jika Allah berkehendak makhluk-Nya yang bernama manusia lenyap dari muka bumi ini, maka hilanglah semua dalam sekejap
maka mengapa kematian selalu dirasa sebagai bencana?
btw, tulisan dibawah ini bagus d -rada panjang dikit si :P-, diambil dari milis sebelah
Gunung Jangan Pula Meletus
Oleh Emha Ainun Nadjib
KHUSUS untuk bencana Aceh, saya terpaksa menemui Kiai Sudrun. Apakah kata mampu mengucapkan kedahsyatannya? Apakah sastra mampu menuturkan kedalaman dukanya?Apakah ilmu sanggup menemukan dan menghitung nilai-nilai kandungannya?
Wajah Sudrun yang buruk dengan air liur yang selalu mengalir pelan dari salahsatu sudut bibirnya hampir membuatku marah. Karena tak bisa kubedakan apakah ia sedang berduka atau tidak. Sebab, barang siapa tidak berduka oleh ngerinya bencana itu dan oleh kesengsaraan para korban yang jiwanya luluh lantakterkeping-keping, akan kubunuh.
"Jakarta jauh lebih pantas mendapat bencana itu dibanding Aceh!," aku menyerbu.
"Kamu juga tak kalah pantas memperoleh kehancuran," Sudrun menyambut dengan kata- kata yang, seperti biasa, menyakitkan hati.
"Jadi, kenapa Aceh, bukan aku dan Jakarta?"
"Karena kalian berjodoh dengan kebusukan dunia, sedang rakyat Aceh dinikahkan dengan surga."
"Orang Aceh-lah yang selama bertahun-tahun terakhir amat dan paling menderita dibanding kita senegara, kenapa masih ditenggelamkan ke kubangan kesengsaraan sedalam itu?"
"Penderitaan adalah setoran termahal dari manusia kepada Tuhannya sehingga derajat orang Aceh ditinggikan, sementara kalian ditinggalkan untuk terus menjalani kerendahan."
"Termasuk Kiai...."Cuh!
Ludahnya melompat menciprati mukaku. Sudah biasa begini. Sejak dahulu kala. Kuusap dengan kesabaran."Kalau itu hukuman, apa salah mereka? Kalau itu peringatan, kenapa tidak kepada gerombolan maling dan koruptor di Jakarta? Kalau itu ujian, apa Tuhan masih kurang kenyang melihat kebingungan dan ketakutan rakyat Aceh selama ini, ditengah perang politik dan militer tak berkesudahan?"
Sudrun tertawa terkekeh-kekeh. Tidak kumengerti apa yang lucu dari kata-kataku.Badannya terguncang-guncang."Kamu mempersoalkan Tuhan? Mempertanyakan tindakan Tuhan? Mempersalahkanketidakadilan Tuhan?" katanya.
Aku menjawab tegas, "Ya."
"Kalau Tuhan diam saja bagaimana?"
"Akan terus kupertanyakan. Dan aku tahu seluruh bangsa Indonesia akan terus mempertanyakan."
"Sampai kapan?"
"Sampai kapan pun!"
"Sampai mati?"
"Ya!"
"Kapan kamu mati?"
"Gila!"
"Kamu yang gila. Kurang waras akalmu. Lebih baik kamu mempertanyakan kenapa ilmumu sampai tidak mengetahui akan ada gempa di Aceh. Kamu bahkan tidak tahu apa yang akan kamu katakan sendiri lima menit mendatang. Kamu pengecut. Untuk apa mempertanyakan tindakan Tuhan. Kenapa kamu tidak melawanNya. Kenapa kamu memberontak secara tegas kepada Tuhan. Kami menyingkir dari bumiNya, pindah dari alam semestaNya, kemudian kamu tabuh genderang perang menantangNya!"
"Aku ini, Kiai!" teriakku, "datang kemari, untuk merundingkan hal-hal yang bisa menghindarkanku dari tindakan menuduh Tuhan adalah diktator dan otoriter...."
Sudrun malah melompat- lompat. Yang tertawa sekarang seluruh tubuhnya. Bibirnya melebar-lebar ke kiri-kanan mengejekku.
"Kamu jahat," katanya, "karena ingin menghindar dari kewajiban."
"Kewajiban apa?"
"Kewajiban ilmiah untuk mengakui bahwa Tuhan itu diktator dan otoriter. Kewajiban untuk mengakuinya, menemukan logikanya, lalu belajar menerimanya, dan akhirnya memperoleh kenikmatan mengikhlaskannya. Tuhan-lah satu-satunya yangada, yang berhak bersikap diktator dan otoriter, sebagaimana pelukis berhak menyayang lukisannya atau merobek-robek dan mencampakkannya ke tempat sampah.Tuhan tidak berkewajiban apa- apa karena ia tidak berutang kepada siapa-siapa,dan keberadaanNya tidak atas saham dan andil siapa pun. Tuhan tidak terikat oleh baik buruk karena justru Dialah yang menciptakan baik buruk. Tuhan tidak harus patuh kepada benar atau salah, karena benar dan salah yang harus taatkepadaNya. Ainun, Ainun, apa yang kamu lakukan ini? Sini, sini..."-ia meraih lengan saya dan menyeret ke tembok-"Kupinjamkan dinding ini kepadamu...."
"Apa maksud Kiai?," aku tidak paham.
"Pakailah sesukamu."
"Emang untuk apa?"
"Misalnya untuk membenturkan kepalamu...."
"Sinting!"
"Membenturkan kepala ke tembok adalah tahap awal pembelajaran yang terbaik untukcara berpikir yang kau tempuh."
Ia membawaku duduk kembali.
"Atau kamu saja yang jadi Tuhan, dan kamu atur nasib terbaik untuk manusia menurut pertimbanganmu?," ia pegang bagian atas bajuku."Kamu tahu Muhammad?", ia meneruskan, "Tahu? Muhammad Rasulullah shallallahu’alaihi wa alihi wasallah, tahu? Ia manusia mutiara yang memilih hidup sebagaiorang jelata. Tidak pernah makan kenyang lebih dari tiga hari, karena sesudah hari kedua ia tak punya makanan lagi. Ia menjahit bajunya sendiri dan menambal sandalnya sendiri. Panjang rumahnya 4,80 cm, lebar 4,62 cm. Ia manusia yang paling dicintai Tuhan dan paling mencintai Tuhan, tetapi oleh Tuhan orang kampung Thaif diizinkan melemparinya dengan batu yang membuat jidatnya berdarah. Ia bahkan dibiarkan oleh Tuhan sakit sangat panas badan oleh racun Zaenab wanita Yahudi. Cucunya yang pertama diizinkan Tuhan mati diracun istrinya sendiri. Dan cucunya yang kedua dibiarkan oleh Tuhan dipenggal kepalanya kemudian kepala itu diseret dengan kuda sejauh ratusan kilometer sehingga ada dua kuburannya. Muhammad dijamin surganya, tetapi ia selalu takut kepada Tuhan sehingga menangis di setiap sujudnya. Sedangkan kalian yang pekerjaannya mencuri, kelakuannya penuh kerendahan budaya, yang politik kalian busuk, perhatian kalian kepada Tuhan setengah-setengah, menginginkan nasib lebih enak dibanding Muhammad? Dan kalau kalian ditimpa bencana, Tuhan yang kalian salahkan?"
