Friday 31 December 2004

jadi, maka jadilah

jika Allah berkehendak makhluk-Nya yang bernama manusia lenyap dari muka bumi ini, maka hilanglah semua dalam sekejap

maka mengapa kematian selalu dirasa sebagai bencana?

btw, tulisan dibawah ini bagus d -rada panjang dikit si :P-, diambil dari milis sebelah

Gunung Jangan Pula Meletus
Oleh Emha Ainun Nadjib

KHUSUS untuk bencana Aceh, saya terpaksa menemui Kiai Sudrun. Apakah kata mampu mengucapkan kedahsyatannya? Apakah sastra mampu menuturkan kedalaman dukanya?Apakah ilmu sanggup menemukan dan menghitung nilai-nilai kandungannya?

Wajah Sudrun yang buruk dengan air liur yang selalu mengalir pelan dari salahsatu sudut bibirnya hampir membuatku marah. Karena tak bisa kubedakan apakah ia sedang berduka atau tidak. Sebab, barang siapa tidak berduka oleh ngerinya bencana itu dan oleh kesengsaraan para korban yang jiwanya luluh lantakterkeping-keping, akan kubunuh.

"Jakarta jauh lebih pantas mendapat bencana itu dibanding Aceh!," aku menyerbu.

"Kamu juga tak kalah pantas memperoleh kehancuran," Sudrun menyambut dengan kata- kata yang, seperti biasa, menyakitkan hati.

"Jadi, kenapa Aceh, bukan aku dan Jakarta?"

"Karena kalian berjodoh dengan kebusukan dunia, sedang rakyat Aceh dinikahkan dengan surga."

"Orang Aceh-lah yang selama bertahun-tahun terakhir amat dan paling menderita dibanding kita senegara, kenapa masih ditenggelamkan ke kubangan kesengsaraan sedalam itu?"

"Penderitaan adalah setoran termahal dari manusia kepada Tuhannya sehingga derajat orang Aceh ditinggikan, sementara kalian ditinggalkan untuk terus menjalani kerendahan."

"Termasuk Kiai...."Cuh!

Ludahnya melompat menciprati mukaku. Sudah biasa begini. Sejak dahulu kala. Kuusap dengan kesabaran."Kalau itu hukuman, apa salah mereka? Kalau itu peringatan, kenapa tidak kepada gerombolan maling dan koruptor di Jakarta? Kalau itu ujian, apa Tuhan masih kurang kenyang melihat kebingungan dan ketakutan rakyat Aceh selama ini, ditengah perang politik dan militer tak berkesudahan?"

Sudrun tertawa terkekeh-kekeh. Tidak kumengerti apa yang lucu dari kata-kataku.Badannya terguncang-guncang."Kamu mempersoalkan Tuhan? Mempertanyakan tindakan Tuhan? Mempersalahkanketidakadilan Tuhan?" katanya.

Aku menjawab tegas, "Ya."

"Kalau Tuhan diam saja bagaimana?"

"Akan terus kupertanyakan. Dan aku tahu seluruh bangsa Indonesia akan terus mempertanyakan."

"Sampai kapan?"

"Sampai kapan pun!"

"Sampai mati?"

"Ya!"

"Kapan kamu mati?"

"Gila!"

"Kamu yang gila. Kurang waras akalmu. Lebih baik kamu mempertanyakan kenapa ilmumu sampai tidak mengetahui akan ada gempa di Aceh. Kamu bahkan tidak tahu apa yang akan kamu katakan sendiri lima menit mendatang. Kamu pengecut. Untuk apa mempertanyakan tindakan Tuhan. Kenapa kamu tidak melawanNya. Kenapa kamu memberontak secara tegas kepada Tuhan. Kami menyingkir dari bumiNya, pindah dari alam semestaNya, kemudian kamu tabuh genderang perang menantangNya!"

"Aku ini, Kiai!" teriakku, "datang kemari, untuk merundingkan hal-hal yang bisa menghindarkanku dari tindakan menuduh Tuhan adalah diktator dan otoriter...."

Sudrun malah melompat- lompat. Yang tertawa sekarang seluruh tubuhnya. Bibirnya melebar-lebar ke kiri-kanan mengejekku.

"Kamu jahat," katanya, "karena ingin menghindar dari kewajiban."

"Kewajiban apa?"

"Kewajiban ilmiah untuk mengakui bahwa Tuhan itu diktator dan otoriter. Kewajiban untuk mengakuinya, menemukan logikanya, lalu belajar menerimanya, dan akhirnya memperoleh kenikmatan mengikhlaskannya. Tuhan-lah satu-satunya yangada, yang berhak bersikap diktator dan otoriter, sebagaimana pelukis berhak menyayang lukisannya atau merobek-robek dan mencampakkannya ke tempat sampah.Tuhan tidak berkewajiban apa- apa karena ia tidak berutang kepada siapa-siapa,dan keberadaanNya tidak atas saham dan andil siapa pun. Tuhan tidak terikat oleh baik buruk karena justru Dialah yang menciptakan baik buruk. Tuhan tidak harus patuh kepada benar atau salah, karena benar dan salah yang harus taatkepadaNya. Ainun, Ainun, apa yang kamu lakukan ini? Sini, sini..."-ia meraih lengan saya dan menyeret ke tembok-"Kupinjamkan dinding ini kepadamu...."

"Apa maksud Kiai?," aku tidak paham.

"Pakailah sesukamu."

"Emang untuk apa?"

"Misalnya untuk membenturkan kepalamu...."

"Sinting!"

"Membenturkan kepala ke tembok adalah tahap awal pembelajaran yang terbaik untukcara berpikir yang kau tempuh."

Ia membawaku duduk kembali.

"Atau kamu saja yang jadi Tuhan, dan kamu atur nasib terbaik untuk manusia menurut pertimbanganmu?," ia pegang bagian atas bajuku."Kamu tahu Muhammad?", ia meneruskan, "Tahu? Muhammad Rasulullah shallallahu’alaihi wa alihi wasallah, tahu? Ia manusia mutiara yang memilih hidup sebagaiorang jelata. Tidak pernah makan kenyang lebih dari tiga hari, karena sesudah hari kedua ia tak punya makanan lagi. Ia menjahit bajunya sendiri dan menambal sandalnya sendiri. Panjang rumahnya 4,80 cm, lebar 4,62 cm. Ia manusia yang paling dicintai Tuhan dan paling mencintai Tuhan, tetapi oleh Tuhan orang kampung Thaif diizinkan melemparinya dengan batu yang membuat jidatnya berdarah. Ia bahkan dibiarkan oleh Tuhan sakit sangat panas badan oleh racun Zaenab wanita Yahudi. Cucunya yang pertama diizinkan Tuhan mati diracun istrinya sendiri. Dan cucunya yang kedua dibiarkan oleh Tuhan dipenggal kepalanya kemudian kepala itu diseret dengan kuda sejauh ratusan kilometer sehingga ada dua kuburannya. Muhammad dijamin surganya, tetapi ia selalu takut kepada Tuhan sehingga menangis di setiap sujudnya. Sedangkan kalian yang pekerjaannya mencuri, kelakuannya penuh kerendahan budaya, yang politik kalian busuk, perhatian kalian kepada Tuhan setengah-setengah, menginginkan nasib lebih enak dibanding Muhammad? Dan kalau kalian ditimpa bencana, Tuhan yang kalian salahkan?"

Tangan Sudrun mendorong badan saya keras-keras sehingga saya jatuh ke belakang.

"Kiai," kata saya agak pelan, "Aku ingin mempertahankan keyakinan bahwa iconutama eksistensi Tuhan adalah sifat Rahman dan Rahim...."

"Sangat benar demikian," jawabnya, "Apa yang membuatmu tidak yakin?"

"Ya Aceh itu, Kiai, Aceh.... Untuk Aceh-lah aku bersedia Kiai ludahi."

"Aku tidak meludahimu. Yang terjadi bukan aku meludahimu. Yang terjadi adalahbahwa kamu pantas diludahi."

"Terserah Kiai, asal Rahman Rahim itu...."

"Rahman cinta meluas, Rahim cinta mendalam. Rahman cinta sosial, Rahim cinta lubuk hati. Kenapa?"

"Aceh, Kiai, Aceh."

"Rahman menjilat Aceh dari lautan, Rahim mengisap Aceh dari bawah bumi. Manusia yang mulia dan paling beruntung adalah yang segera dipisahkan oleh Tuhan dari dunia. Ribuan malaikat mengangkut mereka langsung ke surga dengan rumah-rumah cahaya yang telah tersedia. Kepada saudara- saudara mereka yang ditinggalkan, porak poranda kampung dan kota mereka adalah medan pendadaran total bagi kebesaran kepribadian manusia Aceh, karena sesudah ini Tuhan menolong mereka untuk bangkit dan menemukan kembali kependekaran mereka. Kejadian tersebut dibikin sedahsyat itu sehingga mengatasi segala tema Aceh Indonesia yangmenyengsarakan mereka selama ini. Rakyat Aceh dan Indonesia kini terbebas dari blok-blok psikologis yang memenjarakan mereka selama ini, karena air mata dan duka mereka menyatu, sehingga akan lahir keputusan dan perubahan sejarah yangmelapangkan kedua pihak."

"Tetapi terlalu mengerikan, Kiai, dan kesengsaraan para korban sukar dibayangkan akan mampu tertanggungkan."

"Dunia bukan tempat utama pementasan manusia. Kalau bagimu orang yang tidak matia dalah selamat sehingga yang mati kamu sebut tidak selamat, buang dulu Tuhan dan akhirat dari konsep nilai hidupmu. Kalau bagimu rumah tidak ambruk, harta tidak sirna, dan nyawa tidak melayang, itulah kebaikan; sementara yangsebaliknya adalah keburukan– berhentilah memprotes Tuhan, karena toh Tuhan tak berlaku di dalam skala berpikirmu, karena bagimu kehidupan berhenti ketika kamu mati."

"Tetapi kenapa Tuhan mengambil hamba-hambaNya yang tak berdosa, sementara membiarkan para penjahat negara dan pencoleng masyarakat hidup nikmatsejahtera?"

"Mungkin Tuhan tidak puas kalau keberadaan para pencoleng itu di neraka kelak tidak terlalu lama. Jadi dibiarkan dulu mereka memperbanyak dosa dan kebodohannya. Bukankah cukup banyak tokoh negerimu yang baik yang justru Tuhan bersegera mengambilnya, sementara yang kamu doakan agar cepat mati karena luar biasa jahatnya kepada rakyatnya malah panjang umurnya?"

"Gusti Gung Binathoro!," saya mengeluh, "Kami semua dan saya sendiri, Kiai,tidaklah memiliki kecanggihan dan ketajaman berpikir setakaran dengan yangdisuguhkan oleh perilaku Tuhan."

"Kamu jangan tiba-tiba seperti tidak pernah tahu bagaimana pola perilaku Tuhan.Kalau hati manusia berpenyakit, dan ia membiarkan terus penyakit itu sehingga politiknya memuakkan, ekonominya nggraras dan kebudayaannya penuh penghinaan atas martabat diri manusia sendiri-maka Tuhan justru menambahi penyakit itu, sambil menunggu mereka dengan bencana yang sejati yang jauh lebih dahsyat. Yang di Aceh bukan bencana pada pandangan Tuhan. Itu adalah pemuliaan bagi mereka yang nyawanya diambil malaikat, serta pencerahan dan pembangkitan bagi yang masih dibiarkan hidup."

"Bagi kami yang awam, semua itu tetap tampak sebagai ketidakadilan...."

"Alangkah dungunya kamu!" Sudrun membentak, "Sedangkan ayam menjadi riang hatinya dan bersyukur jika ia disembelih untuk kenikmatan manusia meski ayam tidak memiliki kesadaran untuk mengetahui, ia sedang riang dan bersyukur."

"Jadi, para koruptor dan penindas rakyat tetap aman sejahtera hidupnya?"

"Sampai siang ini, ya. Sebenarnya Tuhan masih sayang kepada mereka sehinggaselama satu dua bulan terakhir ini diberi peringatan berturut-turut, baik berupa bencana alam, teknologi dan manusia, dengan frekuensi jauh lebih tinggi dibanding bulan-bulan sebelumnya. Tetapi, karena itu semua tidak menjadi pelajaran, mungkin itu menjadikan Tuhan mengambil keputusan untuk memberi peringatan dalam bentuk lebih dahsyat. Kalau kedahsyatan Aceh belum mengguncangkan jiwa Jakarta untuk mulai belajar menundukkan muka, ada kemungkinan...."

"Jangan pula gunung akan meletus, Kiai!" aku memotong, karena ngeri membayangkan lanjutan kalimat Sudrun.

"Bilang sendiri sana sama gunung!" ujar Sudrun sambil berdiri dan ngeloyormeninggalkan saya.

"Kiai!" aku meloncat mendekatinya, "Tolong katakan kepada Tuhan agarberistirahat sebentar dari menakdirkan bencana-bencana alam...."

"Kenapa kau sebut bencana alam? Kalau yang kau salahkan adalah Tuhan, kenapa tak kau pakai istilah bencana Tuhan?"

Sudrun benar-benar tak bisa kutahan. Lari menghilang.

Emha Ainun Nadjib
Budayawan

Thursday 30 December 2004

untuk Risma

“Pasir ini hangat. Coba saja kau genggam. Dan tunggulah, sebentar lagi senja kan terlihat sangat indah.” Siluet dirinya sore itu terekam jelas di benakku.
“Kebersamaan seperti ini indah bukan? Sepertinya aku tak ingin kembali ke Jakarta. Ingin menikmati lebih lama lagi angin pantai ini.”
Lalu perlahan langit yang berangsur membentuk garis-garis indah yang menjadi saksi percakapan kami sore itu.

Risma, coba tunjukkan. Bantu aku mengingat kembali di mana pantai yang kita kunjungi sore itu. Tolong bantu aku menemukan barisan nyiur nan indah dan kehangatan pasir sore itu. Dimana Risma semuanya? Dimana?
Kotaku seperti kota mati, kota hilang yang terendam. Mengapa Lumpur yang menggantikan kehangatan pasir? Mengapa semilir angin pantai terganti bau tak sedap yang membuat semua orang menutup hidungnya?
Aku tahu aku sedang bermain dalam ribuan tanya tak perlu jawab.

