa islam menempatkan kedudukan wanita sebegitu mulianya.Dan tentu saja, bima yang masih kecil adalah objek dakwah yg cukup potensial juga. kl ada pengajian anak2 jalanan, pengajian utk anak2 yg kurang perhatian dr ortu tp masih berkecukupan scr materi lebih memungkinkan utk dilaksanakan, kenapa tidak?

4.Kita sebagai ikhwan
Nah inilah letak adilnya Islam yang kadang susah untuk kita terima. Wanita2 seperti mba kemala inilah yang harusnya dipikirkan para ikhwan untuk dipoligami, seperti Rosul yang bersedia mempoligami janda2 untuk menyelamatkan hidup dan akidahnya. Kenapa dipoligami? ko ga dinikahi saja? Kl yang ini sih kok rasanya sangsi menemukan ikhwan yg sedemikian mulianya bersedia memilih janda sementara banyak gadis yg belum diberdayakan :D Karena Rosul sendiri juga memerintahkan utk mengutamakan memilih gadis. Karena itu satu2nya solusi yg memungkinkan adalah poligami, dan betapa islam sangat adil menetapkan hukum2nya, termasuk poligami yang beberapa hari yg lalu sempat dihujat habis2an oleh istrinya Gus Dur.Pernah nanya ke teman seangkatan(muallaf) yg skrg sudah dikaruniai seorg putra dan menikah tanpa restu ortunya, "bagaimana kl misal suamimu nanti tiba2 tiada sementara kamu harus membiayai anakmu dan meneruskan kuliah yang tinggal sebentar lagi? Jawabnya:"Saya akan mempertimbangkan utk menikah lagi,meski mungkin susah bagi wanita utk melupakan suaminya(krn kecenderungan wanita utk mencintai satu laki2 saja sepanjang hidupnya,beda dg laki2).Tapi saya akan mencari suami baru yang mencintai anak saya,bukan sekedar mencintai saya dan tidak masalah apakah saya mencintainya juga atau tidak,termasuk ketika saya harus dipoligami." SubhanaLlaah jawabannya itu membuat saya takjub,jwban dr seorg akhwat yg baru memeluk islam beberapa bulan dibandingkan saya yg telah mengenal islam sejak lahir.Barangkali dia telah menemukan cinta sejati dari hakikat pernikahan,bukan sekedar cinta yang didefinisikan oleh anak2 abg dan sinetron2 masa kini.

5.kita sebg sesama wanita yg belum tarbiyah
Naah... makanya toh mbak, buruan ikut tarbiyah biar paham, biar kejadian kayak kemala itu ngga terulang lagi, gitu lhoh

6. Sebagai ibunya Kemala
sabar yaa bu ... hehe.... //dah capek ngetiknya neh ;)

//maap2 numpang ngeblog lagi di sini ;)

-md-

gitafh said...

makasi ya komentnya

btw md,gpp ko ikutan ngeblog disini :)

Iri

Ingin rasanya berada bersisian, berdampingan dengan teman-teman di lapangan yang sedang berjibaku tak kenal henti. Mereka diberi kesempa...