Tangan Sudrun mendorong badan saya keras-keras sehingga saya jatuh ke belakang.
"Kiai," kata saya agak pelan, "Aku ingin mempertahankan keyakinan bahwa iconutama eksistensi Tuhan adalah sifat Rahman dan Rahim...."
"Sangat benar demikian," jawabnya, "Apa yang membuatmu tidak yakin?"
"Ya Aceh itu, Kiai, Aceh.... Untuk Aceh-lah aku bersedia Kiai ludahi."
"Aku tidak meludahimu. Yang terjadi bukan aku meludahimu. Yang terjadi adalahbahwa kamu pantas diludahi."
"Terserah Kiai, asal Rahman Rahim itu...."
"Rahman cinta meluas, Rahim cinta mendalam. Rahman cinta sosial, Rahim cinta lubuk hati. Kenapa?"
"Aceh, Kiai, Aceh."
"Rahman menjilat Aceh dari lautan, Rahim mengisap Aceh dari bawah bumi. Manusia yang mulia dan paling beruntung adalah yang segera dipisahkan oleh Tuhan dari dunia. Ribuan malaikat mengangkut mereka langsung ke surga dengan rumah-rumah cahaya yang telah tersedia. Kepada saudara- saudara mereka yang ditinggalkan, porak poranda kampung dan kota mereka adalah medan pendadaran total bagi kebesaran kepribadian manusia Aceh, karena sesudah ini Tuhan menolong mereka untuk bangkit dan menemukan kembali kependekaran mereka. Kejadian tersebut dibikin sedahsyat itu sehingga mengatasi segala tema Aceh Indonesia yangmenyengsarakan mereka selama ini. Rakyat Aceh dan Indonesia kini terbebas dari blok-blok psikologis yang memenjarakan mereka selama ini, karena air mata dan duka mereka menyatu, sehingga akan lahir keputusan dan perubahan sejarah yangmelapangkan kedua pihak."
"Tetapi terlalu mengerikan, Kiai, dan kesengsaraan para korban sukar dibayangkan akan mampu tertanggungkan."
"Dunia bukan tempat utama pementasan manusia. Kalau bagimu orang yang tidak matia dalah selamat sehingga yang mati kamu sebut tidak selamat, buang dulu Tuhan dan akhirat dari konsep nilai hidupmu. Kalau bagimu rumah tidak ambruk, harta tidak sirna, dan nyawa tidak melayang, itulah kebaikan; sementara yangsebaliknya adalah keburukan– berhentilah memprotes Tuhan, karena toh Tuhan tak berlaku di dalam skala berpikirmu, karena bagimu kehidupan berhenti ketika kamu mati."
"Tetapi kenapa Tuhan mengambil hamba-hambaNya yang tak berdosa, sementara membiarkan para penjahat negara dan pencoleng masyarakat hidup nikmatsejahtera?"
"Mungkin Tuhan tidak puas kalau keberadaan para pencoleng itu di neraka kelak tidak terlalu lama. Jadi dibiarkan dulu mereka memperbanyak dosa dan kebodohannya. Bukankah cukup banyak tokoh negerimu yang baik yang justru Tuhan bersegera mengambilnya, sementara yang kamu doakan agar cepat mati karena luar biasa jahatnya kepada rakyatnya malah panjang umurnya?"
"Gusti Gung Binathoro!," saya mengeluh, "Kami semua dan saya sendiri, Kiai,tidaklah memiliki kecanggihan dan ketajaman berpikir setakaran dengan yangdisuguhkan oleh perilaku Tuhan."
"Kamu jangan tiba-tiba seperti tidak pernah tahu bagaimana pola perilaku Tuhan.Kalau hati manusia berpenyakit, dan ia membiarkan terus penyakit itu sehingga politiknya memuakkan, ekonominya nggraras dan kebudayaannya penuh penghinaan atas martabat diri manusia sendiri-maka Tuhan justru menambahi penyakit itu, sambil menunggu mereka dengan bencana yang sejati yang jauh lebih dahsyat. Yang di Aceh bukan bencana pada pandangan Tuhan. Itu adalah pemuliaan bagi mereka yang nyawanya diambil malaikat, serta pencerahan dan pembangkitan bagi yang masih dibiarkan hidup."
"Bagi kami yang awam, semua itu tetap tampak sebagai ketidakadilan...."
"Alangkah dungunya kamu!" Sudrun membentak, "Sedangkan ayam menjadi riang hatinya dan bersyukur jika ia disembelih untuk kenikmatan manusia meski ayam tidak memiliki kesadaran untuk mengetahui, ia sedang riang dan bersyukur."
"Jadi, para koruptor dan penindas rakyat tetap aman sejahtera hidupnya?"
"Sampai siang ini, ya. Sebenarnya Tuhan masih sayang kepada mereka sehinggaselama satu dua bulan terakhir ini diberi peringatan berturut-turut, baik berupa bencana alam, teknologi dan manusia, dengan frekuensi jauh lebih tinggi dibanding bulan-bulan sebelumnya. Tetapi, karena itu semua tidak menjadi pelajaran, mungkin itu menjadikan Tuhan mengambil keputusan untuk memberi peringatan dalam bentuk lebih dahsyat. Kalau kedahsyatan Aceh belum mengguncangkan jiwa Jakarta untuk mulai belajar menundukkan muka, ada kemungkinan...."
"Jangan pula gunung akan meletus, Kiai!" aku memotong, karena ngeri membayangkan lanjutan kalimat Sudrun.
"Bilang sendiri sana sama gunung!" ujar Sudrun sambil berdiri dan ngeloyormeninggalkan saya.
"Kiai!" aku meloncat mendekatinya, "Tolong katakan kepada Tuhan agarberistirahat sebentar dari menakdirkan bencana-bencana alam...."
"Kenapa kau sebut bencana alam? Kalau yang kau salahkan adalah Tuhan, kenapa tak kau pakai istilah bencana Tuhan?"
Sudrun benar-benar tak bisa kutahan. Lari menghilang.