Risma, sungguh manusia itu sangat tidak berdaya. Ingat diskusi kita dulu? Saat kau begitu ingin membantu mereka yang tertimpa bencana? Aku masih ingat bom kuningan itu, saat dimana dirimu segera memberi santunan pada para korban. Aku juga ingat saat kau tiba-tiba ingin menjadi seorang dokter supaya bisa ikut serta dalam tim Mer-C ke Ambon. Aku masih ingat semua itu, yang selalu hangat kita bicarakan: tentang kepongahan manusia berjalan di muka bumi ini. Tentang kesombongan manusia yang dengan seenaknya merusak alam ini, memunculkan derita untuk manusia lainnya. Manusia yang tidak berdaya, tapi begitu angkuhnya hidup di bumi. “mungkin bumi semakin menciut karena malu melihat perbuatan manusia”, begitu ujarmu suatu ketika.
Dan kini, manusia benar-benar tidak berdaya saat semua diluluhlantakkan dalam satu kalimat-Nya. Lantas semuanya hilang, lenyap, mungkin tak bersisa.

Risma, tahukah saat di depanku ada sepiring nasi dengan lauk telur dan tempe saja aku sudah merasa sangat kaya. Benar Risma, saat aku melipat bajuku dan menaruhnya di lemari tiba-tiba aku merasa sangat sejahtera dibandingkan mereka yang harta bendanya hanya baju yang melekat di tubuhnya.
Dan anak-anak itu Risma, lihatlah mereka tertidur lelap sekali. Apa mereka memimpikan permainan di atas ombak?

Ya, aku tahu, kota kita kini telah hilang.

Saat seminggu lalu kau pamit untuk kembali ke Aceh, aku pun ingin bersamamu. Ingin sekali menghabiskan hari di penghujung 2004 ini disana, di tepi pantai kita. Tapi aku hanya bisa melihatmu terbang dari balik kaca bandara. Melihatmu yang begitu riang karena akhirnya kau bisa mengabdikan diri untuk tanah kita, membangun daerah kita. Senyum terakhir yang kulihat. Risma semoga jenazahmu segera ditemukan dan aku ingin bisa menguburmu dengan cara yang baik.

Jakarta
Saat putaran waktu mendekati ujung tahun


Ditutupnya buku biru, catatan hariannya. Ia menghela nafas dalam. Kemudian merapihkan mejanya dan meraih ransel di sampingnya. Tekadnya bulat, ia akan segera ke Kedoya, mendaftarkan diri sebagai relawan.

berikan, apa yang bisa kita beri

DIbutuhkan beberapa orang sukarelawan untuk pergi ke aceh selama 1 minggu, mulai 7 januari 2005. breefing hari jumat 31 desember 2004 di gedung shafira jl. buah batu no. 165 B bandung, jam 09.00 pagi

di cari org yg bisa merekrut relawan untuk korban bencana alam di aceh.Jika ada, tolong kontak 0451-482764 atau via e-mail: affan@affan.web.id

lay out baru

lay out baru :D
sangat biru dan bunga banget :)
makasi ya desska, saya merepotkan ya? :)

btw kalo liat lay out ini, ko jadi tersipu2 ya? abis manis bener si, wanita sekali, sangat feminin --aduh desska, jadi malu ni klo inget tingkah laku yang masi sradak sruduk, kagak ada feminin2nya :p

Monday 27 December 2004

harus seperti ini?

aku terpuruk di sudut ini
Tuhan, harus dengan tamparan seperti inikah tuk kembali mengingat-Mu

buat adek, moga keluarga disana baik2 aja ya

menggenggam awan

awan. yang putih bersih terlihat. tapi tak pernah bisa tergenggam.

"mungkin kau sedang mencoba mencari bentuk terbaikmu?"
"tapi mengapa tidak juga kutemukan?"

seperti ingin menggenggam awan. yang putih bersih terlihat.

ibu, ini apa bu?

aku ibu, ini aku..
yang sedang kau tangisi. karena bumi bergolak dan air tiba-tiba merendam hasil kerja keras ibu selama ini hingga membawaku pergi. pagi ini, entah apa yang sedang kulakukan. lalu semua orang berlarian. tetangga kita mengayuh sepedanya berlomba dengan air. anak-anak bayi itu. yang lucu-lucu bu, mereka berbaris dalam tidur lelapnya. dan aku kini ada dalam gendonganmu. kenapa tak kau hapus air matamu bu? ibu tidak lihat aku tersenyum dalam dekapanmu?

ibu, aku tahu kau tidak menyadari kehadiranku. suaraku tercekat. tanganku juga terkulai. aku hanya bisa menyaksikan rumah kita yang sudah tidak berbentuk. aku hanya terdiam ketika semua meneteskan air mata. dan aku cuma disini bu, melihat manusia-manusia yang tak bernyawa lagi. ibu, ini apa? kenapa tiba-tiba kita dikirimi sesuatu yang tak kita pesan? kenapa kita ibu? tak cukupkah kulihat ibu dan mereka bersusah payah dari pagi hingga petang hanya untuk memberi aku suapan nasi? hanya untuk memberiku secuil tempat tuk berlindung dari panas dan hujan?

ibu, aku ingin istirahat saja. maaf bu, aku tak bisa melihat ibu membangun kembali kerajaan kecil kita. tak bisa membantu ibu. aku hanya ingin kehangatan dalam dekapan ibu. sudah bu, hapus bulir kristal di pipimu. ibu telah menemukanku bukan?

turut berduka cita untuk korban gempa dan tsunami.

Thursday 23 December 2004

harus aku maknai apa hari ini?

Malam. Saat dingin menusuk hingga ke tulang.

Loteng kamar Dion.

Kamu pasti kaget kalau aku bilang aku ingin mati hari ini. ya, sepertinya aku capek. Dengan semuanya. Terutama dengan diriku sendiri. Lelah dengan berbagai tuntutan. Aku tahu aku tidak seharusnya menuntut mereka. Aku tahu, aku yang seharusnya menuntut diriku sendiri. Apa mungkin aku harus berhenti. Ya, seperti yang aku bilang padamu. Aku ingin mati saja.

Dilipatnya kertas itu, dimasukkan kedalam amplop berwarna putih. Lalu ditaruhnya dalam kotak hitam di bawah tempat tidurnya. Dan segera ia tercemplung bersama amplop berwarna-warni lainnya. Hanya satu yang sama dari amplop itu, di depannya tertulis: untuk aku esok hari.

Rumah mungil Ardi.

Kau lihat itu nak. Bintang setia sekali pada bulan. Ia hanya kecil di hamparan luasnya langit. Tapi kecilnya tak membuat ia surut tuk hadir hari ini. aku ingin kamu seperti itu nak. Bukan wujudmu yang kau permasalahkan. Tapi artimu yang seharusnya selalu kau pertimbangkan. Cepatlah hadir disini nak. Aku dan ibumu selalu menantimu.

Lembaran harap seorang ayah. Ditutupnya buku hijau itu dan bergegas menuju tempat tidur. Berbaring di sisi seorang wanita: istrinya yang sedang mengandung anak pertama mereka.

Warna langit telah berubah. Hari baru semestinya dimulai.

Loteng kamar Dion.

Mas Dion, bangun. Sudah siang mas. Diketuknya pintu perlahan.
Tak ada jawaban, hanya hening.
Mas Dion, bangun! Kali ini ia setengah berteriak.
Masih tak ada jawaban.
Dasar pemalas. Gerutunya.
Capek membangunkan anak sulung majikannya, wanita bertubuh subur itu menuruni tangga kembali dan larut dalam tugasnya di pagi hari.


Mungkin ia tidak tahu. Pagi ini Dion sudah tidak lagi dikamarnya. Jendela besarnya terbuka. Membiarkan angin masuk dan memainkan kertas-kertas yang berhamburan di meja tulisnya, tempat tidurnya, lantai kamarnya. Kertas-kertas yang jadi saksi kepedihan Dion, teman ketidakberdayaannya. Kertas yang beberapa diantaranya kini tak lagi putih bersih. Ada bercak disana. Bercak merah darah Dion. Ya, Dion sekarang terkulai tak berdaya. Bibirnya pucat. Tangan kanannya ada di sisi tempat tidurnya, darah yang mengucur dari sana yang tadi malam menulisi kisah akhir Dion di lembaran kertas-kertasnya.

Rumah mungil Ardi.

Gimana hari ini dek?
Dia masih terus bergerak-gerak mas, menendang-nendang. Entahlah, mungkin ia tak sabar tuk hadir menemani kita.
Semalam adek tidur pulas sekali. Lelah mas jadi hilang. Semoga anak kita nanti jadi anak yang kuat dan sehat ya dek.


Pagi ini Ardi memulai kembali harinya. Senyum memang selalu menghiasi paginya. Ada harap disana. Semoga ia kan lebih baik hari ini.

Ardi, 25 tahun. Baru berumah tangga sejak 2 tahun yang lalu. Ia dan istrinya menempati sepetak rumah kontrakan di mulut gang. Berseberangan dengan rumah mewah di tepi jalan raya. Pagi ini rumah mereka terusik dengan bunyi sirene ambulans dan juga lalu lalang mobil polisi yang perlahan memadati rumah megah itu. Rumah dimana Dion menghentikan helaan nafas yang telah dikaruniakan padanya selama 25 tahun.

Dua hari yang lalu.

Ardi tengah memilih-milih buku apa yang pantas dihadiahkan pada istrinya. Bagaimana merawat anak, mempersiapkan persalinan atau mengenali kehamilan. Bingung. Jatah membeli buku bulan ini sudah tak bersisa lagi. Ia baru ingat kalau ia sering egois memilih buku hanya untuk kepentingannya. Hari ini ia ingin beromantis ria, menghadiahi buku untuk istrinya. Ini romantis? Entahlah, setidaknya itu yang ia bayangkan.

Wa, sedang menunggu anak pertama lahir mas?
Tiba-tiba ada pria bertubuh tinggi dengan kaca minus bertengger di hidungnya menyapanya.
Iya ni. Merasa ada yang bisa dimintai tolong Ardi pun terus berseloroh.
Yang mana ya baiknya?
Mm, saya juga belum punya anak ni hehe. Baiknya yang ini aja mas: mempersiapkan persalinan. Sudah dekat bukan waktunya?
. Jawab pemuda itu, sedikit diwarnai rasa sok tahu.
Nanti bulan depan mas beli lagi, seri lanjutannya. Lanjutnya.
Mm, benar juga ya.
Kehidupan baru akan dimulai ya mas sebentar lagi. Ada jiwa yang kembali hadir di dunia ini. memadati pengapnya hidup. Tatapan matanya menerawang.
Ya akan ada jiwa baru diantara kami, di antara aku dan istriku. Jiwa yang kan menumbuhsuburkan harapan kami.
Ia menoleh padaku. Harapan? Itu mungkin kata yang saya cari selama ini. Semoga jiwa itu adalah jiwa yang tegar. Semoga ia tak rapuh. Semoga ia tak kan pernah keropos dan tak akan pernah hancur.
Aku mengeryitkan dahi.
Eh maaf mas, bicara saya ngelantur. Maklum hidup itu berat bukan mas?
Segera aku mengangguk, setuju dengan kalimatnya yang terakhir.
Sipp, dah nemu bukunya kan mas. Saya juga dah nemu buku bagus ni. Makasi dah dengar celotehan asalku. Mari mas. Ujarnya bergegas.
Mm, aku hanya geleng-geleng kepala melihat ulahnya. Umurnya mungkin tak jauh berbeda denganku. Tapi entah ia terlihat begitu berbeda. Atau mungkin karena aku yang sudah menikah.
Hei, ada yang lupa aku katakan padanya tadi: hidup itu memang berat, maka maknailah dengan sederhana agar kau masih terus bernafas dalam beban hidup itu Dion. Itu nama yang kutangkap pada buku agenda yang dipegangnya tadi. Mungkinkah benar namanya Dion? Sepertinya iya.

Loteng kamar Dion. Hari ini. Saat suasana rumah mulai tak menentu

Angin masih berhembus, menelikungi tiap sisi kamar Dion, mencoba mencari detak jantung pemiliknya.
Kali ini angin membawa pergi secarik kertas dari kamar Dion. Kertas yang mulai kusam. Hanya ada satu kalimat di dalamnya: harus aku maknai apa hari ini?

Tuesday 21 December 2004

--bingung mau kasi judul apa--

Ada besok, besok dan besok. Tunggulah sampai semua menjadi lebih tenang. Tidak grasak grusuk seperti ini, semua ia ucapkan datar saja tanpa tahu gemuruhnya hatiku.
Kau masih bisa menunggu sebentar saja bukan?, tanyanya lagi.
Aku menjawab dalam diam.
Ayolah, ini tidak seserius itu. Kau juga tahu bagaimana situasinya, ia masih saja berusaha membujukku.

Tidak sesederhana itu? Ini lebih pelik dari yang kau kira, jawabku. Sudah seminggu masalah ini mengangguku, menjadi bayanganku, menyedot seluruh energiku. Menunggu tidak menjadi masalah bagiku, tapi menyelesaikannya adalah yang terpenting. Saat seperti ini adalah saat yang tepat untuk terbebas dari rumitnya persoalan.

