Thursday 23 December 2004

harus aku maknai apa hari ini?

Malam. Saat dingin menusuk hingga ke tulang.

Loteng kamar Dion.

Kamu pasti kaget kalau aku bilang aku ingin mati hari ini. ya, sepertinya aku capek. Dengan semuanya. Terutama dengan diriku sendiri. Lelah dengan berbagai tuntutan. Aku tahu aku tidak seharusnya menuntut mereka. Aku tahu, aku yang seharusnya menuntut diriku sendiri. Apa mungkin aku harus berhenti. Ya, seperti yang aku bilang padamu. Aku ingin mati saja.

Dilipatnya kertas itu, dimasukkan kedalam amplop berwarna putih. Lalu ditaruhnya dalam kotak hitam di bawah tempat tidurnya. Dan segera ia tercemplung bersama amplop berwarna-warni lainnya. Hanya satu yang sama dari amplop itu, di depannya tertulis: untuk aku esok hari.

Rumah mungil Ardi.

Kau lihat itu nak. Bintang setia sekali pada bulan. Ia hanya kecil di hamparan luasnya langit. Tapi kecilnya tak membuat ia surut tuk hadir hari ini. aku ingin kamu seperti itu nak. Bukan wujudmu yang kau permasalahkan. Tapi artimu yang seharusnya selalu kau pertimbangkan. Cepatlah hadir disini nak. Aku dan ibumu selalu menantimu.

Lembaran harap seorang ayah. Ditutupnya buku hijau itu dan bergegas menuju tempat tidur. Berbaring di sisi seorang wanita: istrinya yang sedang mengandung anak pertama mereka.

Warna langit telah berubah. Hari baru semestinya dimulai.

Loteng kamar Dion.

Mas Dion, bangun. Sudah siang mas. Diketuknya pintu perlahan.
Tak ada jawaban, hanya hening.
Mas Dion, bangun! Kali ini ia setengah berteriak.
Masih tak ada jawaban.
Dasar pemalas. Gerutunya.
Capek membangunkan anak sulung majikannya, wanita bertubuh subur itu menuruni tangga kembali dan larut dalam tugasnya di pagi hari.


Mungkin ia tidak tahu. Pagi ini Dion sudah tidak lagi dikamarnya. Jendela besarnya terbuka. Membiarkan angin masuk dan memainkan kertas-kertas yang berhamburan di meja tulisnya, tempat tidurnya, lantai kamarnya. Kertas-kertas yang jadi saksi kepedihan Dion, teman ketidakberdayaannya. Kertas yang beberapa diantaranya kini tak lagi putih bersih. Ada bercak disana. Bercak merah darah Dion. Ya, Dion sekarang terkulai tak berdaya. Bibirnya pucat. Tangan kanannya ada di sisi tempat tidurnya, darah yang mengucur dari sana yang tadi malam menulisi kisah akhir Dion di lembaran kertas-kertasnya.

Rumah mungil Ardi.

Gimana hari ini dek?
Dia masih terus bergerak-gerak mas, menendang-nendang. Entahlah, mungkin ia tak sabar tuk hadir menemani kita.
Semalam adek tidur pulas sekali. Lelah mas jadi hilang. Semoga anak kita nanti jadi anak yang kuat dan sehat ya dek.


Pagi ini Ardi memulai kembali harinya. Senyum memang selalu menghiasi paginya. Ada harap disana. Semoga ia kan lebih baik hari ini.

Ardi, 25 tahun. Baru berumah tangga sejak 2 tahun yang lalu. Ia dan istrinya menempati sepetak rumah kontrakan di mulut gang. Berseberangan dengan rumah mewah di tepi jalan raya. Pagi ini rumah mereka terusik dengan bunyi sirene ambulans dan juga lalu lalang mobil polisi yang perlahan memadati rumah megah itu. Rumah dimana Dion menghentikan helaan nafas yang telah dikaruniakan padanya selama 25 tahun.

Dua hari yang lalu.

Ardi tengah memilih-milih buku apa yang pantas dihadiahkan pada istrinya. Bagaimana merawat anak, mempersiapkan persalinan atau mengenali kehamilan. Bingung. Jatah membeli buku bulan ini sudah tak bersisa lagi. Ia baru ingat kalau ia sering egois memilih buku hanya untuk kepentingannya. Hari ini ia ingin beromantis ria, menghadiahi buku untuk istrinya. Ini romantis? Entahlah, setidaknya itu yang ia bayangkan.

Wa, sedang menunggu anak pertama lahir mas?
Tiba-tiba ada pria bertubuh tinggi dengan kaca minus bertengger di hidungnya menyapanya.
Iya ni. Merasa ada yang bisa dimintai tolong Ardi pun terus berseloroh.
Yang mana ya baiknya?
Mm, saya juga belum punya anak ni hehe. Baiknya yang ini aja mas: mempersiapkan persalinan. Sudah dekat bukan waktunya?
. Jawab pemuda itu, sedikit diwarnai rasa sok tahu.
Nanti bulan depan mas beli lagi, seri lanjutannya. Lanjutnya.
Mm, benar juga ya.
Kehidupan baru akan dimulai ya mas sebentar lagi. Ada jiwa yang kembali hadir di dunia ini. memadati pengapnya hidup. Tatapan matanya menerawang.
Ya akan ada jiwa baru diantara kami, di antara aku dan istriku. Jiwa yang kan menumbuhsuburkan harapan kami.
Ia menoleh padaku. Harapan? Itu mungkin kata yang saya cari selama ini. Semoga jiwa itu adalah jiwa yang tegar. Semoga ia tak rapuh. Semoga ia tak kan pernah keropos dan tak akan pernah hancur.
Aku mengeryitkan dahi.
Eh maaf mas, bicara saya ngelantur. Maklum hidup itu berat bukan mas?
Segera aku mengangguk, setuju dengan kalimatnya yang terakhir.
Sipp, dah nemu bukunya kan mas. Saya juga dah nemu buku bagus ni. Makasi dah dengar celotehan asalku. Mari mas. Ujarnya bergegas.
Mm, aku hanya geleng-geleng kepala melihat ulahnya. Umurnya mungkin tak jauh berbeda denganku. Tapi entah ia terlihat begitu berbeda. Atau mungkin karena aku yang sudah menikah.
Hei, ada yang lupa aku katakan padanya tadi: hidup itu memang berat, maka maknailah dengan sederhana agar kau masih terus bernafas dalam beban hidup itu Dion. Itu nama yang kutangkap pada buku agenda yang dipegangnya tadi. Mungkinkah benar namanya Dion? Sepertinya iya.

Loteng kamar Dion. Hari ini. Saat suasana rumah mulai tak menentu

Angin masih berhembus, menelikungi tiap sisi kamar Dion, mencoba mencari detak jantung pemiliknya.
Kali ini angin membawa pergi secarik kertas dari kamar Dion. Kertas yang mulai kusam. Hanya ada satu kalimat di dalamnya: harus aku maknai apa hari ini?

1 comment:

Anonymous said...

tulisan Grade A :-)

Iri

Ingin rasanya berada bersisian, berdampingan dengan teman-teman di lapangan yang sedang berjibaku tak kenal henti. Mereka diberi kesempa...