Emha Ainun Nadjib
Budayawan
Friday, 31 December 2004
Thursday, 30 December 2004
untuk Risma
“Pasir ini hangat. Coba saja kau genggam. Dan tunggulah, sebentar lagi senja kan terlihat sangat indah.” Siluet dirinya sore itu terekam jelas di benakku.
“Kebersamaan seperti ini indah bukan? Sepertinya aku tak ingin kembali ke Jakarta. Ingin menikmati lebih lama lagi angin pantai ini.”
Lalu perlahan langit yang berangsur membentuk garis-garis indah yang menjadi saksi percakapan kami sore itu.
Risma, coba tunjukkan. Bantu aku mengingat kembali di mana pantai yang kita kunjungi sore itu. Tolong bantu aku menemukan barisan nyiur nan indah dan kehangatan pasir sore itu. Dimana Risma semuanya? Dimana?
Kotaku seperti kota mati, kota hilang yang terendam. Mengapa Lumpur yang menggantikan kehangatan pasir? Mengapa semilir angin pantai terganti bau tak sedap yang membuat semua orang menutup hidungnya?
Aku tahu aku sedang bermain dalam ribuan tanya tak perlu jawab.
Risma, sungguh manusia itu sangat tidak berdaya. Ingat diskusi kita dulu? Saat kau begitu ingin membantu mereka yang tertimpa bencana? Aku masih ingat bom kuningan itu, saat dimana dirimu segera memberi santunan pada para korban. Aku juga ingat saat kau tiba-tiba ingin menjadi seorang dokter supaya bisa ikut serta dalam tim Mer-C ke Ambon. Aku masih ingat semua itu, yang selalu hangat kita bicarakan: tentang kepongahan manusia berjalan di muka bumi ini. Tentang kesombongan manusia yang dengan seenaknya merusak alam ini, memunculkan derita untuk manusia lainnya. Manusia yang tidak berdaya, tapi begitu angkuhnya hidup di bumi. “mungkin bumi semakin menciut karena malu melihat perbuatan manusia”, begitu ujarmu suatu ketika.
Dan kini, manusia benar-benar tidak berdaya saat semua diluluhlantakkan dalam satu kalimat-Nya. Lantas semuanya hilang, lenyap, mungkin tak bersisa.
Risma, tahukah saat di depanku ada sepiring nasi dengan lauk telur dan tempe saja aku sudah merasa sangat kaya. Benar Risma, saat aku melipat bajuku dan menaruhnya di lemari tiba-tiba aku merasa sangat sejahtera dibandingkan mereka yang harta bendanya hanya baju yang melekat di tubuhnya.
Dan anak-anak itu Risma, lihatlah mereka tertidur lelap sekali. Apa mereka memimpikan permainan di atas ombak?
Ya, aku tahu, kota kita kini telah hilang.
Saat seminggu lalu kau pamit untuk kembali ke Aceh, aku pun ingin bersamamu. Ingin sekali menghabiskan hari di penghujung 2004 ini disana, di tepi pantai kita. Tapi aku hanya bisa melihatmu terbang dari balik kaca bandara. Melihatmu yang begitu riang karena akhirnya kau bisa mengabdikan diri untuk tanah kita, membangun daerah kita. Senyum terakhir yang kulihat. Risma semoga jenazahmu segera ditemukan dan aku ingin bisa menguburmu dengan cara yang baik.
Jakarta
Saat putaran waktu mendekati ujung tahun
Ditutupnya buku biru, catatan hariannya. Ia menghela nafas dalam. Kemudian merapihkan mejanya dan meraih ransel di sampingnya. Tekadnya bulat, ia akan segera ke Kedoya, mendaftarkan diri sebagai relawan.
berikan, apa yang bisa kita beri
DIbutuhkan beberapa orang sukarelawan untuk pergi ke aceh selama 1 minggu, mulai 7 januari 2005. breefing hari jumat 31 desember 2004 di gedung shafira jl. buah batu no. 165 B bandung, jam 09.00 pagi
di cari org yg bisa merekrut relawan untuk korban bencana alam di aceh.Jika ada, tolong kontak 0451-482764 atau via e-mail: affan@affan.web.id
“Kebersamaan seperti ini indah bukan? Sepertinya aku tak ingin kembali ke Jakarta. Ingin menikmati lebih lama lagi angin pantai ini.”
Lalu perlahan langit yang berangsur membentuk garis-garis indah yang menjadi saksi percakapan kami sore itu.
Risma, coba tunjukkan. Bantu aku mengingat kembali di mana pantai yang kita kunjungi sore itu. Tolong bantu aku menemukan barisan nyiur nan indah dan kehangatan pasir sore itu. Dimana Risma semuanya? Dimana?
Kotaku seperti kota mati, kota hilang yang terendam. Mengapa Lumpur yang menggantikan kehangatan pasir? Mengapa semilir angin pantai terganti bau tak sedap yang membuat semua orang menutup hidungnya?
Aku tahu aku sedang bermain dalam ribuan tanya tak perlu jawab.
Risma, sungguh manusia itu sangat tidak berdaya. Ingat diskusi kita dulu? Saat kau begitu ingin membantu mereka yang tertimpa bencana? Aku masih ingat bom kuningan itu, saat dimana dirimu segera memberi santunan pada para korban. Aku juga ingat saat kau tiba-tiba ingin menjadi seorang dokter supaya bisa ikut serta dalam tim Mer-C ke Ambon. Aku masih ingat semua itu, yang selalu hangat kita bicarakan: tentang kepongahan manusia berjalan di muka bumi ini. Tentang kesombongan manusia yang dengan seenaknya merusak alam ini, memunculkan derita untuk manusia lainnya. Manusia yang tidak berdaya, tapi begitu angkuhnya hidup di bumi. “mungkin bumi semakin menciut karena malu melihat perbuatan manusia”, begitu ujarmu suatu ketika.
Dan kini, manusia benar-benar tidak berdaya saat semua diluluhlantakkan dalam satu kalimat-Nya. Lantas semuanya hilang, lenyap, mungkin tak bersisa.
Risma, tahukah saat di depanku ada sepiring nasi dengan lauk telur dan tempe saja aku sudah merasa sangat kaya. Benar Risma, saat aku melipat bajuku dan menaruhnya di lemari tiba-tiba aku merasa sangat sejahtera dibandingkan mereka yang harta bendanya hanya baju yang melekat di tubuhnya.
Dan anak-anak itu Risma, lihatlah mereka tertidur lelap sekali. Apa mereka memimpikan permainan di atas ombak?
Ya, aku tahu, kota kita kini telah hilang.