Kali ini ia memperbaiki posisinya. Wajahnya tepat dihadapanku.
Hei, coba lihat sini. Lihat mataku, ujarnya memerintah.
Dengar ya bocah kecil, umurmu belum juga genap 20 tahun. Hidup bagimu mungkin mempesona. Semua yang kau inginkan mudah didapatkan. Semua yang kau perintah berjalan menunduk-nunduk seakan-akan kau tuannya. Dan kau perlakukan dunia sekenamu. Itu bukan hidup. Tidak semuanya bisa kau kendalikan. Bahkan persoalan kecil seperti ini membuatmu terseok-seok, panjang uraiannya. Masih datar dalam intonasi tapi menghujam sekali.
Coba lihat kesini, lanjutnya sambil menunjuk dadaku. Matamu memang dua seperti kebanyakan orang, tapi mata hatimu tumpul. Tunggulah, sebentar saja. Kau tak pernah tahu keajaiban apa dibalik semuanya, lagi, ia berceloteh lagi.
Bagimu yang berarti adalah yang kasat mata. Hidup lebih dari itu semua. Sekecil apapun yang tercipta adalah makna kehidupan yang bisa kau ambil ilmu darinya. Sekarang atur hidupmu, ubah sudut pandangmu dan gunakan mata hatimu, setelah itu baru kau selesaikan semuanya. Tidak seperti ini, termakan emosi. Ingat bocah kecil, hidupmu belum seberapa dibanding semua yang hadir sebelummu. Jadi jangan berpikir bahwa kau yang paling teraniaya dalam rumit persoalan. Jangan anggap dunia sesempit masalahmu. Merenunglah dan coba jujur pada dirimu. Benarkah seperti ini penyelesaiannya?, ia terdiam sejenak.
Bukan penyelesaian dengan emosi yang kuharap kau lakukan, tapi makna dari semuanya yang kuharap kau dapatkan. Hidup hanya sekali ini saja. Semoga kau tak melakukan kesalahan seperti yang kulakukan, kali ini ada penyesalan dalam warna suaranya. Meski begitu dari balik jeruji ini raut wajahnya terlihat lebih tenang jika dibandingkan pertama kali ia ditempatkan disini.
Sudahlah, orang seperti aku tidak pantas kau percayai. Tapi aku betul-betul menaruh harap padamu, agar kau bisa mengalahkan dirimu sendiri bocah kecil.
Sesaat kemudian ia berdiri dan meninggalkanku dalam diam.

Monday 20 December 2004

sms garing

pagi-pagi dapat sms garing dari boneka :) :

ting nong ;). selamat datang di stasiun hari lahir. periksa kembali perjalanan hidup anda. jika ada yang hilang, laporkan pada nurani. jika ada yang kurang anda dapat membeli di loket jihad. semoga selamat sampai tujuan...

dia bilang si smsnya garing, tapi karena garing, jadi smsnya ada di postingan kali ini :D
jazakillah khair sist :)

untuk semuanya juga jazakumullah khairan katsiran atas doanya :)

Sunday 19 December 2004

terpesona

Subhanallah, semua begitu luar biasa. Begitu istimewa.
Mereka seperti mengajakku: Ayo, menari bersama kami. Jangan siakan indah hari ini. Jangan habiskan dengan meringkuk dalam bayang semu. Ayo kemarilah.

Sungguh, tahukah kalau aku selalu, selalu ingin bersama. Tanpa kalian tahu, aku tak pernah melewatkan tarian itu. Aku menikmatinya. Terpesona.
Tarian yang kalian mainkan dalam keteguhan gerakan, dalam ketundukan tawakal, dalam keikhlasan.

Terbata aku berusaha mengikutinya. Mengikuti irama langkah kalian, menyamakan lantunan jentik jemari kalian. Kenapa terasa sulit?

karena hidup begitu berharga

Seharusnya ada yang menjadi pondasi tempat kita berpijak. Yang tak tergoyahkan. Yang selamanya mengokohkan pijakan kita.
Semestinya selalu ada tempat kita kembali. Menanyakan arti hidup. Tempat perjalanan dimuarakan.
Dan sudah sepatutnya pegangan itu tidak pernah kita lepaskan. Dalam situasi apapun dan dalam kondisi apapun kita dihadapkan.
Sesuatu yang membuat helaan nafas kita tidak tersia. Sesuatu yang membuat kita tidak kehilangan arah.

Ditulis setelah lihat grand finalnya petir dan dengar lagu “astaga” yang dinyanyiin Ruth Sahanaya.
Inginnya si pak Asep yang menang, ya ga arimbi? Hehe.

sore tadi

Hei dengar tidak sore tadi? Iya, gemuruh sekali. Bagaimana tidak, ruangan berkapasitas ribuan orang itu ramai oleh sorak riang, peluk haru dan kebanggaan. Saat itu adalah saat dimana menyandang predikat sebagai rakyat Indonesia adalah suatu kebanggan. Ya, semua seperti lebur menjadi satu dalam senyum. Semua merasakan bahagia yang sama. Petugas pembersih lapangan, gubernur, menteri, ibu rumah tangga, mahasiswa dan juga anak kecil merasakan hal yang sama.
Saat seperti ini adalah saat dimana krisis, kemelut ekonomi, korupsi, tingkah elit politik dan segala jenis peristiwa yang membebankan itu terlupa. Sungguh, rindu sekali pada kebersamaan seperti ini. Saat dimana kita saling mendukung, berempati, tidak saling tuding dan menjatuhkan. Saat dimana kita berusaha menyumbangkan ,walau mungkin secuil, untuk bangunan ini.
Rindu, ingin sekali melihat semua berangkulan, mengeratkan genggaman dan bergerak dalam kebersamaan.

Selamat buat Luluk-Alven dan Taufik Hidayat :)

Saturday 18 December 2004

beberes blog

pusing. belum rada sreg si ma template yang ini. tapi bongkar2 di blogskins juga kagak nemu yang kayaknya lebih pas dari ini. wa dah lumayan segini juga -alhamdulillah-. tapi masi pengen ganti2 font. dan akhirnya make haloscan juga, daripada tambah pusing klo masi pengen mindahin comment yang dari blogger.

btw, nanya ni, pada bisa ga: mengangkat sebuah botol -botolnya yang sejenis teh botol ya- hanya dengan satu sedotan? hayo hayo bisa ga? *klo dah bisa laporan yak*.

makasih buat pak bahtiar, setelah mampir ke bahtiar.tk jadi bisa d ngotak ngatik template. makasi2

Thursday 16 December 2004

dari garut, jalan2 plus 'nengok' sampireun nan menawan

baru pulang dari garut :D, jalan2 ma ibu ini, ibu itu dan ibu yang satu ini.

Wuih, nginep dua hari di pinggir sawah dan di dekat gunung itu emang bikin pikiran jadi fresh lagi -makasih icha-. Selama menghabiskan hari disana yang kepikiran: gimana ntar ya kalau jadi dokter di desa? Tiba-tiba jadi pengen hehe. Dari dulu emang kepikiran untuk ptt dulu setelah jadi dokter. Dan kemarin pas ke garut: iya jadi makin pengen tinggal di desa yang tenang, jauh dari riweuhnya kota.
Alasan pengen ke desa kenapa ya? Ga tau :D. Lo ko ga tau? Ngga ding. Pertama karena ingin bisa deket ma masyarakat desa, belajar bersosialisasi, belajar memberikan sesuatu dan mendapatkan sesuatu dari mereka. Atmosfer desa pasti beda dengan kota, dan itu yang pengen dicari: ruh pedesaan, sebelum nantinya ngambil spesialis dll. Yang kedua karena pengen bisa mandiri. Di desa pasti ga sekomplit kota dari segi peralatan, obat dan pengambil kebijaksanaan. Dah kebayang klo di desa, kita dituntut untuk bisa cerdik ngakalin berbagai kondisi dan dituntut untuk bisa mengambil keputusan dengan tepat. Pengen nempa diri sendiri, bisa ga ya?

Jadi ingat lagu Raihan yang "kembali ke desa". Hayu-hayu sama-sama kita ke desa.

Itu mimpi-mimpi saat ini, berubah ga ya ntar? *khawatir mode*.
Tapi bener d pengen tinggal di desa asal ada internet, dah ada telpon, bisa langganan koran dan transportasi lancar? Lo kok :D.

Pas nyampe rumah. Wuih di sambut ma cap sepatu di lantai, akuarium yang butek dan makanan ikan yang tumpah *geleng2 kepala liatnya, gpp d, ol dulu aja hehe*. Eh ga lama, ada telepon: “git, gimana tgl 28 kumpul di jatinangor atau di bandung aja”. Waa, baru bentar juga menghirup udara bandung, dah dihadapkan pada persiapan2 ko as :(. Bener d kata mita pas pulang tadi: “selamat datang kenyataan”. saudara-saudara mohon doanya yak, dua minggu lagi dah masuk ko as ni.

Btw ibu yang satu ini dapat banyak ilham selama di garut buat ngisi blognya, gimana bu? buat icha, selamat menempuh hidup baru senin ntar hehe. Untuk mitaw, pergi lagi sabtu? Bener2 padat acara sampai tahun baru yak ;).

btw lagi, jadi lucu kalo inget tema obrolan kita :D, masak2nya, foto2nya, gelut2na, bangun bersama setelah tdk sengaja dibangunkan :D hihi, kalau lima tahun kemudian kita ke garut bareng lagi, ceritanya bgimana ya? :)

Monday 13 December 2004

Kemala

"Anda yang bernama Kemala?"
"Iya pak".
"Selamat atas bergabungnya saudara di perusahaan kami."
"Terima kasih pak, saya mohon bantuannya"

Kemala muda yang sedang menaruh harap pada pintu masa depannya.

"Bu, saya ndak bisa sering2 pulang kampung. Pekerjaan menumpuk bu. Sebagai pegawai baru saya harus berupaya membangun kepercayaan orang-orang di kantor bu"
Penggalan surat pertama Kemala.

"Bu, bagaimana Bima bu? Sudah pintar apa? Saya ingin sekali membawa Bima kesini bu. Bisa ibu datang kemari?"
Penggalan suratnya yang kedua.

"Bu, Bima ndak betah disini. Rewel terus. Kalau bekerja, saya terpaksa menitipkannya pada ibu kos. Sepertinya untuk sementara waktu saya harus menitipkannya lagi pada ibu."
Penggal surat ketiga Kemala untuk ibunya.

Setelah itu, seminggu, dua minggu, hingga 4 bulan lamanya tiada kabar dari Kemala.

-----

"Ingat nduk, anak itu amanah. Apalagi anakmu. Ia sekarang hanya memiliki engkau, ibunya."
"Nggih bu, saya tahu itu. Tapi membesarkan anak butuh biaya bu. Dengan penghasilan seperti ini saya ndak bisa berharap banyak untuk memberikan kebutuhannya bu."
"Tapi pergi ke sana itu jauh sekali nduk. Sebentar lagi anakmu mulai menanyakan ayahnya. kalau ibunya juga harus pergi jauh, nanti bagaimana ibu menjelaskannya nduk."
"Bu, saya pergi untuk kebaikannya. Dan itu tak akan lama bu."

-----

"Saya terima nikahnya Kemala binti Wardini dengan mas kawin tunai."
Senyum mengembang di wajah kedua mempelai baru. Ada janji disitu, janji setia hingga akhir nanti.

Tiga bulan kemudian.
"Alhamdulillah mas, sudah positif dua bulan", ujar sang istri malu-malu.
Wajah sang suami kaget, namun sedetik kemudian berubah menjadi sumringah.
"Alhamdulillah dek, jaga kesehatan ya", ujarnya seraya mengecup sang istri mesra.

Enam bulan kemudian.
"Nduk, ibu ndak tahu bagaimana menyampaikannya. suamimu sekarang di rawat di rumah sakit. Kepalanya bocor setelah ditabrak mobil saat menyeberang hendak pulang. Pak Yadi tadi yang mengabari ibu."
Sesampainya di rumah sakit.
"Maaf bu, kami sudah berusaha melakukan usaha sebaik mungkin. Tapi bapak sudah tidak tertolong lagi."

Lalu tiba-tiba dunia menjadi gelap bagi Kemala.

-----

Kemala muda kini bukan lagi kembang desa nan pemalu. Kariernya semakin menanjak. Hidupnya semakin mapan.
Demi inikah ia gadaikan peran mulianya?

Saturday 11 December 2004

generasi orang muda

Kurus. Wajahnya berhiaskan kacamata. Ia berdiri dengan tegaknya di atas mobil pick up coklat yang melaju perlahan. Tangannya memegang toa yang bertuliskan “milik BEM”. Sesekali ia berteriak dan menyenandungkan semangat. Semangat gelora untuk rakyat, untuk sebuah idealisme.

Beriringan di belakangnya, jas almamater warna-warni yang berdesakan. Warnanya membaur menjadi satu, warna kerinduan. Kerinduan hadirnya keadilan. Barisan itu panjang, seperti hendak menyedot masyarakat turut bersamanya.

Lalu di ujung sana. Seorang perempuan berlari-lari kecil. Peluh belum juga hilang. Tapi ia masih berusaha untuk bersama mereka. Bersama untuk bisa berpegangan tangan, walau mungkin kehadirannya tak disadari.

Masih di tempat yang sama. Di tengah laju gerak harapan. Ada percakapan kecil:
“Kasihan, banyak yang belum minum ni. Panas terik begini.”
“Iya, aku ada si 2 botol air. Ya mungkin bisa membantu, walau sedikit.”
“He eh, aku juga ada 3 gelas air ni. Ntar kita bagi-bagi ma yang lain ya.”

Sepenggal gerak harmoni yang begitu indah. Indah dalam harapan. Indah dalam kebersaman.

Lalu sayup-sayup terdengar:

Kepada para mahasiswa
Yang merindukan kejayaan..


Di sudut yang sama di tengah gelombang harmoni indah itu, ada harap dalam diri. Harap harmoni ini akan senantiasa indah. Harap agar idealisme ini tidak pernah luntur. Harap kejayaan peradaban yang terukir kemudian.

Suatu saat kelak, kita kan bersama kembali dalam kiprah nyata untuk bangsa. Itu impian kita bukan?

mereka

seperti para sahabat yang meninggalkan kota tercinta, tempat kelahiran, tempat berkumpul sanak saudara, meninggalkan hasil usaha bertahun-tahun..
seperti itulah aku saat ini.
seperti para sahabat yang berhijrah ke sebuah kota yang tidak diketahui bagaimana keadaannya, tidak dipastikan seperti apa kenyamanannya..
seperti itulah aku saat ini
hanya berharap keikhlasan dan ketundukan yang melekat padaku..
seperti yang mereka rasakan saat itu..


terinspirasi dari kutipan pernyatan wni yang dideportasi dari Timor Leste:
“Kami yakin semua ini milik Allah yang sedang menguji umat-Nya. Yang penting kami bisa berdakwah” (Muhamad Panijan, 45 tahun)

Wajah puluhan lelaki di Asrama Transito Pondok Kelapa, Jakarta Timur, itu tak meninggalkan kesan sedih dan kurang bergairah. Wajah mereka memancarkan semangat hidup dan gairah tak pernah padam.
Sumber: Koran Tempo, edisi sabtu, 11 desember 2004

Thursday 9 December 2004

kita

aku adalah kau
dan kau adalah aku

lalu mengapa kita sekarang berjarak

Tuesday 7 December 2004

wie..

