Thursday, 30 December 2004

untuk Risma

“Pasir ini hangat. Coba saja kau genggam. Dan tunggulah, sebentar lagi senja kan terlihat sangat indah.” Siluet dirinya sore itu terekam jelas di benakku.
“Kebersamaan seperti ini indah bukan? Sepertinya aku tak ingin kembali ke Jakarta. Ingin menikmati lebih lama lagi angin pantai ini.”
Lalu perlahan langit yang berangsur membentuk garis-garis indah yang menjadi saksi percakapan kami sore itu.

Risma, coba tunjukkan. Bantu aku mengingat kembali di mana pantai yang kita kunjungi sore itu. Tolong bantu aku menemukan barisan nyiur nan indah dan kehangatan pasir sore itu. Dimana Risma semuanya? Dimana?
Kotaku seperti kota mati, kota hilang yang terendam. Mengapa Lumpur yang menggantikan kehangatan pasir? Mengapa semilir angin pantai terganti bau tak sedap yang membuat semua orang menutup hidungnya?
Aku tahu aku sedang bermain dalam ribuan tanya tak perlu jawab.

Risma, sungguh manusia itu sangat tidak berdaya. Ingat diskusi kita dulu? Saat kau begitu ingin membantu mereka yang tertimpa bencana? Aku masih ingat bom kuningan itu, saat dimana dirimu segera memberi santunan pada para korban. Aku juga ingat saat kau tiba-tiba ingin menjadi seorang dokter supaya bisa ikut serta dalam tim Mer-C ke Ambon. Aku masih ingat semua itu, yang selalu hangat kita bicarakan: tentang kepongahan manusia berjalan di muka bumi ini. Tentang kesombongan manusia yang dengan seenaknya merusak alam ini, memunculkan derita untuk manusia lainnya. Manusia yang tidak berdaya, tapi begitu angkuhnya hidup di bumi. “mungkin bumi semakin menciut karena malu melihat perbuatan manusia”, begitu ujarmu suatu ketika.
Dan kini, manusia benar-benar tidak berdaya saat semua diluluhlantakkan dalam satu kalimat-Nya. Lantas semuanya hilang, lenyap, mungkin tak bersisa.

Risma, tahukah saat di depanku ada sepiring nasi dengan lauk telur dan tempe saja aku sudah merasa sangat kaya. Benar Risma, saat aku melipat bajuku dan menaruhnya di lemari tiba-tiba aku merasa sangat sejahtera dibandingkan mereka yang harta bendanya hanya baju yang melekat di tubuhnya.
Dan anak-anak itu Risma, lihatlah mereka tertidur lelap sekali. Apa mereka memimpikan permainan di atas ombak?

Ya, aku tahu, kota kita kini telah hilang.

Saat seminggu lalu kau pamit untuk kembali ke Aceh, aku pun ingin bersamamu. Ingin sekali menghabiskan hari di penghujung 2004 ini disana, di tepi pantai kita. Tapi aku hanya bisa melihatmu terbang dari balik kaca bandara. Melihatmu yang begitu riang karena akhirnya kau bisa mengabdikan diri untuk tanah kita, membangun daerah kita. Senyum terakhir yang kulihat. Risma semoga jenazahmu segera ditemukan dan aku ingin bisa menguburmu dengan cara yang baik.

Jakarta
Saat putaran waktu mendekati ujung tahun


Ditutupnya buku biru, catatan hariannya. Ia menghela nafas dalam. Kemudian merapihkan mejanya dan meraih ransel di sampingnya. Tekadnya bulat, ia akan segera ke Kedoya, mendaftarkan diri sebagai relawan.

berikan, apa yang bisa kita beri

DIbutuhkan beberapa orang sukarelawan untuk pergi ke aceh selama 1 minggu, mulai 7 januari 2005. breefing hari jumat 31 desember 2004 di gedung shafira jl. buah batu no. 165 B bandung, jam 09.00 pagi

di cari org yg bisa merekrut relawan untuk korban bencana alam di aceh.Jika ada, tolong kontak 0451-482764 atau via e-mail: affan@affan.web.id

1 comment:

Anonymous said...

ini buat anak2 fku aja atau umum? buat ikhwan aja atau gmn? kasih khabar lebih lanjut y. jzkl

-md-

Iri

Ingin rasanya berada bersisian, berdampingan dengan teman-teman di lapangan yang sedang berjibaku tak kenal henti. Mereka diberi kesempa...