Saat seminggu lalu kau pamit untuk kembali ke Aceh, aku pun ingin bersamamu. Ingin sekali menghabiskan hari di penghujung 2004 ini disana, di tepi pantai kita. Tapi aku hanya bisa melihatmu terbang dari balik kaca bandara. Melihatmu yang begitu riang karena akhirnya kau bisa mengabdikan diri untuk tanah kita, membangun daerah kita. Senyum terakhir yang kulihat. Risma semoga jenazahmu segera ditemukan dan aku ingin bisa menguburmu dengan cara yang baik.
Jakarta
Saat putaran waktu mendekati ujung tahun
Ditutupnya buku biru, catatan hariannya. Ia menghela nafas dalam. Kemudian merapihkan mejanya dan meraih ransel di sampingnya. Tekadnya bulat, ia akan segera ke Kedoya, mendaftarkan diri sebagai relawan.
berikan, apa yang bisa kita beri
DIbutuhkan beberapa orang sukarelawan untuk pergi ke aceh selama 1 minggu, mulai 7 januari 2005. breefing hari jumat 31 desember 2004 di gedung shafira jl. buah batu no. 165 B bandung, jam 09.00 pagi
di cari org yg bisa merekrut relawan untuk korban bencana alam di aceh.Jika ada, tolong kontak 0451-482764 atau via e-mail: affan@affan.web.id
lay out baru
lay out baru :D
sangat biru dan bunga banget :)
makasi ya desska, saya merepotkan ya? :)
btw kalo liat lay out ini, ko jadi tersipu2 ya? abis manis bener si, wanita sekali, sangat feminin --aduh desska, jadi malu ni klo inget tingkah laku yang masi sradak sruduk, kagak ada feminin2nya :p
sangat biru dan bunga banget :)
makasi ya desska, saya merepotkan ya? :)
btw kalo liat lay out ini, ko jadi tersipu2 ya? abis manis bener si, wanita sekali, sangat feminin --aduh desska, jadi malu ni klo inget tingkah laku yang masi sradak sruduk, kagak ada feminin2nya :p
Monday, 27 December 2004
harus seperti ini?
aku terpuruk di sudut ini
Tuhan, harus dengan tamparan seperti inikah tuk kembali mengingat-Mu
buat adek, moga keluarga disana baik2 aja ya
Tuhan, harus dengan tamparan seperti inikah tuk kembali mengingat-Mu
buat adek, moga keluarga disana baik2 aja ya
menggenggam awan
awan. yang putih bersih terlihat. tapi tak pernah bisa tergenggam.
"mungkin kau sedang mencoba mencari bentuk terbaikmu?"
"tapi mengapa tidak juga kutemukan?"
seperti ingin menggenggam awan. yang putih bersih terlihat.
"mungkin kau sedang mencoba mencari bentuk terbaikmu?"
"tapi mengapa tidak juga kutemukan?"
seperti ingin menggenggam awan. yang putih bersih terlihat.
ibu, ini apa bu?
aku ibu, ini aku..
yang sedang kau tangisi. karena bumi bergolak dan air tiba-tiba merendam hasil kerja keras ibu selama ini hingga membawaku pergi. pagi ini, entah apa yang sedang kulakukan. lalu semua orang berlarian. tetangga kita mengayuh sepedanya berlomba dengan air. anak-anak bayi itu. yang lucu-lucu bu, mereka berbaris dalam tidur lelapnya. dan aku kini ada dalam gendonganmu. kenapa tak kau hapus air matamu bu? ibu tidak lihat aku tersenyum dalam dekapanmu?
ibu, aku tahu kau tidak menyadari kehadiranku. suaraku tercekat. tanganku juga terkulai. aku hanya bisa menyaksikan rumah kita yang sudah tidak berbentuk. aku hanya terdiam ketika semua meneteskan air mata. dan aku cuma disini bu, melihat manusia-manusia yang tak bernyawa lagi. ibu, ini apa? kenapa tiba-tiba kita dikirimi sesuatu yang tak kita pesan? kenapa kita ibu? tak cukupkah kulihat ibu dan mereka bersusah payah dari pagi hingga petang hanya untuk memberi aku suapan nasi? hanya untuk memberiku secuil tempat tuk berlindung dari panas dan hujan?
ibu, aku ingin istirahat saja. maaf bu, aku tak bisa melihat ibu membangun kembali kerajaan kecil kita. tak bisa membantu ibu. aku hanya ingin kehangatan dalam dekapan ibu. sudah bu, hapus bulir kristal di pipimu. ibu telah menemukanku bukan?
turut berduka cita untuk korban gempa dan tsunami.
yang sedang kau tangisi. karena bumi bergolak dan air tiba-tiba merendam hasil kerja keras ibu selama ini hingga membawaku pergi. pagi ini, entah apa yang sedang kulakukan. lalu semua orang berlarian. tetangga kita mengayuh sepedanya berlomba dengan air. anak-anak bayi itu. yang lucu-lucu bu, mereka berbaris dalam tidur lelapnya. dan aku kini ada dalam gendonganmu. kenapa tak kau hapus air matamu bu? ibu tidak lihat aku tersenyum dalam dekapanmu?
ibu, aku tahu kau tidak menyadari kehadiranku. suaraku tercekat. tanganku juga terkulai. aku hanya bisa menyaksikan rumah kita yang sudah tidak berbentuk. aku hanya terdiam ketika semua meneteskan air mata. dan aku cuma disini bu, melihat manusia-manusia yang tak bernyawa lagi. ibu, ini apa? kenapa tiba-tiba kita dikirimi sesuatu yang tak kita pesan? kenapa kita ibu? tak cukupkah kulihat ibu dan mereka bersusah payah dari pagi hingga petang hanya untuk memberi aku suapan nasi? hanya untuk memberiku secuil tempat tuk berlindung dari panas dan hujan?
ibu, aku ingin istirahat saja. maaf bu, aku tak bisa melihat ibu membangun kembali kerajaan kecil kita. tak bisa membantu ibu. aku hanya ingin kehangatan dalam dekapan ibu. sudah bu, hapus bulir kristal di pipimu. ibu telah menemukanku bukan?
turut berduka cita untuk korban gempa dan tsunami.
Thursday, 23 December 2004
harus aku maknai apa hari ini?
Malam. Saat dingin menusuk hingga ke tulang.
Loteng kamar Dion.
Kamu pasti kaget kalau aku bilang aku ingin mati hari ini. ya, sepertinya aku capek. Dengan semuanya. Terutama dengan diriku sendiri. Lelah dengan berbagai tuntutan. Aku tahu aku tidak seharusnya menuntut mereka. Aku tahu, aku yang seharusnya menuntut diriku sendiri. Apa mungkin aku harus berhenti. Ya, seperti yang aku bilang padamu. Aku ingin mati saja.
Dilipatnya kertas itu, dimasukkan kedalam amplop berwarna putih. Lalu ditaruhnya dalam kotak hitam di bawah tempat tidurnya. Dan segera ia tercemplung bersama amplop berwarna-warni lainnya. Hanya satu yang sama dari amplop itu, di depannya tertulis: untuk aku esok hari.