Mba, aku ingin seperti mereka yang ada di televisi. Yang kemarin baru saja dikirim untuk mengikuti olimpiade fisika sedunia.
Mba tahu kan kalau nilai fisikaku bagus-bagus. Aku tersenyum gembira saat mendapat nilai tertinggi di kelas. Tapi kalau aku tunjukkan pada bapakku lagi-lagi jawabannya hanya berdehem. Ibuku? Tak jauh beda. Kata ibu: untuk apa toh nduk nilai setinggi langit, kamu itu seharusnya lebih sering bantu bapakmu nyari uang.
Tapi aku dapat nilai tinggi kan bukan untuk mendapat kebanggaan dari ibu dan bapakku ya mba? Pendidikan adalah ibadah, aku selalu inget kata-kata mba. Jadi walaupun ibu dan bapakku tampak tidak menghiraukan, tapi aku ingin Allah yang menyapaku atas semua usahaku mba. Boleh kan berharap seperti itu?
Kadang aku geli sendiri mba, kalau teman-teman lebih sering bertanya padaku ketimbang pada Pak Jono, guru fisika di sekolahku. Bagaimana tidak lucu, mereka bertanya padaku yang tidak punya buku di rumah. Aku hanya mengandalkan catatan dan ingatanku ketika membaca buku pinjaman dari temanku saat istirahat sekolah. Tapi semuanya lantas berubah menjadi kelegaan, merasa diriku bisa bermanfaat bagi orang lain merubah senyum geliku jadi senyum bahagia yang kuingin selalu berkembang selamanya.
Berlebihankah mba jika aku ingin menggantungkan cita-citaku disana, tinggi sekali?

Aku tergugu mendengar semua celotehnya.
Wie, semoga binar dimatamu tak pernah redup. Lalu sapaan-Nya yang kan kau dapati nanti.

Pagi-pagi sekali.

Mba, bapak sakit. Sudah tiga hari batuk darahnya tak henti juga. Ibu sudah semakin kurus saja. Tiga hari juga ibu tak tidur menemani bapak. Aku juga sudah tiga hari tidak masuk sekolah mba. Doakan bapak ya mba.

Wajahnya kuyu. Lelah jelas berbayang. Wie, ada cinta dalam tiap episode yang Ia hadirkan, percayalah.

Lalu seminggu kemudian.
Mba, yang ibu takutkan terjadi mba. Allah menghendaki bapak pergi meninggalkan kami. Meninggalkan ibu, aku dan dua orang adikku. Aku ikhlas mba. Aku sudah tidak tahan melihat bapak begitu menderita seminggu terakhir ini. Allah berikan yang terbaik bagi hamba-Nya. Itu yang selalu mba katakan padaku kan?

Wie, setabah itukah dirimu? Bahwa Allah pasti berikan yang terbaik bagi hamba-Nya.

Dua hari kemudian.

Mba tampaknya aku memang harus menggantung cita-citaku tinggi disana. Kini aku harus lebih memikirkan ibu dan adik-adikku mba. Aku tak ingin jadi manusia egois yang lebih mementingkan mimpiku. Aku ingin aku turut bermain dalam mimpi-mimpi ibu dan adik-adikku yang bisa kubantu mewujudkannya. Mulai besok aku berhenti sekolah mba.

Aku menghela nafas dalam. Wie, salahkah aku jika berharap binar di matamu tak kan pernah redup?

Inspired by iklan layanan masyarakat "pendidikan adalah ibadah".
Semoga semua anak negeri ini mendapat pendidikan selayaknya, lalu yang hadir kemudian adalah kemuliaan bangsa ini.

Monday 6 December 2004

kerja kata-kata

Adalah dunia warna warni saat menyesatkan diri dalam ribuan kata dan titik yang berhamburan dalam ruang maya yang seakan tak terbatas. Ya, tak berbatas hingga harus kembali.

dari pensilwarna juga mengucapkan terima kasih untuk para indonesian bloggers untuk tiap sentuhan baru di blognya *sebenernya dah nebeng di cahy0, tapi pengen juga ngucapin secara langsung :D*.. ditunggu postingan2 selanjutnya.. terus menulis yak saudara-saudara, untuk diri sendiri, untuk kita semua, semoga ada kebaikan didalamnya :)

Sunday 5 December 2004

pecah

Tiba-tiba semua menjadi tak bersahabat. Dia yang dulu selalu mendorongku, berada di belakangku, tempat ku mengadu. Sekarang ia berada di seberang sana. Memandang aneh padaku. Atau aku yang memang tampak aneh baginya sekarang? Sudahlah. Aku tinggalkan saja ia dan pandangan anehnya yang menembus punggungku ketika aku berbalik, memilih pulang.

***

Belum juga genap setahun kota ini kutinggalkan, tapi aku seperti baru tiba di kota asing. Bukan kota kelahiran tempatku menghabiskan waktu menapaki jalan lumpur bersamanya.
Pagi ini aku menyusurinya kembali. Mencoba mencari keping-keping ingatanku yang mungkin bersisa di tempat ini. Mencoba menemukan kesan yang sama. Tapi lagi-lagi hanya ia yang kudapati. Berdiri di sana dan memandangku aneh.

Hei hentikan. Jangan seperti itu. Ini aku..

Aku mencoba mengalah kali ini. Tapi dia yang berbalik pulang. Meninggalkan aku yang semakin pilu disini.

Mengapa?
Tahukah bahwa aku hanya ingin mengajakmu terbang bersama?


***

Tapaknya tergesa. Meninggalkan jejak-jejak baru di tanah berlumpur, jejak tak beraturan seperti pikirannya yang kalut kali ini :

Aku kalah lagi hari ini. Sepuluh bulan tak cukup bagiku untuk menerima semua kemenangannya atasku. Akankah esok egoku luntur? Kuharap demikian. Aku lelah dengan semua ini.

dalam batasan dirinya

Pernah terpikir bahwa ia hanya ingin memberikan yang terbaik dalam batasan kesanggupannya? Seperti seorang anak kecil yang meraung tak ingin pulang sebelum sepeda kecilnya diterima mereka? Jadi bersihkan karat-karat masa lalu, yang hanya membuatmu buta akan cinta yang ia tawarkan.

Inspired by yang hari ini datang pagi-pagi sekali dan baru pulang malam tadi

lagi-lagi tentang menikah

Lagi-lagi tentang menikah. Usia seperti ini mungkin memang tak akan habis membicarakan topik itu. Atau mungkin ia baru akan berhenti ketika akad sudah berlangsung –berlebihan ya hehe-. Entahlah. Menikah. Satu kata yang maknanya begitu dalam. Dalam sekali, jadi jikalau berusaha menyelami kedalamannya maka benarlah butuh kekuatan lain yang lebih besar untuk itu. Benar kata seorang saudara bahwa menikah itu bukanlah cita-cita, tapi ia adalah sarana untuk mencapai cita-cita agung yang begitu indah. Maka pantaskah washilah dakwah ini kita jadikan ajang bermainnya ego kita? Ego diri dan hati. Sungguh berlelah pasti hadir saat tapakan demi tapakan kembali diteguhkan, kala semangat meredup, kejenuhan muncul dan saat merasa membutuhkan uluran untuk kembali mengokohkan pijakan. Lantas karena itukah keputusan menikah diambil?

Menikah adalah menyinergikan energi bagi dakwah, yang bersamanya akan timbul kekuatan baru bagi kegemilangan Islam. Mulia sekali. Hingga perjalanan menuju kesana adalah proses yang terjaga dan dijaga. Lalu pertanyaannya adalah: Sudah siapkah untuk membina rumah tangga? Bertemu dengan karakter berbeda yang belum dikenal sebelumnya? Mengenal keluar besar, latar belakang budaya dan adat yang berbeda? Mengubah impian menjadi impian bersama? Mengkompromikan ego? Mendengarkan keluh kesah? Berdiskusi? Menjadi penyemangat? Mendidik anak?

Kenapa tiba-tiba menjadi takut? Takut dengan bertambahnya pertanyaan-pertanyaan itu. Takut jika "cukuplah agamanya saja" sulit diucapkan dengan ikhlas.
Takut jika ternyata komitmen diri untuk dakwah adalah tidak sebesar keinginan untuk menikah. Takut jika ternyata ia –komitmen terhadap dakwah.red- belum selayak yang seharusnya menjadi energi tuk mengarungi episode baru kehidupan.

Btw seharusnya apa yang memotivasi seorang muslim/-ah untuk mengambil keputusan menikah?

-->ditulis setelah baca "obrolan ikhwan"-nya yoyo

berita pagi

Sigit pramono mengadakan pameran 47 foto karyanya dengan target penjualan 1 milyar untuk disumbangkan bagi pendidikan anak. Tidak banyak yang tahu bahwa Direktur Utama BNI’46 ini adalah seorang fotografer.

"Bisa dijelaskan awal ketertarikan Bapak pada dunia fotografi?"
"Awalnya saya memang sering memotret kegiatan keluarga. Tapi makin lama terasa bahwa saya bisa mengekspresikan diri melalui foto".
"Kenapa Pak? Apa Bapak mengalami kesulitan dalam mengekspresikan diri dengan kata-kata?"
"Justru karena pekerjaan saya sebagai bankir, saya jadi lebih banyak berbicara (tertawa). Dan melalui foto, saya bisa mengekspresikan diri saya dengan lebih tenang."
"Saat ini Bapak membawa kamera, bisa dijelaskan?"
"Ini kamera pertama yang saya gunakan. Kamera yang semuanya manual. Setelah saya menguasai bagaimana teknik memotret, baru saya gunakan kamera … (lupa) yang tidak lagi menggunakan film. Digital." (menerangkan kamera-kamera canggih dihadapannya *mau .. mau.. :)*)
"Kalau boleh memilih menjadi bankir atau fotografer, bapak akan memilih yang mana?"
"Karena profesi saya, sekarang ini saya tekuni menjadi bankir. Tapi mungkin kalau sudah pensiun saya akan menjadi fotografer (tertawa)".


Mungkin beberapa tahun atau puluhan tahun kedepan. Di acara yang sama ada seseorang yang berprofesi di bidang kesehatan sedang diwawancarai mengenai pameran foto yang sedang diselenggarakannya. *wink.. wink.. mimpi lagi :) *

Dikutip dari liputan 6 pagi, dengan percakapan yang tak sama persis dengan aslinya.

Saturday 4 December 2004

pesona bintang

Lalu tergerak begitu mendapati pesona bintang malam ini. Cahayanya masih redup. Kadang terhalau sapuan awan. Tapi begitu ku berpindah, ia terlihat lagi. Selalu begitu. Dan berharap selalu seperti itu. Ada pesona yang membuatku selalu ingin bergerak, menjadi seperti indahnya.

Friday 3 December 2004

si gendut

Kenal ma si gendut? Jawabannya bisa dipastikan "belum kenal". Tepat sekali. Soalnya belum satu postingan pun ttg si gendut –merhatiin gendut dan teman-temannya juga baru beberapa hari terakhir ini L -. Gendut, gendut. Lucu d. kalau berenang perutnya yang gendut itu bakal goyang kiri goyang kanan. Alhamdulillah dia dikaruniai keseimbangan ma Allah, waduh kalau ngga, kayaknya goyang dikit aja dia ga bisa berenang lagi. Dari samping diliat: gendut. Dari belakang diliat: gendut. Dari depan diliat juga: gendut. "ko bisa ya perutnya segede itu?", gitu d ptanyaan orang-orang yang baru liat si gendut. Gendut, gendut emang lucu. Seharusnya kemarin bisa lebih sering main2 ma si gendut, kasi makan, atau hanya sekedar merhatiin aktivitasnya ngelilingin akuarium. Sekarang dah ga bisa lagi. Iya, si gendut mati :( . Ikan gendut yang lucu itu mati, ga tau karena kurang oksigen atau kelaperan. Kemarin pas nyampe rumah lagi, tau-tau si gendut dah terapung di sudut akuarium. Sedih d liatnya. Temen-temen si gendut -gendut-gendut juga walau ga segendut si gendut- baik-baik aja. Kecuali ada satu ikan gendut yang warnanya putih –si gendut ini warnanya kuning- kayaknya lagi agak-agak ingin menyusul si gendut, berenangnya aja dah kebalik-balik. Kepala di bawah, perut gendutnya diatas. Kayaknya dia dah ga bisa ngendaliin dirinya sendiri. Terus berenangnya jarang banget ke dalam, pasti di permukaan. Padahal sirkulasi udara di akuarium dah dibenerin. Kenapa ya? Aduh jangan nyusul si gendut ya gendut putih, nanti aku harus bilang apa pada kedua orang tuaku? Ngurus ikan-ikan gendut aja masih sradak sruduk :(

--> sedang belajar mengenali ikan-ikan. Duh ternyata emang bener, harus tetep pay attention dgn serius walaupun pada hal-hal yang terlihat kecil :(

surga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai

"Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang beriman dan berbuat kebajikan, bahwa untuk mereka (disediakan) surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai." (QS. 2:25)

Kenapa ya kebanyakan kata surga dalam Al-Quran diikuti dengan kalimat "yang mengalir dibawahnya sungai-sungai". Apa ya yang Allah ingin kita pahami dari kalimat itu? Kalau misalnya ingin menggambarkan keindahan surga, kenapa tidak diganti dengan kalimat "yang didalamnya bertahtakan emas berlian". Atau kalau ingin menggambarkan bahwa sungai identik dengan air dan air identik dengan kehidupan, kenapa sungai? Kenapa tidak laut atau samudera? Atau memang karena sungai-lah sumber peradaban manusia? Seperti Eufrat, Tigris dan Nil? Wallahu’alam bisshowab. Ada yang mau berbagi?

Dari yang lagi bertanya-tanya, tapi belum banyak baca buku, baca terjemah masih bolong2 dan baca tafsir masih tersendat-sendat. Moga Allah karuniai kesanggupan untuk berdekatan dengan-Nya melalui ilmu. Amin.

Btw, ingin pergi ke Eufrat, Tigris dan Nil. Suatu saat nanti. Semoga.

selalu dinanti

Kadang ingin sekali terbebas dari setiap jengkal keinginan yang membuat diri berjarak dengan sang pencipta. Kadang ingin sekali menjadi makhluk yang terbebas dari nafsu. Menjadi malaikat yang hanya sujud pada sang Khalik.

"Kalau diperbolehkan memilih, lebih memilih menjadi manusia atau malaikat?"
"Jelas manusia dong. Kan di mata Allah ia lebih mulia".
"Tapi malaikat kan makhluk yang selalu setia, tidak mengkhianati sang Khalik yang menciptakannya. Tidak seperti manusia yang kadang terkuasai dunia"
"Tapi kepada manusia-lah Allah perintahkan semua bersujud, ia adalah makhluk yang Allah karuniai akal dan hawa nafsu yang semestinya dipergunakan untuk selalu tunduk pada-Nya."
"Setelah semua pengkhianatan yang dilakukan manusia, masih adakah keistimewaan yang kan ia peroleh dari-Nya".
"Percayalah. Bahkan untuk segenap cinta yang dilalaikan makhluk-Nya, manusia selalu dinanti untuk kembali pada-Nya. Tiada kekasih di dunia yang begitu setia dalam cinta, lalu mengapa ingin melepas semua kesempatan untuk bermesra dengan-Nya dalam bentuk terbaik yang ia karuniakan, yaitu dengan menjadikan kita manusia, yang merasakan pengapnya udara dunia untuk selalu kembali bersandar pada-Nya?
Percayalah.. seperti apapun kita hari ini, kita selalu dinanti untuk kembali pada-Nya."

Thursday 2 December 2004

ada oleh-oleh hari ini

dari cover sebuah buku -lagi2 lupa judulnya apa, klo ga salah tentang pemikiran aburzal bakrie-, ga mau ngomentarin isi bukunya -karena emang bukunya juga ga dibaca, hanya diliat-liat doang :)-
tapi yang menarik kalimat di halaman sampul:

"jangan biarkan dirimu berada di kegelapan. disana, bayangan pun akan meninggalkanmu"

begitu kira-kira kalimatnya. sederhana tapi bermakna.

Wednesday 1 December 2004

laut

Kubiarkan saja kakiku menyentuh dinginnya air. Laut di tengah malam seperti ini, mengerikan, tapi aku suka. Begitu damai. Lampu-lampu kapal dari kejauhan terlihat seperti kunang-kunang dan langit seperti tak berbatas. Lalu suara ombak yang menggulung. Lengkaplah senandung laut malam ini. Tenang sekali. Semua memainkan peran dengan begitu ceria. Rutinitas yang sama tiap harinya.
Lalu aku ingin mengusiknya. Tak rela ketenangan hanya miliknya.

Tuesday 30 November 2004

transfer pemahaman

Ada yang salah. Selalu saja ada yang menganggu disini. Dan terjawab sudah ketika baca bukunya pak Anis Matta: “Dualisme kepribadian muncul ketika pemahaman belum menjadi karakter seseorang” –aduh lupa kalimat aslinya bgimana, kira2 bgitu, bukunya ga dibawa-.

#: Betul bu, ketika pemahaman dah menjadi karakter, maka yang hadir adalah keseimbangan.
@: Ya, ya, selama ini memang belum begitu. Saatnya untuk mentransfernya menjadi karakter diri.
#: Btw emang pemahaman ibu dah sampai mana sekarang?
@: (Tersipu-sipu) iya, pemahamannya juga harus dipahamkan lagi baru proses transfer menjadi karakternya lancar ya?
#: Sipp, namanya juga proses bu :) saling tolong menolong dalam menetapi kesabaran ya bu :)
@: :)

kangen

Kangen. Tiba-tiba kangen dengan semua hal berbau jerman. Dah lama banget ga les jerman, awalnya karena sibuk, tahu-tahu jadi agak-agak males, trus lupa deh kalau seharusnya les L. Semua kosakata jerman jadi lupa. Apalagi Grammatik-nya yang super ribet. Hayu-hayu mumpung masih ada waktu luang, buka themen neu ma kamusnya lagi ok!! *sambil tepuk-tepuk punggung sendiri :p*

Ich bin gita. Ich bin 21 Jahre alt…..lupa lagi kesananya apa aja

tanya

Benar
Semua tergesa tanpa pernah menunggu
Bahkan sang waktu yang berjanji setia
Kemana ia pergi?
Atau akukah yang terperangkap dalam autisme pergerakan?

Monday 29 November 2004

fluktuasi kehidupan

Istilah usang yang masih terus berlaku sampai saat ini, bahwa hidup itu bagaikan roda. Ia kan berputar tiap saatnya. Lalu menghadirkan banyak peristiwa. Perubahan. Sesuatu yang berbeda. Tidak biasa. Tidak pernah diduga. Dan tidak dipersiapkan sebelumnya. Nah itu mungkin yang salah, "tidak dipersiapkan sebelumnya".

Tidak enak, tidak enak menghadapi sesuatu tanpa pernah men-setting-nya terlebih dahulu. Jadi yang harus dipersiapkan adalah persiapan menghadapi putaran roda, tidak lantas mengandai-andai. Begitu seharusnya.

ingin ke laut

ingin melihat laut. berdiri di atas pasirnya.

Sunday 28 November 2004

rintik

Saat rintik seperti ini, ingin sekali menengadahkan kepala dan membiarkan puluhan tetes air menghujani wajah. Berharap setelah itu luntur semua ketidakberdayaan dan esok kan tumbuh subur penghambaan.

Saturday 27 November 2004

ingin bersama

untuk semua yang sedang bergegas malam ini
mengepak perbekalan
berbagi sentuhan
:“kita kan bersama esok pagi”
tolong ceritakan nanti
bagaimana ruh terbang dalam zikruLlah
dalam cinta mulia
saat bumi lebur dalam satu nafas: meninggikan kalimah-Nya

Thursday 25 November 2004

motret memotret

sejak kapan ya minat ma fotografi? sejak jatuh cinta ma dunia jurnalistik kayaknya :)
jadi pas ditawarin mau ganti hp baru, lebih memilih beli kamera
tapi kamera lebih banyak teronggok di kamar tanpa disentuh, sampai akhirnya anak2 pers niat bikin pameran foto kecil2an, setelah itu mulai hunting2 foto, standar banget, gapapalah, namanya juga proses :)

langit sukajadi

ini jepretan pertama yang agak lumayan, dan dipajang di pameran foto kita, alhamdulillah ada yang minat dan mesen fotonya, tapi ga tau tuh panitia, dah sampai ke pemesan blm ya fotonya?? btw sebenarnya motret langit ini karena dah rada rada hopeless mau motret apalagi, akhirnya naik ke atas rumah, dan klik, dijepretlah senja sore itu -btw ini pake film hitam putih-

hasil foto berikutnya pas hunting ke-2, ada dua yang terkategori cukup :)

mobil laswi

yang satu ini, pas lagi nunggu lampu merah di jalan laswi, eh pas liat spion, kayaknya cakep juga kalo di potret

bunga gasibu

nah yang ini, pas lagi survey tempat di gasibu, lagi celingak celinguk nyari tempat, ga taunya pas nengok ke atas, subhanallah bunganya cantik bgt, sayang sudutnya ga gitu bagus, jadi kecantikannya ga terlalu terlihat

--> baru bisa pasang foto di blog, jadi semangat d :)

Wednesday 24 November 2004

repotnya jadi ibu

Malam sudah merayap larut, hampir tengah malam. Semua penghuni rumah tampaknya sudah lelap melepas lelah. Pun seorang ibu muda. Wajah letihnya seakan bercerita bagaimana waktu yang dilalui hari ini. Di sampingnya ada seorang bayi mungil yang juga sedang tertidur pulas.
Kriet.. tiba-tiba pintu kamarnya terbuka.
“Bunda dah tidur? Temenin kakak ke kamar mandi ya nda”. Anak sulungnya perlahan masuk dan membangunkannya.
Sang ibu menoleh sekilas pada suaminya. “Kasihan Ayah, pasti letih sekali”, batinnya. “Iya sayang, bunda temenin”.
“Bunda, tapi nanti nda temenin kakak juga ya sampai kakak tidur lagi, takut nda”. Hari ini adalah hari pertama si sulung mendapatkan kamar barunya.
“Iya sayang, tapi nanti kakak harus berani tidur sendiri ya”, ujar sang ibu sambil tersenyum.

Waktu terus bergulir, tanpa pernah menunggu.
Tiga belas tahun kemudian.

Di ruang tamu yang tak banyak berubah, seorang ibu sedang duduk terkantuk-kantuk. Hari sudah semakin gelap. Anak bungsu dan suaminya pun telah terlelap. Tak lama berselang, bel berbunyi. Sang ibu tergopoh-gopoh membukakan pintu, setelah sebelumnya mengintip lewat jendela.
“Loh, belum tidur nda?”, tanya anak sulungnya yang baru saja pulang.
“Belum sayang, tadi masih ada pesanan yang harus bunda selesaikan. Kok baru pulang jam segini kak?”, ujar sang bunda masih diwarnai kecemasan.
“Iya, maaf ya nda. Tadi ikutan bantu-bantu panitia di sekolahan. Pulsa kakak tadi habis nda, jadi ga sempat ngabarin ke rumah”, jelas anaknya.
“Ga apa-apa sayang, tapi nanti kalau pulang larut, kasih kabar ya. Bunda kan cemas. Sekarang ganti baju dan makan dulu. Sudah bunda siapkan di meja makan.”
“Ok bunda”. Dikecupnya pipi wanita setengah baya itu.

Wajah letih sang ibu masih melekat, tapi ada kehangatan disana. Hangat oleh cinta dan keikhlasan. Walau ada penat yang melelahkan, tetap tegar, tetap berpijak dan tak ingin beranjak, demi keluarganya, demi cinta-Nya.

--> ditulis setelah merasakan ga enaknya tidur malam yang terganggu. Bgmana dulu ya ibu-ibu kita? Tidur malam tak nyenyak, tapi pagi hari harus berletih lagi. Ternyata ga hanya saat kita kecil, tapi dah besar2 bgini juga kita masih bisa membuat tidur ibu kita jadi ga nyenyak. Itu baru masalah tidur, belum kerepotan-kerepotan lain yang kita “hadiahi” padanya. Memang benar menjadi ibu bukan pekerjaan mudah, tapi pekerjaan mulia.
Semoga Allah membalas semua keikhlasan beliau dengan sebaik-baik balasan. Amin.

Tuesday 23 November 2004

menikah = cita-cita?

Menikah adalah impian setiap orang –mungkin-. Indahnya pernikahan yang selalu terbayangkan, hingga lupa ada banyak hiasan selain itu di dalamnya. Menikah adalah menghabiskan sisa umur dengan seseorang. Yang bersamanya ada bangunan kokoh yang tiap harinya dijaga dalam satu nafas: keikhlasan. Selalu tersenyum saat melihat pasangan muda yang menggendong anaknya, entah senyum bahagia atau senyum cita-cita hehe.
Jadi menikah itu cita-cita? Mmm –sampai disini ga bisa ngelanjutin nulis lagi :p-

--> ditulis setelah mampir ke blognya mba rieska :) salam kenal mba

Monday 22 November 2004

h+9

Lagi ingin obrol mba, bentar aja malam ini. Butuh teman untuk berbagi. Rasanya hari ini aku ingin menangis mba. Di luar lagi hujan, jadi mungkin tangisku kan berbaur dengan suara hujan. Tidak ada yang tahu. Mungkin setelah menangis semua kan jadi lebih baik. Setidaknya jadi sedikit lega.

Akhir-akhir ini semua jadi terasa agak berat mba. Rasanya ada tumpukan beban di pundakku. Kalau seperti ini aku ingin terus menjadi anak-anak. Bisa berlarian sesukanya, kalau memecahkan gelas itupun tak jadi masalah. Masalah mungkin bagi sang ibu, tapi anak itu hanya menangis sebentar lalu kan berlari lagi. Aku juga ingin menangis sebentar lalu berlari lagi. Tak ingin pecahan-pecahan kaca itu membuatku takut untuk melangkah mba. Tapi sesudah kesulitan kan hadir kemudahan, itu janji-Nya kan mba? Karena kekuatan adalah kekuatan-Nya, kekuasaan adalah kekuasaan-Nya dan perlindungan adalah perlindungan-Nya.

Mba, aku jadi ingin membeli sofa terempuk di dunia dan bersandar hangat disana, memejamkan mata sejenak, lalu berlari lagi.

Sunday 21 November 2004

h+8.. semoga bisa menjaganya

“Selamat pagi mentari”, ujarnya seraya menyibak tirai dan menghirup segar udara pagi. Angin yang berhembus menerpa dingin dirinya. Pagi selalu membuat lupa ada terik dan panas yang kan hadir sesudahnya. Perlahan dituruni tangga-tangga rumahnya dengan riang. “Ada bidadari surga di rumahku”, batinnya. Dibukanya pintu berwarna kuning itu, mengendap-endap dan kemudian di kecupnya pipi seorang wanita yang sedang tertidur pulas.
“Pagi bunda, bangun dong, udah pagi ni”.
Wanita itu membuka matanya perlahan kemudian tersenyum. “Pagi cinta, gimana tidurnya tadi malam?”.
“Nyenyak bunda”, sahutnya jenaka. “Tidur lagi bunda selepas sholat?”
“Iya cinta, niatnya hanya melepas lelah sebentar saja, tapi malah kebablasan”, ujar sang ibu yang tengah beranjak bangun.
“Capek banget kemarin ya bunda. Hari ini shaum ga bunda? Kalau ga shaum mau minum apa?”.
“Semangat banget cinta, tuh bangunin ayah dulu. Bunda dan ayah ga shaum hari ini.nanti tolong buatin teh ya sayang”.
“Ok deh bunda”, dikecupnya kembali pipi wanita kesayangannya itu sebelum ia melangkah ke dapur.