Rumah mungil Ardi.
Kau lihat itu nak. Bintang setia sekali pada bulan. Ia hanya kecil di hamparan luasnya langit. Tapi kecilnya tak membuat ia surut tuk hadir hari ini. aku ingin kamu seperti itu nak. Bukan wujudmu yang kau permasalahkan. Tapi artimu yang seharusnya selalu kau pertimbangkan. Cepatlah hadir disini nak. Aku dan ibumu selalu menantimu.
Lembaran harap seorang ayah. Ditutupnya buku hijau itu dan bergegas menuju tempat tidur. Berbaring di sisi seorang wanita: istrinya yang sedang mengandung anak pertama mereka.
Warna langit telah berubah. Hari baru semestinya dimulai.
Loteng kamar Dion.
Mas Dion, bangun. Sudah siang mas. Diketuknya pintu perlahan.
Tak ada jawaban, hanya hening.
Mas Dion, bangun! Kali ini ia setengah berteriak.
Masih tak ada jawaban.
Dasar pemalas. Gerutunya.
Capek membangunkan anak sulung majikannya, wanita bertubuh subur itu menuruni tangga kembali dan larut dalam tugasnya di pagi hari.
Mungkin ia tidak tahu. Pagi ini Dion sudah tidak lagi dikamarnya. Jendela besarnya terbuka. Membiarkan angin masuk dan memainkan kertas-kertas yang berhamburan di meja tulisnya, tempat tidurnya, lantai kamarnya. Kertas-kertas yang jadi saksi kepedihan Dion, teman ketidakberdayaannya. Kertas yang beberapa diantaranya kini tak lagi putih bersih. Ada bercak disana. Bercak merah darah Dion. Ya, Dion sekarang terkulai tak berdaya. Bibirnya pucat. Tangan kanannya ada di sisi tempat tidurnya, darah yang mengucur dari sana yang tadi malam menulisi kisah akhir Dion di lembaran kertas-kertasnya.
Rumah mungil Ardi.
Gimana hari ini dek?
Dia masih terus bergerak-gerak mas, menendang-nendang. Entahlah, mungkin ia tak sabar tuk hadir menemani kita.
Semalam adek tidur pulas sekali. Lelah mas jadi hilang. Semoga anak kita nanti jadi anak yang kuat dan sehat ya dek.
Pagi ini Ardi memulai kembali harinya. Senyum memang selalu menghiasi paginya. Ada harap disana. Semoga ia kan lebih baik hari ini.
Ardi, 25 tahun. Baru berumah tangga sejak 2 tahun yang lalu. Ia dan istrinya menempati sepetak rumah kontrakan di mulut gang. Berseberangan dengan rumah mewah di tepi jalan raya. Pagi ini rumah mereka terusik dengan bunyi sirene ambulans dan juga lalu lalang mobil polisi yang perlahan memadati rumah megah itu. Rumah dimana Dion menghentikan helaan nafas yang telah dikaruniakan padanya selama 25 tahun.
Dua hari yang lalu.
Ardi tengah memilih-milih buku apa yang pantas dihadiahkan pada istrinya. Bagaimana merawat anak, mempersiapkan persalinan atau mengenali kehamilan. Bingung. Jatah membeli buku bulan ini sudah tak bersisa lagi. Ia baru ingat kalau ia sering egois memilih buku hanya untuk kepentingannya. Hari ini ia ingin beromantis ria, menghadiahi buku untuk istrinya. Ini romantis? Entahlah, setidaknya itu yang ia bayangkan.
Wa, sedang menunggu anak pertama lahir mas?
Tiba-tiba ada pria bertubuh tinggi dengan kaca minus bertengger di hidungnya menyapanya.
Iya ni. Merasa ada yang bisa dimintai tolong Ardi pun terus berseloroh.
Yang mana ya baiknya?
Mm, saya juga belum punya anak ni hehe. Baiknya yang ini aja mas: mempersiapkan persalinan. Sudah dekat bukan waktunya?. Jawab pemuda itu, sedikit diwarnai rasa sok tahu.
Nanti bulan depan mas beli lagi, seri lanjutannya. Lanjutnya.
Mm, benar juga ya.
Kehidupan baru akan dimulai ya mas sebentar lagi. Ada jiwa yang kembali hadir di dunia ini. memadati pengapnya hidup. Tatapan matanya menerawang.
Ya akan ada jiwa baru diantara kami, di antara aku dan istriku. Jiwa yang kan menumbuhsuburkan harapan kami.
Ia menoleh padaku. Harapan? Itu mungkin kata yang saya cari selama ini. Semoga jiwa itu adalah jiwa yang tegar. Semoga ia tak rapuh. Semoga ia tak kan pernah keropos dan tak akan pernah hancur.
Aku mengeryitkan dahi.
Eh maaf mas, bicara saya ngelantur. Maklum hidup itu berat bukan mas?
Segera aku mengangguk, setuju dengan kalimatnya yang terakhir.
Sipp, dah nemu bukunya kan mas. Saya juga dah nemu buku bagus ni. Makasi dah dengar celotehan asalku. Mari mas. Ujarnya bergegas.
Mm, aku hanya geleng-geleng kepala melihat ulahnya. Umurnya mungkin tak jauh berbeda denganku. Tapi entah ia terlihat begitu berbeda. Atau mungkin karena aku yang sudah menikah.
Hei, ada yang lupa aku katakan padanya tadi: hidup itu memang berat, maka maknailah dengan sederhana agar kau masih terus bernafas dalam beban hidup itu Dion. Itu nama yang kutangkap pada buku agenda yang dipegangnya tadi. Mungkinkah benar namanya Dion? Sepertinya iya.
Loteng kamar Dion. Hari ini. Saat suasana rumah mulai tak menentu
Angin masih berhembus, menelikungi tiap sisi kamar Dion, mencoba mencari detak jantung pemiliknya.
Kali ini angin membawa pergi secarik kertas dari kamar Dion. Kertas yang mulai kusam. Hanya ada satu kalimat di dalamnya: harus aku maknai apa hari ini?
Loteng kamar Dion.
Kamu pasti kaget kalau aku bilang aku ingin mati hari ini. ya, sepertinya aku capek. Dengan semuanya. Terutama dengan diriku sendiri. Lelah dengan berbagai tuntutan. Aku tahu aku tidak seharusnya menuntut mereka. Aku tahu, aku yang seharusnya menuntut diriku sendiri. Apa mungkin aku harus berhenti. Ya, seperti yang aku bilang padamu. Aku ingin mati saja.