Pagi ini batinnya bersenandung.Senandung senang dan semangat. Senang dipertemukan dengan ayah bundanya dalam keadaan sehat dan bahagia. Senang bisa membuatkan sesuatu untuk keduanya, walau ia tahu seberapa banyak pun usahanya tak bisa membalas jasa mereka.
Harapannya, semoga ia selalu ingat bahwa kebaikan mereka begitu besar, tanpa mengingat teguran kasih yang terkadang terdengar bagai bentakan, amarah atau apapun yang dirinya bahasakan. Bukan mereka, ia-lah yang sering menorehkan luka bagi keduanya. Entah matanya, ucapannya, tingkah lakunya, kadang menyakitkan atau bahkan sering. Astagfirullah.
Semoga ia selalu ingat bahwa tiap kesempatan yang Allah hadirkan bersama keduanya adalah kesempatan untuk berbuat baik dan membalas budi keduanya. Ada ruang disana yang tiap detiknya adalah rajutan kasih yang dibuat bersama agar kelak ia, saudara-saudaranya dan kedua orang tuanya dipertemukan kembali dalam taman surga-Nya kelak. Semoga setiap kesempatan yang Allah beri, bisa ia isi sebaik mungkin.

Seraya mengaduk teh untuk keduanya, tangannya meraih telepon seluler yang terletak di meja dapur. Dibacanya ulang pesan yang masuk subuh tadi:

Ada berjuta hamasah dakwah untuk memperbaiki umat, ada beribu langkah yang tak pernah henti tuk membina umat. Namun seringkali ada banyak lupa dan lalai tuk menjaga keluarga kita, bidadari surga kita, ibu, ayah dan orang-orang tercinta.

Pagi ini indah sekali. Seindah semua yang Allah karuniai untuknya. Moga ia bisa menjaganya.

-->teteh makasih dah berbagi pagi ini. jazakillah khair :)

Saturday 20 November 2004

h+7

Seperti turun dari gunung. Bengong. Bukan karena melihat gemerlap kota dan banyaknya polusi. Tapi lebih banyak bengong karena melihat perubahan diri sendiri. Dulu sepertinya ia tak begini. Cara berbicara, gerak-gerik, semua menjadi tak sama. Ada apa?
Entah. Sehari dua hari, masih dirindukannya suasana damai disana. Tapi seminggu, dua minggu kemudian ia berlomba, tak mau kalah, tak ingin ketinggalan. “Ini kemajuan jaman bung”, ujarnya. Tapi kala sendiri ia termenung kembali. Mengapa? mengapa ia ikuti semua yang membuatnya lupa. Ingin mendapat tempat di hati mereka? Ingin diingat oleh setiap orang? Atau ingin meninggalkan kesan yang mendalam hingga kemudian didapatkannya semua gemerlap ini? Kalau sudah seperti ini ia menyesal turun dari gunung. Lantas waktu dihabiskannya dalam diam.

Dulu, temannya berkata: “turunlah kesana, kelak kau kan tahu seperti apa dirimu”. Dan benar, ia jadi tahu seperti apa rupanya. Banyak sekali topeng yang ia kenakan di bawah sini. Berganti tiap harinya. Bermain dalam tiap peran yang ia lakoni.

Dan malam ini, ia terduduk dalam kepasrahan. Diingatnya semua. Tentang ia, dulu dan sekarang. Tentang semua perjalanan diri.

Yang ia tahu kini bahwa tiap detik adalah tahapan yang harus ia lalui dalam kesabaran. Ya kesabaran! Kesabaran menghadapi semua yang memikatnya dalam semu. Kesabaran mengingat kembali tujuan semula. Dan yang terpenting adalah kesabaran untuk melalui tangga-tangga perbaikan menuju muslim kaffah. Bukan hitungan detik yang kan mengubahnya menjadi hamba yang senantiasa ingat Tuhannya, tapi pernik kehidupan yang kan memolesnya indah. Esok mungkin kan ada kecewa dan sedih saat bercermin. Kecewa atas amalan diri dan amalan hati. Maka bersabarlah atas semuanya, bersabar atas dirinya sendiri. Dan kemudian bergeraklah dalam kesabaran.

Semoga yang hadir esok adalah buah kesabaran, cinta-Nya.

Di sepenggal akhir malamnya, ia tersenyum, bersyukur atas kesempatan turun gunung yang Allah beri, yang mengajarkannya atas satu makna kehidupan: kesabaran.

--> dan jadikanlah sholat dan sabar sebagai penolongmu

Thursday 18 November 2004

aku, Reno dan Ais

Tanganku hanya dua. Yang setiap harinya kupakai untuk menghidupi mereka dan membuat diriku juga tetap “hidup”. Jemari ini rasanya kian hari kian kasar. Tak sehalus dulu saat bunda setiap hari menimangku.

Satu, dua, tiga.. Kuhitung perlahan jumlah karung yang berhasil aku pindahkan hari ini. Lumayanlah, menjelang idul fitri begini proyek kerjaanku setidaknya bertambah, walaupun sedikit. Namun saat kuhitung kembali lembaran uang di tanganku, jumlahnya tak seperti yang kuharapkan. Tampaknya tukang jagal itu berhasil memotong jatah kami terlebih dahulu. Kuhela napas perlahan seraya meninggalkan tempat ini. Aku berjalan ditemani rumitnya pikiranku. Reno minta sandal baru, sandal yang kemarin talinya putus saat ia harus berlarian mengejar bus. Ais sekarang semakin kurus, bukan karena kami hanya memiliki sedikit uang untuk makan tapi ia sendiri tidak suka makan. Dan aku, entahlah, aku tak ingin menjadi orang egois di saat seperti ini. Melihat senyum manis mereka saat menyambutku pulang membawa kantong plastik saja sudah sangat membahagiakanku.

***

Terik sekali. Sudah beberapa hari terakhir ini puasa sangat terasa. Udara Bandung semakin panas. Sesekali tergiur juga melihat segarnya minuman warna warni di taman kota. Kulirik sekilas jam yang terpajang di toko depan. Dua jam lagi berbuka. Aku harus bergegas. Reno dan Ais pasti menungguku di ujung Bandung ini, Cileunyi.
Ramai. Semua orang sedang mempersiapkan kemeriahan idul fitri. Mungkinkah mereka juga sibuk dengan ramadhan yang tinggal sehari ini? Setahuku Reno selalu bersedih jikalau mentari ramadhan kan berganti. “Mas, kita masih kan dipertemukan dengan ramadhan mendatang tidak ya?” Begitu selalu tanyanya tiap kali takbir berkumandang di akhir ramadhan. Reno juga yang selalu mengingatkanku untuk menahan lapar dan haus selama ramadhan ini, walau bagaimanapun beratnya pekerjaanku. “Mas, toh tidak ada orang yang meninggal karena berpuasa, malu mas wong anak SD aja shaum kok.”
Reno adikku, ia yang menyejukkan rumah kami –walau hanya sepetak ruang-. Sejak tidak sekolah lagi, harinya dihabiskan untuk berjualan dan berdiam diri di masjid. Ia berteman dengan mereka yang menundukkan pandangan dan berjenggot tipis, entah siapa mereka. Aku juga tidak mengenalnya, aku kan jarang dirumah. Tapi yang aku tahu Reno semakin alim sejak berteman dengan mereka, jadi aku biarkan saja.
Dan Reno kecilku kini semakin beranjak remaja. Tapi ia tak seperti kebanyakan anak ABG –yang bagaimanapun kondisi ekonominya- berlomba-lomba menyaingi idola mereka. Reno lebih senang mengasuh Ais yang sekarang seharusnya sudah duduk di kelas 2 SD.
Aku tersenyum. Reno dan Ais, merekalah yang membuatku selalu ingin bekerja.

Langit sudah semakin gelap. Kini di tanganku sudah ada sepasang sandal baru dan jepit lucu untuk Ais. Mungkin aku baru akan tiba satu setengah jam lagi di Cileunyi. Tapi aku percaya Reno, pasti ia telah mempersiapkan makanan ala kadarnya untuk ia dan Ais. Perlahan kutuju masjid di taman kota, saat air segar membasuh wajahku, teringat kembali pertanyaan Reno: “mas, kita masih kan dipertemukan dengan ramadhan mendatang tidak ya?”.
Tiba-tiba aku jadi kangen dengan mereka. Reno, Ais, mas sayang Reno dan Ais.
Uhh, ingin sekali segera terbang ke sana dan memeluk mereka erat.

***

Cileunyi, saat azan magrib berkumandang.
Ada lafaz doa dalam diamnya seorang anak:
“Rabb, pertemukan kami kembali dengan ramadhan mendatang. Rabb, Reno sayang mas Tio dan Ais karena Engkau. Dan Rabb satukan Reno, mas Tio dan Ais dalam surga-Mu kelak ya Rabb. Amin.”

Tuesday 16 November 2004

h+3..

Ternyata baru sebatas niat dan kesadaran. Tergoyah sedikit saja maka niat dan kesadaran itu menguap. Begitu cepatnya, hingga yang datang kemudian hanya penyesalan.

Kadang hadir tanya: jikalau ini tarbiyah, maka kenapa Allah memilihkan cara ini? Kenapa harus menggores luka? Kenapa harus ada tangis? Tak bisakah kemasan lain yang datang memberi arti?

Sungguh tiada niatan tuk memberi duka.

Astagfirullah.
Yakinkan sekali lagi, yakinkan tolong, bahwa Allah menyayangimu dan Allah tahu bagaimana menempamu dalam tiap episode yang Ia tentukan. Dan yakinkan bahwa tiap kepingan adalah kesempatan tuk bercermin dan mengukur diri.

Astagfirullah.
Semua indah hanya karena Allah bukan? jadi cukuplah Allah, Rasul dan orang beriman yang menjadi saksi atas semua niat dan semua usaha.
Dan pintalah pada-Nya agar yang terpendar adalah kebaikan.

Mohon ampun pada-Nya dan mintakan maaf atas semua khilaf yang ada.
Sekali lagi, mintakan maaf atas semua khilaf.
Moga esok hadir naungan cinta yang merendam semuanya.

Thursday 11 November 2004

..

Bu, kesederhanaan itu seperti apa?
Diakah yang memilih menolak fasilitas negara yang berlebihan?

Bu, bagaimana aku meneladaninya?
Apa perlu kita batalkan rencana bepergian untuk berbelanja esok?

Subhanallah bu
Selalu ada tempat untuk berhenti sejenak
Menengok mereka dan kembali melihat diri ini

Semoga Allah selalu bersama mereka
Yang mendamba janji-Nya kelak

Sungguh bu, ini bukan di negeri dongeng

--> ditulis setelah mampir ke blognya Uni dan baca http://sabili.co.id/telus09thXII04.htm

Wednesday 10 November 2004

bukan barisan malaikat

Jamaah ini bukanlah barisan malaikat
Yang didalamnya tak kau temui kekhilafan
Ia adalah barisan yang Allah adalah tujuannya
Betapapun tidak sempurnanya mereka

Sunday 7 November 2004

karena begitu istimewa

Bukan seorang biasa
Yang melantunkan indah makna yang terucap dalam diam
Dalam tiap lukisan warna

Bukan seorang biasa
Yang mengajari betapa memikatnya irama perjalanan
Yang hadir untuk direnungi
Dan ditarikan dalam keteguhan gerak

Bukan seorang biasa
Karena mereka begitu istimewa

Dan aku disini
Mengamatinya
Menerjemahkannya ke ruang-ruang waktuku

Tuesday 2 November 2004

sebait rindu

Ada yang menyentuh damai
Saat tiupan melayangkan pesan
Untukmu disana
Yang tersenyum
Meski teman tak sama bermain ayun.

Ada yang menyejukkan jiwa
Saat kupinta awan bercerita
Aku memimpikan mereka yang mengunjungi langit

Dan ada yang tertinggal disini
Sebait rindu
Kapankah angin kan menerbangkanku bersamanya

Friday 29 October 2004

senja

Berdiri di pantai barat. Memandangi senja yang terpantul indah di birunya lautan. Sendiri, berkejaran dalam kecamuk rasa.
Dulu ada yang setia bersamanya. Dalam hangatnya pagi dan pekatnya malam.

Disusurinya pasir-pasir berkilau. Senyum yang hadir bercerita bagaimana indahnya ketika semua dilalui bersama. Ia hempaskan tubuhnya di antara kedua kokoh kelapa. Tempat favorit mereka ketika semua dicelotehkan dalam gelak tawa, debat sengit dan dalam diam saat terpesona gerakan mentari.

Perlahan beku yang mulai menemani. Saat ia tak mampu mengerti mengapa tercipta dalam sekat. Semua dipertanyakan hingga perlahan menjauh dan memudar. Kini hanya bayangan yang hadir menemani senja hari ini.

Mungkinkah kita bukan teman?

Thursday 28 October 2004

kotak kayu

Menyimpan rasa dalam sekotak kayu yang tertutup rapat, terkunci dan diletakkan di pojok sana. Berdebu. Gemboknya sedikit demi sedikit mulai berkarat.
Hari ini ia temukan kuncinya. Disingkirkannya perlahan serpihan kayu lapuk diatasnya. Sejenak udara dihadapan berbaur dalam sinar dan tiupan debu. Lembab. Walau kilauan mentari masih berani memunculkan dirinya melalui celah kecil di sudut atas pintu.
Ia menghela nafas sejenak. Sudah lama ia tidak menjejakkan kakinya di tempat ini. Menelikungi jengkal demi jengkal luasnya. Menghirup kembali hembusan bernama kenangan. Semua itu membuatnya sesak.
Harus. Ia harus memulainya. Setidaknya memberanikan diri menyadari tempat ini dan menghadirkannya dalam hari-hari yang ia lalui. Kemudian mengukur seberapa besar kesanggupannya meniadakan kisah bernama masa lalu.
Helaan nafasnya terdengar lagi. Kali ini tangannya meraih jendela, membukanya dan membiarkan semilir angin memenuhi ruangan, menghanyutkan dirinya dalam buaian asa. Kini ia bisa mengamati seluruh ruangan dengan jelas. Sepi. Hanya kotak kayu itu yang teronggok di sana. Dan hanya karena itulah seluruh tempat ini dibiarkan dalam kebisuan.
Pandangannya terhenti ketika matanya menangkap sederet kata terukir di sisi depan kotak itu: “karena semua kan berkesudahan, dalam sepenggal cerita atau keabadian”.
Matanya terpejam. Lama. Hingga bulir-bulir air menghiasnya. Ia biarkan dirinya terisak kecil dalam kesunyian. Sejenak ada pinta disana.
Cukuplah semua ini. Hingga tiada lagi ruang berkotak kayu.

menjadi biasa

tidak ada yang menarik untuk diperbincangkan
dalam suka, tawa ataupun gelisah
menjadi tanpa rasa dan hanya sekedarnya
secukupnya
hingga biasa

Monday 25 October 2004

senyum

bagaimana bahagia datang tanpa terduga?
bukankah Dia yang selalu menyenangkan hati hamba-Nya dari arah mana saja

Sunday 24 October 2004

jikalah pada akhirnya

jikalah derita akan menjadi masa lalu pada akhirnya
maka mengapa mesti dijalani dengan sepedih rasa
sedang ketegaran akan lebih indah dikenang nanti

jikalah kesedihan akan menjadi masa lalu pada akhirnya
maka mengapa tidak dinikmati saja
sedang ratap tangis tak akan mengubah apa-apa

jikalah luka dan kecewa akan menjadi masa lalu pada akhirnya
maka mengapa mesti dibiarkan meracuni jiwa
sedang ketabahan dan kesabaran adalah lebih utama

jikalah kebencian dan kemarahan akan menjadi masa lalu pada akhirnya
maka mengapa mesti diumbar sepuas jiwa
sedang menahan diri adalah lebih berpahala

jikalah kesalahan akan menjadi masa lalu pada akhirnya
maka mengapa mesti tenggelam di dalamnya
sedang taubat itu lebih utama

jikalah harta akan menjadi masa lalu pada akhirnya
maka mengapa mesti ingin dikukuhi sendiri
sedang kedermawanan justru akan melipatgandakannya

jikalah kepandaian akan menjadi masa lalu pada akhirnya
maka mengapa mesti membusung dada dan mebuat kerusakan di dunia
sedang dengannya manusia diminta memimpin dunia dengan sejahtera

jikalah cinta akan menjadi masa lalu pada akhirnya
maka mengapa mesti ingin memiliki dan selalu bersama
sedang memberi akan lebih banyak menuai arti

jikalah bahagia akan menjadi masa lalu pada akhirnya
maka mengapa mesti dirasakan sendiri
sedang berbagi akan membuatnya lebih bermakna

jikalah hidup akan menjadi masa lalu pada akhirnya
maka mengapa mesti diisi dengan kesia-siaan belaka
sedang begitu banyak kebaikan bisa dicipta

-->dari kamus 2000, dikasih ma mita ^^

Friday 22 October 2004

..

Jangan pernah terpenjara dalam kotak yang terciptakan sendiri. Tengoklah sejenak keluar sana, tidak aman mungkin, tapi memberi banyak arti tentang bagaimana seharusnya semua disikapi.
Jangan berhenti dalam suatu persinggahan. Beranjaklah sesekali, amati, cukupkah semua yang telah terlalui?

--> untuk semua yang mempesona hari ini, makasih

Thursday 14 October 2004

jelang Ramadhan

"Hai orang-orang beriman, telah diwajibkan atas kalian puasa, sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertakwa. (QS.2:183)"

Puasa dapat mempersiapkan orang menuju derajat takwa dan naik ke kedudukan orang-orang muttaqin.
Ibnul Qayim berkata: puasa memiliki pengaruh yang menakjubkan dalam memelihara fisik, memelihara kekuatan batin, dan mecegah bercampuraduknya berbagai bahan makanan yang merusak kesehatan. Puasa memelihara kesehatan hati dan anggota badan, serta mengembalikan lagi hal-hal yang telah dirampas oleh tangan-tangan nafsu syahwat. Ia adalah sebesar-besar pertolongan Allah untuk membangun takwa.
Puasa Ramadhan adalah madrasah mutamaziyah (sekolah istimewa) yang dibuka oleh Islam setiap tahun untuk proses pendidikan praktis menanamkan seagung-agung nilai dan setinggi-tinggi hakikat. Barang siapa memasukinya, menjalin hubungan dengan Tuhannya di sana, mengerjakan puasa yang baik sebagaimana diperintahkan, lalu menjalankan qiyamullail sebagaimana yang disyariatkan Rasulullah SAW., ia telah berhasil menempuh ujian dan keluar dari musim ujian ini dengan mendapatkan keuntungan yang besar dan penuh berkah. Keuntungan apalagi yang lebih besar daripada menerima ampunan dan diselamatkan dari api neraka?*)

--> mohon maaf atas segala khilaf, semoga kita berkesempatan menikmati indahnya Ramadhan dalam untaian ibadah dan ikhlas, dan semoga Allah berkenan menjadikan kita hamba-hamba pilihan-Nya

*) Fiqih Puasa, Dr. Yusuf Qardhawi

Friday 8 October 2004

sahabat

Aku mengenal seseorang, yang saat diamnya menjadi tanyaku dan bahasanya menjadi renunganku...

Suatu kali dia berangan:
Jika Allah kelak memberi kesempatan bagiku untuk mempunyai seorang anak laki-laki maka akan kunamai ia Abdullah Azzam, agar keberanian dan keshalihannya seperti sang syuhada.

Ketika Dr. Hidayat Nurwahid mendapatkan amanah sebagai ketua MPR, ia bergumam:
Masa tidur telah habis, malu jika sampai saat ini kita belum memberikan kontribusi apapun untuk dakwah.

Saat sepertiga malam menjelang, ia berkata:
Tahu tidak apa yang membahagiakanku saat ini? Yang paling membahagiakanku adalah ketika mengetahui bahwa apa yang kulakukan adalah sama dengan apa yang mereka lakukan. Ratusan tahun silam, Rasul dan para sahabat juga bangun di sepertiga malam, seperti kita saat ini. Maka mengapa menunda mengamalkan ajaran dan sunnahnya. Jikalau kita tidak berkesempatan hidup sejaman dengan kekasih Allah, maka biarkan rasa itu yang hadir menemani kita memupuk kerinduan untuk menemui-Nya kelak.

Dan siang ini, ia hanya bisa memapah seorang ibu sambil sibuk menahan air matanya yang mulai tak terbendung. Ia hanya bisa mengadu:
Inikah? Baru inikah yang bisa aku lakukan? Astagfirullah. Bagaimana aku memohon untuk bisa memperoleh rumah di surga, jika dunia masih saja menjadi pertimbanganku.

.. masih seperti itu, diamnya menjadi tanyaku dan bahasanya menjadi renunganku.

Wednesday 6 October 2004

Hidayat Nurwahid: Ketua MPR

Semut dapat membawa beban yang lebih berat dan lebih besar dari badannya. Kemampuan jari kita juga akan dapat mengangkat beban yang berat, sampai puluhan kilo, bila jari kita bergabung, bersinergi, dan saling menyatukan kekuatan.
Kita bukan semut, tetapi kita pernah dan akan membawa beban yang lebih besar dan lebih berat dari badan kita. Beban dakwah adalah bukan beban perorangan, tetapi beban kolektif. *)

*) Dari buku: Profil Kader Partai Keadilan Sejahtera.

Monday 4 October 2004

mencoba bertahan

Seperti kisah abadi
Kucoba tuk bertahan dalam ruang bernama kesetiaan
Walau sungguh benar ini tak mudah

Wednesday 22 September 2004

Sa

Manis. Senyum yang menghiasi wajahnya membuat ia makin menarik. Muslimah sopan satu ini selalu membuatku malu bila di hadapannya. Bagaimana tidak, tuturnya santun, gerak-geriknya lemah lembut. Berbeda denganku yang masih sradak sruduk ini.
Kadang celotehan-celotehannya membuatku tertegun. Suatu hal yang tampak kecil di hadapanku bisa berarti sangat besar baginya. Apalagi jika itu menyangkut masalah hati.
Sungguh aku perlu belajar banyak darinya.

***

“Sa, kok tak pernah menghubungiku lagi? Insya Allah mulai sekarang aku bisa membantu dalam penerbitan buletin kecamatan”, ujarku suatu ketika. “Oia? Afwan, soalnya ane pikir anti masih sibuk. Jadi ane tunggu anti yang menghubungi ane”, jawabnya. Jadi tertohok lagi. Tampak husnudzhan telah menjadi bagian dari kebiasaannya. Padahal sejak Agustus lalu praktis amanah lain sudah tak kupegang lagi. Hanya sibuk berbenah diri dan menikmati hari sebelum memasuki masa prako-as. Lagi-lagi malu aku di hadapannya.

***

Dua hari yang lalu Allah memberiku kesempatan menghabiskan waktu setengah hari bersamanya. Saat itu ada Aisyah, gadis kecil yang baru duduk di bangku SD. Aku baru berkenalan dengan Aisyah. Sedangkan Sa tampak sudah akrab dengannya. Aisyah ini anak yang cerdas. Kemarin dia melontarkan pertanyaan: “Teh, pernah nonton Uka-uka ga? Kalau disuruh ikutan acara itu berani ngga?”. Spontan aku menjawab, “ngga”. Dari dulu aku memang alergi dengan acara seperti itu. Sedang Sa, dengan bijaknya ia berkata: “Kalau teteh lihat dulu itu acara yang seperti apa. Acara seperti Uka-uka itu kan acara yang menganggu keberadaan mahluk gaib. Berarti kita sudah mengusik ketenangan mereka dan itu bisa membuat mereka tidak nyaman dan balik menganggu kita. Seperti anak harimau saja, kalau tidak kita ganggu ia tidak akan menganggu kita bukan? Jadi untuk berperan serta dalam acara itu, teteh bukannya ngga berani, tapi ngga mau”. Subhanallah, entah sudah kali keberapa ia membuatku termangu. Bukan hanya perkataannya tapi cara ia menghadapi Aisyah juga mengingatkanku untuk bagaimana menyikapi kekritisan seorang anak. Bukan jawaban ngasal seperti jawabanku tetapi jawaban bijak dan memberi pengertian yang kemudian kan bermanfaat bagi Aisyah. Duh Sa, aku ingin bisa seperti itu.

***

Kini rutinitasku sudah dimulai kembali. Ia pun sedang menata aktivitasnya lagi. Dan seperti dulu, kami akan jarang berjumpa. Tak akan rutin bertemu mungkin, tapi tiap pertemuanku dengannya selalu meninggalkan sekeping kisah di sini, di sudut ruangku. Sungguh Sa, aku ingin belajar banyak darimu.

from: Sa. 21/09/2004. 09:45
Jazakillah, semoga kemarin tergantikan dengan kemuliaan nan hakiki dariNya

Tuesday 14 September 2004

meski tak sempurna

Harumnya mungkin tak semerbak melati
Indahnya mungkin tak seindah lembayung senja
Tak sempurna mungkin
Tapi polesan iman membuatnya semakin menawan
Tundukan malu membuatnya tak mudah tergoda
Kerlingan cinta membuatnya menjadi jenaka
Duhai cinta.. kuharap kau jadi bidadari surga-Nya

mbak, uhibukifillah :)

Monday 13 September 2004

tolong bantu

Pak tua
Tolong buatkan sebuah kotak untukku disudut sana
Untuk menyimpan semua rasa, ingin dan pinta ini
Pak tua
Sediakan juga cermin di ruangan ini
Agar ia memantulkan isinya
Dan tolong pak
Bantu aku membersihkannya jika ia telah kusam dan tak bersinar lagi
Agar esok kilaunya kan seperti semula

meine Liebe Schwestern.. saling menyemangati ya

Saturday 11 September 2004

yakinlah Allah pasti menolong

Derit pintu itu mengusiknya. Sesaat ia tersadar, ah sudah tengah malam. Bagaimana ini, ia belum memutuskan satu hal pun untuk dilakukannya besok. Masih terngiang gurauan Pak Iwan: “Masa gitu aja ga bisa”. Sederhana memang. Tapi kata-kata itu begitu mempengaruhinya hingga ia tidak bisa tidur malam ini.
Iya, masa untuk melakukan hal ini saja tak bisa. Lantas kemana dulu ajaran-ajaran untuk saling menolong, mana ikatan ukhuwah itu, mana semangat untuk menjadi golongan orang-orang yang bahu membahu meninggikan kalimah-Nya.
Malu.

“Ri, belum tidur?”. Ai, kakak pertamanya heran melihat ia masih bengong di kamarnya sambil memegang Samsung E-700 yang baru dibelinya seminggu yang lalu. “Belum kak, ini masih harus sms teman-teman, besok ada acara mendadak ni”. Begitu dalihnya, padahal pikirannya sendiri masih tak menentu. Ia tidak perlu menghubungi teman-temannya. 0815, hanya nomor itu yang harus ia hubungi untuk mengkonfirmasi kehadirannya esok.

Ia melirik jam di kamarnya. Sudah 10 menit yang lalu sejak ia membatalkan janjinya. Tapi ragu itu masih menyelimuti. Benar tidak ya keputusan yang ia ambil. Sejuta alasan yang ia kemukakan lewat telepon tadi terasa seperti mengada-ada kini.

“Jadi besok Ri tidak bisa ya?”. Terputar kembali rekaman pembicaraan tadi.
Dan kini ia mengulang pertanyaan yang sama untuk dirinya. “Benarkah besok aku tidak bisa?”

Perlahan matanya memerah. Bulir-bulir air mata itu mulai jatuh. AstagfiruLlah. Maafkan ya Allah. Betapa egoisnya dirinya. Bukankah semua merasakan hal yang sama. Lelah dan penat. Maka seberapa besar pengorbanan dirinya esok hari jika dibandingkan pengorbanan Abu Bakar, Umar dan sahabat Rasulullah lainnya bagi Islam? Malu.

Allah tidak menjanjikan kesenangan dan kemudahan setiap harinya, tapi Dia janjikan di tengah kesedihan, kesusahan, dan kesulitan tangan-tangan penolong yang tiada berkesudahan.

Yakinlah Allah pasti menolong.

Perlahan diketiknya rangkaian huruf demi huruf: ”Aslm, insya Allah besok saya bisa hadir…"

Thursday 9 September 2004

matahari masih setia menyinari Jakarta

Matahari masih bersedia menyinari Jakarta. Menerobos masuk lewat kardus-kardus di tepian rel yang telah berubah fungsi menjadi rumah tinggal. Kumuh, gelap, dan entah berapa jenis hewan yang senang bermain-main disana.
Laju kereta pun sama apatisnya dengan kebanyakan orang. Melenggang dengan cepatnya tanpa peduli sedang apa mereka dibawah sana.