Dilipatnya kertas itu, dimasukkan kedalam amplop berwarna putih. Lalu ditaruhnya dalam kotak hitam di bawah tempat tidurnya. Dan segera ia tercemplung bersama amplop berwarna-warni lainnya. Hanya satu yang sama dari amplop itu, di depannya tertulis: untuk aku esok hari.
Rumah mungil Ardi.
Kau lihat itu nak. Bintang setia sekali pada bulan. Ia hanya kecil di hamparan luasnya langit. Tapi kecilnya tak membuat ia surut tuk hadir hari ini. aku ingin kamu seperti itu nak. Bukan wujudmu yang kau permasalahkan. Tapi artimu yang seharusnya selalu kau pertimbangkan. Cepatlah hadir disini nak. Aku dan ibumu selalu menantimu.
Lembaran harap seorang ayah. Ditutupnya buku hijau itu dan bergegas menuju tempat tidur. Berbaring di sisi seorang wanita: istrinya yang sedang mengandung anak pertama mereka.
Warna langit telah berubah. Hari baru semestinya dimulai.
Loteng kamar Dion.
Mas Dion, bangun. Sudah siang mas. Diketuknya pintu perlahan.
Tak ada jawaban, hanya hening.
Mas Dion, bangun! Kali ini ia setengah berteriak.
Masih tak ada jawaban.
Dasar pemalas. Gerutunya.
Capek membangunkan anak sulung majikannya, wanita bertubuh subur itu menuruni tangga kembali dan larut dalam tugasnya di pagi hari.
Mungkin ia tidak tahu. Pagi ini Dion sudah tidak lagi dikamarnya. Jendela besarnya terbuka. Membiarkan angin masuk dan memainkan kertas-kertas yang berhamburan di meja tulisnya, tempat tidurnya, lantai kamarnya. Kertas-kertas yang jadi saksi kepedihan Dion, teman ketidakberdayaannya. Kertas yang beberapa diantaranya kini tak lagi putih bersih. Ada bercak disana. Bercak merah darah Dion. Ya, Dion sekarang terkulai tak berdaya. Bibirnya pucat. Tangan kanannya ada di sisi tempat tidurnya, darah yang mengucur dari sana yang tadi malam menulisi kisah akhir Dion di lembaran kertas-kertasnya.
Rumah mungil Ardi.
Gimana hari ini dek?
Dia masih terus bergerak-gerak mas, menendang-nendang. Entahlah, mungkin ia tak sabar tuk hadir menemani kita.
Semalam adek tidur pulas sekali. Lelah mas jadi hilang. Semoga anak kita nanti jadi anak yang kuat dan sehat ya dek.
Pagi ini Ardi memulai kembali harinya. Senyum memang selalu menghiasi paginya. Ada harap disana. Semoga ia kan lebih baik hari ini.
Ardi, 25 tahun. Baru berumah tangga sejak 2 tahun yang lalu. Ia dan istrinya menempati sepetak rumah kontrakan di mulut gang. Berseberangan dengan rumah mewah di tepi jalan raya. Pagi ini rumah mereka terusik dengan bunyi sirene ambulans dan juga lalu lalang mobil polisi yang perlahan memadati rumah megah itu. Rumah dimana Dion menghentikan helaan nafas yang telah dikaruniakan padanya selama 25 tahun.
Dua hari yang lalu.
Ardi tengah memilih-milih buku apa yang pantas dihadiahkan pada istrinya. Bagaimana merawat anak, mempersiapkan persalinan atau mengenali kehamilan. Bingung. Jatah membeli buku bulan ini sudah tak bersisa lagi. Ia baru ingat kalau ia sering egois memilih buku hanya untuk kepentingannya. Hari ini ia ingin beromantis ria, menghadiahi buku untuk istrinya. Ini romantis? Entahlah, setidaknya itu yang ia bayangkan.
Wa, sedang menunggu anak pertama lahir mas?
Tiba-tiba ada pria bertubuh tinggi dengan kaca minus bertengger di hidungnya menyapanya.
Iya ni. Merasa ada yang bisa dimintai tolong Ardi pun terus berseloroh.
Yang mana ya baiknya?
Mm, saya juga belum punya anak ni hehe. Baiknya yang ini aja mas: mempersiapkan persalinan. Sudah dekat bukan waktunya?. Jawab pemuda itu, sedikit diwarnai rasa sok tahu.
Nanti bulan depan mas beli lagi, seri lanjutannya. Lanjutnya.
Mm, benar juga ya.
Kehidupan baru akan dimulai ya mas sebentar lagi. Ada jiwa yang kembali hadir di dunia ini. memadati pengapnya hidup. Tatapan matanya menerawang.
Ya akan ada jiwa baru diantara kami, di antara aku dan istriku. Jiwa yang kan menumbuhsuburkan harapan kami.
Ia menoleh padaku. Harapan? Itu mungkin kata yang saya cari selama ini. Semoga jiwa itu adalah jiwa yang tegar. Semoga ia tak rapuh. Semoga ia tak kan pernah keropos dan tak akan pernah hancur.
Aku mengeryitkan dahi.
Eh maaf mas, bicara saya ngelantur. Maklum hidup itu berat bukan mas?
Segera aku mengangguk, setuju dengan kalimatnya yang terakhir.
Sipp, dah nemu bukunya kan mas. Saya juga dah nemu buku bagus ni. Makasi dah dengar celotehan asalku. Mari mas. Ujarnya bergegas.
Mm, aku hanya geleng-geleng kepala melihat ulahnya. Umurnya mungkin tak jauh berbeda denganku. Tapi entah ia terlihat begitu berbeda. Atau mungkin karena aku yang sudah menikah.
Hei, ada yang lupa aku katakan padanya tadi: hidup itu memang berat, maka maknailah dengan sederhana agar kau masih terus bernafas dalam beban hidup itu Dion. Itu nama yang kutangkap pada buku agenda yang dipegangnya tadi. Mungkinkah benar namanya Dion? Sepertinya iya.
Loteng kamar Dion. Hari ini. Saat suasana rumah mulai tak menentu
Angin masih berhembus, menelikungi tiap sisi kamar Dion, mencoba mencari detak jantung pemiliknya.
Kali ini angin membawa pergi secarik kertas dari kamar Dion. Kertas yang mulai kusam. Hanya ada satu kalimat di dalamnya: harus aku maknai apa hari ini?
Tuesday, 21 December 2004
--bingung mau kasi judul apa--
Ada besok, besok dan besok. Tunggulah sampai semua menjadi lebih tenang. Tidak grasak grusuk seperti ini, semua ia ucapkan datar saja tanpa tahu gemuruhnya hatiku.
Kau masih bisa menunggu sebentar saja bukan?, tanyanya lagi.
Aku menjawab dalam diam.
Ayolah, ini tidak seserius itu. Kau juga tahu bagaimana situasinya, ia masih saja berusaha membujukku.
Tidak sesederhana itu? Ini lebih pelik dari yang kau kira, jawabku. Sudah seminggu masalah ini mengangguku, menjadi bayanganku, menyedot seluruh energiku. Menunggu tidak menjadi masalah bagiku, tapi menyelesaikannya adalah yang terpenting. Saat seperti ini adalah saat yang tepat untuk terbebas dari rumitnya persoalan.
Kali ini ia memperbaiki posisinya. Wajahnya tepat dihadapanku.
Hei, coba lihat sini. Lihat mataku, ujarnya memerintah.
Dengar ya bocah kecil, umurmu belum juga genap 20 tahun. Hidup bagimu mungkin mempesona. Semua yang kau inginkan mudah didapatkan. Semua yang kau perintah berjalan menunduk-nunduk seakan-akan kau tuannya. Dan kau perlakukan dunia sekenamu. Itu bukan hidup. Tidak semuanya bisa kau kendalikan. Bahkan persoalan kecil seperti ini membuatmu terseok-seok, panjang uraiannya. Masih datar dalam intonasi tapi menghujam sekali.
Coba lihat kesini, lanjutnya sambil menunjuk dadaku. Matamu memang dua seperti kebanyakan orang, tapi mata hatimu tumpul. Tunggulah, sebentar saja. Kau tak pernah tahu keajaiban apa dibalik semuanya, lagi, ia berceloteh lagi.
Bagimu yang berarti adalah yang kasat mata. Hidup lebih dari itu semua. Sekecil apapun yang tercipta adalah makna kehidupan yang bisa kau ambil ilmu darinya. Sekarang atur hidupmu, ubah sudut pandangmu dan gunakan mata hatimu, setelah itu baru kau selesaikan semuanya. Tidak seperti ini, termakan emosi. Ingat bocah kecil, hidupmu belum seberapa dibanding semua yang hadir sebelummu. Jadi jangan berpikir bahwa kau yang paling teraniaya dalam rumit persoalan. Jangan anggap dunia sesempit masalahmu. Merenunglah dan coba jujur pada dirimu. Benarkah seperti ini penyelesaiannya?, ia terdiam sejenak.
Bukan penyelesaian dengan emosi yang kuharap kau lakukan, tapi makna dari semuanya yang kuharap kau dapatkan. Hidup hanya sekali ini saja. Semoga kau tak melakukan kesalahan seperti yang kulakukan, kali ini ada penyesalan dalam warna suaranya. Meski begitu dari balik jeruji ini raut wajahnya terlihat lebih tenang jika dibandingkan pertama kali ia ditempatkan disini.
Sudahlah, orang seperti aku tidak pantas kau percayai. Tapi aku betul-betul menaruh harap padamu, agar kau bisa mengalahkan dirimu sendiri bocah kecil.
Sesaat kemudian ia berdiri dan meninggalkanku dalam diam.
Kau masih bisa menunggu sebentar saja bukan?, tanyanya lagi.
Aku menjawab dalam diam.
Ayolah, ini tidak seserius itu. Kau juga tahu bagaimana situasinya, ia masih saja berusaha membujukku.
Tidak sesederhana itu? Ini lebih pelik dari yang kau kira, jawabku. Sudah seminggu masalah ini mengangguku, menjadi bayanganku, menyedot seluruh energiku. Menunggu tidak menjadi masalah bagiku, tapi menyelesaikannya adalah yang terpenting. Saat seperti ini adalah saat yang tepat untuk terbebas dari rumitnya persoalan.
Kali ini ia memperbaiki posisinya. Wajahnya tepat dihadapanku.
Hei, coba lihat sini. Lihat mataku, ujarnya memerintah.
Dengar ya bocah kecil, umurmu belum juga genap 20 tahun. Hidup bagimu mungkin mempesona. Semua yang kau inginkan mudah didapatkan. Semua yang kau perintah berjalan menunduk-nunduk seakan-akan kau tuannya. Dan kau perlakukan dunia sekenamu. Itu bukan hidup. Tidak semuanya bisa kau kendalikan. Bahkan persoalan kecil seperti ini membuatmu terseok-seok, panjang uraiannya. Masih datar dalam intonasi tapi menghujam sekali.
Coba lihat kesini, lanjutnya sambil menunjuk dadaku. Matamu memang dua seperti kebanyakan orang, tapi mata hatimu tumpul. Tunggulah, sebentar saja. Kau tak pernah tahu keajaiban apa dibalik semuanya, lagi, ia berceloteh lagi.
Bagimu yang berarti adalah yang kasat mata. Hidup lebih dari itu semua. Sekecil apapun yang tercipta adalah makna kehidupan yang bisa kau ambil ilmu darinya. Sekarang atur hidupmu, ubah sudut pandangmu dan gunakan mata hatimu, setelah itu baru kau selesaikan semuanya. Tidak seperti ini, termakan emosi. Ingat bocah kecil, hidupmu belum seberapa dibanding semua yang hadir sebelummu. Jadi jangan berpikir bahwa kau yang paling teraniaya dalam rumit persoalan. Jangan anggap dunia sesempit masalahmu. Merenunglah dan coba jujur pada dirimu. Benarkah seperti ini penyelesaiannya?, ia terdiam sejenak.
Bukan penyelesaian dengan emosi yang kuharap kau lakukan, tapi makna dari semuanya yang kuharap kau dapatkan. Hidup hanya sekali ini saja. Semoga kau tak melakukan kesalahan seperti yang kulakukan, kali ini ada penyesalan dalam warna suaranya. Meski begitu dari balik jeruji ini raut wajahnya terlihat lebih tenang jika dibandingkan pertama kali ia ditempatkan disini.
Sudahlah, orang seperti aku tidak pantas kau percayai. Tapi aku betul-betul menaruh harap padamu, agar kau bisa mengalahkan dirimu sendiri bocah kecil.
Sesaat kemudian ia berdiri dan meninggalkanku dalam diam.
Monday, 20 December 2004
sms garing
pagi-pagi dapat sms garing dari boneka :) :
ting nong ;). selamat datang di stasiun hari lahir. periksa kembali perjalanan hidup anda. jika ada yang hilang, laporkan pada nurani. jika ada yang kurang anda dapat membeli di loket jihad. semoga selamat sampai tujuan...
dia bilang si smsnya garing, tapi karena garing, jadi smsnya ada di postingan kali ini :D
jazakillah khair sist :)
untuk semuanya juga jazakumullah khairan katsiran atas doanya :)
ting nong ;). selamat datang di stasiun hari lahir. periksa kembali perjalanan hidup anda. jika ada yang hilang, laporkan pada nurani. jika ada yang kurang anda dapat membeli di loket jihad. semoga selamat sampai tujuan...
dia bilang si smsnya garing, tapi karena garing, jadi smsnya ada di postingan kali ini :D
jazakillah khair sist :)
untuk semuanya juga jazakumullah khairan katsiran atas doanya :)
Sunday, 19 December 2004
terpesona
Subhanallah, semua begitu luar biasa. Begitu istimewa.