***

Peluh itu membasahi wajahnya. “ Es jeruk bu, segar”. Ucapnya berulang-ulang seraya berkeliling memegang baki berisi enam gelas jeruk dingin yang memang menggoda untuk diminum di tengah ramainya Pasar Tanah Abang.
“Wuih, kok asam begini”, terdengar olehnya seseorang berucap. “Gulanya sedikit kali”, timpal yang lain. Sebenarnya kalau bukan untuk menopang hidupnya di Jakarta dia pun tak ingin menjajakan es jeruk segar yang asam ini. Segera ia pindah ke blok lain. Tak lama kemudian riuhnya Tanah Abang pun bertambah dengan seruannya: “Es jeruk bu, segar”.

***

Fauzan, “jan” begitu biasa dia dipanggil, tinggal hanya terpisah beberapa meter dari rel kereta yang seharinya mungkin bisa dilalui 10-15 argo gede dengan rute Gambir-Bandung ataupun Bandung-Gambir. Sesekali jikalau kereta itu melambatkan lajunya, ia memperhatikan rangkaian gerbong-gerbong eksekutif itu sembari menunggu untuk dapat menyeberang rel. Kali ini pikirannya terbang, tak terusik gemuruhnya deritan kereta. Melekat dengan kuatnya kenangan saat ia berusia 11 tahun. Saat itu hidupnya pun tak ubah seperti mereka yang sedang menikmati dinginnya AC gerbong eksekutif. Ia dan ayahnya sering menghabiskan waktu bersama mengunjungi stasiun kereta api. Memandangi laju kereta yang datang dan pergi, dan kemudian berceloteh bagaimana suatu saat nanti ia ingin menjadi seorang masinis. Kenangan itu kemudian berganti menjadi gundah. Segundah hatinya ketika ayah yang dibanggakannya telah berganti menjadi seorang kerdil yang terbudakkan hatinya oleh kerasnya Jakarta. Dan hancurlah semua impiannya. Kini ia hanya bersama ibunya bertahan di tepian rel kereta dan memandangi laju kereta yang datang dan pergi tiap harinya.

Lamunannya lenyap ketika seseorang tanpa sengaja menyenggolnya. Ah, kereta itu telah melaju. Anak-anak kecil pun tengah berlarian menyeberangi rel kereta. Seulas senyum menghias wajahnya. Biarlah, bukankah kemuliaan itu hanya datang dari Allah. Yang ia yakini ia harus mengikhlaskan semuanya dan berusaha memperbaiki kualitas hidupnya. Allah pasti menolong. Toh matahari pun masih setia menyinari Jakarta.

Hari ini ini ia harus kembali ke Tanah Abang lagi. Tapi kali ini seruannya berbeda: “Es jeruk bu, segar. Tapi agak sedikit asam”.

--> oleh-oleh dari Jakarta :)

Monday 23 August 2004

frueher.. jetzt.. aber..

dulu.. masuk FK itu hanya dilandasi dengan alasan yang simple: pertama karena phobia ma fisika; kedua karena hanya boleh kuliah di bandung ma orang tua, berhubung universitas negeri di bandung hanya dua: ITB ma UnPad, jadi jatuhlah pilihan ma FK UnPad
sekarang.. jadi cinta ma profesi dokter, dan ingin sekali bisa jadi dokter yang benar-benar dokter, bukan sekedar sebagai mata pencaharian *duh idealisme yang moga-moga bisa bertahan hingga saat menjalaninya kelak*
tapi..
belajar masih gitu-gitu aja, sekarang saatnya tuk benar-benar berubah *semoga bukan semangat di awal aja*

dulu.. masuk departemen pers di kampus hanya dengan alasan simple: biar bisa nulis skripsi ntar
sekarang.. jadi jatuh cinta ma dunia jurnalistik, dan ingin bisa berkarya di dalamnya
tapi.. masih maju mundur mendalami dunia jurnalistiknya *semoga suatu saat bisa bikin pameran foto sendiri*

dulu.. lulus SMU kayaknya dah seneng banget
sekarang.. dah mau di wisuda s1
tapi.. perjalanan itu masih lama dan panjang sekali *terbayang AGHT-nya, semoga bisa menjalani dengan baik*

dulu.. sepertinya hasil adalah segalanya
sekarang.. ternyata menjalani sebuah proses itu mengajarkan banyak hal
tapi.. masih juga sering berkeluh kesah berada dalam proses yang melelahkan *semoga besok bisa lebih ikhlas lagi*

ia, hidup itu memang suatu proses *baru nyadar gini hehe*
belajar berjalan, masuk TK, tamat SD, SMP, SMU, berkecimpung di organisasi, nyusun skripsi -> kalau dinikmati, benar2 jadi tahapan yang memperkaya diri
-> mencintai setiap detik kesempatan berproses yang Allah berikan -> tampak menjadi solusi untuk berproses itu sendiri; untuk jadi baik dan lebih baik lagi; untuk semakin ikhlas, sabar dan bersyukur.. -> waa semoga termasuk didalamnya.. amin, amin, amin

Saturday 21 August 2004

olimpiade kebaikan

istilah yang lucu tadi dilontarkan seorang saudara -> olimpiade kebaikan
ia, ajang berlomba-lomba menyebarkan kebaikan
ajang ini gratis, tak perlu daftar ulang, karena pemilik langit dan bumi ini sudah mendaftarkan masyarakat bumi di dalamnya
jadi tak ada seleksi dan audisi, semua penduduk bumi –tua, muda, kaya, miskin- bisa berpartisipasi dan berprestasi
tak ada yang perlu dibawa, karena semua fasilitas untuk berlomba telah tersedia, tinggal pilih akan menggunakan yang mana
dan ajang ini tak mengenal batas ruang dan waktu, kapan saja dan dimana saja ingin berprestasi maka lakukanlah

tapi sportivitas sangat dijunjung tinggi: niat yang ikhlas dan cara yang baik

nah, yang perlu dipertanyakan sekarang -> ada di urutan berapa ya diri ini dalam olimpiade kebaikan ini?

Tuesday 10 August 2004

:)))))

akhirnya setelah sekian lama ga ngotak ngatik blog, jadi kangen, dan ternyata blogger dah nyediain fasilitas yang siap pakai dengan begitu mudahnya *kemana aja ya ienk :D*

jadi alhamdulillah bersemangat nulis lagi :)

Sunday 18 April 2004

rindu

syaikh Ahmad Yasin..
tubuhnya mungkin renta, tak bergerak dengan leluasa, pandangannya bisa saja kabur, separuh usianya dilalui bersama kursi roda
dia bisa berarti yang tua dan rapuh..
tapi subhanallah bagaimana Allah memuliakan beliau..
semangatnya, keberaniannya, kemuliaannya memukau, bahkan hingga jasadnya hancur..

subhanallah, seorang syaikh Ahmad Yasin saja begitu mulia, bagaimana sang Rasul, kekasih Allah..

alhamdulillah Allah beri kesempatan untuk bisa hidup sejaman dengan syaikh Ahmad Yasin...
bisa bertemu dengan kisahnya..
bisa terinspirasi oleh kemuliaannya
semoga beliau termuliakan di sisi-Nya..

sungguh saat ini ingin sekali bertemu syaikh Ahmad Yasin, berguru dengannya dan kemudian jadi bagian dari perjuangan beliau..
jika Allah mengizinkan..
moga Allah mengizinkan..

Monday 16 February 2004

semester 8..

masih jam 5 pagi ni..
hari ini kuliah pertama di semester 8
knapa ya kalau dulu pas smu tiap libur pasti pengen cepet2 balik ke kampus, kalau sekarang pas dah kuliah tiap libur pasti pengen libur mulu hehe

jadwal semester ini kuliahnya tiap hari..
malah ada yang sehari cuma sejam doang kuliah, jam 12 siang pula.. menggoda untuk tetap di rumah yang berjarak 40 km dari kampus..
tapi kan niatnya mo ngejadiin semester ini sebagai semester tersukses dalam sepanjang karier kuliah di FK :) jadi harus semangat tiap hari kuliah juga!!

tapi khawatir juga ni, jadwal UTS ntar kan tgl 5-17 april 2004, nah itu kan rada rada tepat ma pemilu yang di gelar tgl 5 april.. hiks cemas ni, moga dua-duanya -UTS ma pemilu- berjalan lancar.. amin

Saturday 14 February 2004

dua hari setelah pembebasan akbar tanjung..

tadi liat di lativi, acara “sosok dan berita”, masih mengetengahkan peristiwa 12 februari, pembebasan akbar tanjung..
kamis kemarin ga sempet liat tipi sampai selesai, soalnya mesti les, berita2 pas hari jumatnya juga ga sempet ditonton, hanya baca koran aja plus liat foto-fotonya..
dan tadi baru bener-bener liat gimana sebenarnya akhir dari keputusan hakim -yang bertitel agung itu-

sedih bener, kerasa bener sakit hatinya..
sekali lagi pengkhianatan dilakukan
sekali lagi duka ditorehkan oleh mereka yang berkuasa
daftar itu makin panjang, mulai dari kebakaran hutan, penggusuran, penjualan aset negara, korupsi, phk, konflik aceh, sampai kini, pembebasan akbar -yang ga masuk akal ini-
wajar kalau karena daftar ini rakyat semakin hopeless, karena kepada siapa lagi bisa berharap keadilan?
bisa dimengerti kalau akhirnya apatis menggantikan sifat ramah tamah dan gotong royong yang dulu sempat menjadi khas bangsa ini..
smoga daftar ini tak bertambah panjang

yang lebih menyedihkan lagi ketika melihat teman-teman mahasiswa dipukuli ketika bentrok dengan aparat -menyedihkan sekali karena kemarin sang polisi dan rekan mahasiswa itu keduanya teman ienk-
ienk pernah berada dalam situasi seperti itu, berada dalam kekalutan yang sama, di depan mata rekan2 dipukuli, berlarian, dan ienk hanya bisa diam -saat itu ienk jadi tim medis- dan menangis..

berlarut dalam kesedihan tentu bukan jawaban
ke depannya perjuangan ini tak akan pernah berhenti, karena masih banyak pr yang harus diselesaikan, dan diri ini ingin selalu menjadi bagian dari mereka yang mengusung kebenaran dan keadilan..
karena tak ingin menjadi bagian dari mereka yang apatis dan kehilangan harapan
Insya Allah Pertolongan Allah akan datang..

Tuesday 10 February 2004

terlalu kompromi ni

terlalu banyak kompromi ma diri sendiri..
terlalu banyak bernegosiasi..
ia gimana ya cara untuk tegas ma diri sendiri..
dah dua hari ini mengalami kerugian besar, ya.. sebabnya itu : terlalu memanjakan diri, terlalu banyak kompromi, negosiasi, akhirnya kalah ma desakan untuk bermalas-malasan, menunda-nunda..

sedih deh, knapa ya hal seperti ini suka berulang-ulang :(
ga tau ni.. mungkin solusi yang pertama adalah memaksakan diri, seperti apapun keadaan kita, diri ini harus pinter pinter nyari celah buat maksain diri..
kedua, ceritakan ma teman apa yang sebenarnya terjadi ma diri kita, setidaknya ada orang lain yang bisa mengingatkan, mengkoreksi, ato bahkan "memaksa" kita..

seperti kata seorang teman -dari mai ni- "bagi idealisme kita pada orang lain, jadi jika suatu saat kita lupa, akan ada yang mengingatkan"

itu kali ya dua solusinya, tapi masih blom bisa melaksanakannya dengan baik ni :( ada ide lain??

Thursday 5 February 2004

iseng

barusan ngutak ngatik template-nya blog
ngga ngapa2 in si, hanya copy paste doang hehe, abis nungguin site nya satpt super lemott..
alhamdulillah bisa kebuka juga akhirnya
hiks dan bisa ngeliat nilai akhir semester ini, rada kaciwa si :(
tapi ini juga dah bagus banget sebenernya hehe

hayu ienk semangat di semester 8!!!

angkatanku :)

hari sabtu kemarin, pas sehari sebelum idul adha, nissa melahirkan :)
lahirnya normal, anaknya namanya akhtarriza, laki-laki, berat 3,2 kg, panjang 50 cm..
jadinya angkatan 8 punya ponakan bersama :)
selamat ya niss

tapi sampai sekarang masih aja suka senyum senyum sendiri
ngebayangin nissa jadi ibu
subhanallah kesempatan yang diberikan Allah buat nissa, berjuang saat melahirkan dan sekarang dapet amanah besar untuk mengurus seorang anak..

ia dah 3 tahun lebih sejak tamat smu, temen-temen insya Allah dah semakin baik, dan makin berwarna tentunya..
angkatan 8 sekarang punya ummu atar, nane yang juga udah nikah, yufi yang nunggu di wisuda tgl 14 ntar, miko yang lagi siap siap buat sidang terakhir, perwira tni AU, AD, AL ma polisi yang dah bertugas di tempatnya masing-masing..

siapa ya yang menduga 3 tahun kemudian kita bisa seperti ini -uups ienk sih masih jadi mahasiswa ding- seneng rasanya denger kabar temen temen yang sukses, yang berumah tangga, bisa jadi kekuatan sendiri untuk terus tersenyum :)
lucu juga ngebayangin kalo reuni ntar dah pada bawa anak, istri, suami..
ngebayanginnya aja dah senyum senyum sendiri hehe

ya moga kita semuanya sukses dunia akhirat, dan suatu saat bisa bertemu kembali untuk bersama berkarya..
selamat berjuang semuanya :)

Monday 2 February 2004

hasil semester tujuh

waaa.. barusan liat nilai di satpt..
dag dig dug..
alhamdulillah, ada yang ga diduga nilainya, tapi ada yang jauh banget dari target hiks..
tapi semangat!!
Allah pasti beri yang terbaik bagi hambaNya

Iri

Ingin rasanya berada bersisian, berdampingan dengan teman-teman di lapangan yang sedang berjibaku tak kenal henti. Mereka diberi kesempa...