Mereka seperti mengajakku: Ayo, menari bersama kami. Jangan siakan indah hari ini. Jangan habiskan dengan meringkuk dalam bayang semu. Ayo kemarilah.
Sungguh, tahukah kalau aku selalu, selalu ingin bersama. Tanpa kalian tahu, aku tak pernah melewatkan tarian itu. Aku menikmatinya. Terpesona.
Tarian yang kalian mainkan dalam keteguhan gerakan, dalam ketundukan tawakal, dalam keikhlasan.
Terbata aku berusaha mengikutinya. Mengikuti irama langkah kalian, menyamakan lantunan jentik jemari kalian. Kenapa terasa sulit?
Mereka seperti mengajakku: Ayo, menari bersama kami. Jangan siakan indah hari ini. Jangan habiskan dengan meringkuk dalam bayang semu. Ayo kemarilah.
Sungguh, tahukah kalau aku selalu, selalu ingin bersama. Tanpa kalian tahu, aku tak pernah melewatkan tarian itu. Aku menikmatinya. Terpesona.
Tarian yang kalian mainkan dalam keteguhan gerakan, dalam ketundukan tawakal, dalam keikhlasan.
Terbata aku berusaha mengikutinya. Mengikuti irama langkah kalian, menyamakan lantunan jentik jemari kalian. Kenapa terasa sulit?
karena hidup begitu berharga
Seharusnya ada yang menjadi pondasi tempat kita berpijak. Yang tak tergoyahkan. Yang selamanya mengokohkan pijakan kita.
Semestinya selalu ada tempat kita kembali. Menanyakan arti hidup. Tempat perjalanan dimuarakan.
Dan sudah sepatutnya pegangan itu tidak pernah kita lepaskan. Dalam situasi apapun dan dalam kondisi apapun kita dihadapkan.
Sesuatu yang membuat helaan nafas kita tidak tersia. Sesuatu yang membuat kita tidak kehilangan arah.
Ditulis setelah lihat grand finalnya petir dan dengar lagu “astaga” yang dinyanyiin Ruth Sahanaya.
Inginnya si pak Asep yang menang, ya ga arimbi? Hehe.
Semestinya selalu ada tempat kita kembali. Menanyakan arti hidup. Tempat perjalanan dimuarakan.
Dan sudah sepatutnya pegangan itu tidak pernah kita lepaskan. Dalam situasi apapun dan dalam kondisi apapun kita dihadapkan.
Sesuatu yang membuat helaan nafas kita tidak tersia. Sesuatu yang membuat kita tidak kehilangan arah.
Ditulis setelah lihat grand finalnya petir dan dengar lagu “astaga” yang dinyanyiin Ruth Sahanaya.
Inginnya si pak Asep yang menang, ya ga arimbi? Hehe.
sore tadi
Hei dengar tidak sore tadi? Iya, gemuruh sekali. Bagaimana tidak, ruangan berkapasitas ribuan orang itu ramai oleh sorak riang, peluk haru dan kebanggaan. Saat itu adalah saat dimana menyandang predikat sebagai rakyat Indonesia adalah suatu kebanggan. Ya, semua seperti lebur menjadi satu dalam senyum. Semua merasakan bahagia yang sama. Petugas pembersih lapangan, gubernur, menteri, ibu rumah tangga, mahasiswa dan juga anak kecil merasakan hal yang sama.
Saat seperti ini adalah saat dimana krisis, kemelut ekonomi, korupsi, tingkah elit politik dan segala jenis peristiwa yang membebankan itu terlupa. Sungguh, rindu sekali pada kebersamaan seperti ini. Saat dimana kita saling mendukung, berempati, tidak saling tuding dan menjatuhkan. Saat dimana kita berusaha menyumbangkan ,walau mungkin secuil, untuk bangunan ini.
Rindu, ingin sekali melihat semua berangkulan, mengeratkan genggaman dan bergerak dalam kebersamaan.
Selamat buat Luluk-Alven dan Taufik Hidayat :)
Saat seperti ini adalah saat dimana krisis, kemelut ekonomi, korupsi, tingkah elit politik dan segala jenis peristiwa yang membebankan itu terlupa. Sungguh, rindu sekali pada kebersamaan seperti ini. Saat dimana kita saling mendukung, berempati, tidak saling tuding dan menjatuhkan. Saat dimana kita berusaha menyumbangkan ,walau mungkin secuil, untuk bangunan ini.
Rindu, ingin sekali melihat semua berangkulan, mengeratkan genggaman dan bergerak dalam kebersamaan.
Selamat buat Luluk-Alven dan Taufik Hidayat :)
Saturday, 18 December 2004
beberes blog
pusing. belum rada sreg si ma template yang ini. tapi bongkar2 di blogskins juga kagak nemu yang kayaknya lebih pas dari ini. wa dah lumayan segini juga -alhamdulillah-. tapi masi pengen ganti2 font. dan akhirnya make haloscan juga, daripada tambah pusing klo masi pengen mindahin comment yang dari blogger.
btw, nanya ni, pada bisa ga: mengangkat sebuah botol -botolnya yang sejenis teh botol ya- hanya dengan satu sedotan? hayo hayo bisa ga? *klo dah bisa laporan yak*.
makasih buat pak bahtiar, setelah mampir ke bahtiar.tk jadi bisa d ngotak ngatik template. makasi2
btw, nanya ni, pada bisa ga: mengangkat sebuah botol -botolnya yang sejenis teh botol ya- hanya dengan satu sedotan? hayo hayo bisa ga? *klo dah bisa laporan yak*.
makasih buat pak bahtiar, setelah mampir ke bahtiar.tk jadi bisa d ngotak ngatik template. makasi2
Thursday, 16 December 2004
dari garut, jalan2 plus 'nengok' sampireun nan menawan
baru pulang dari garut :D, jalan2 ma ibu ini, ibu itu dan ibu yang satu ini.
Wuih, nginep dua hari di pinggir sawah dan di dekat gunung itu emang bikin pikiran jadi fresh lagi -makasih icha-. Selama menghabiskan hari disana yang kepikiran: gimana ntar ya kalau jadi dokter di desa? Tiba-tiba jadi pengen hehe. Dari dulu emang kepikiran untuk ptt dulu setelah jadi dokter. Dan kemarin pas ke garut: iya jadi makin pengen tinggal di desa yang tenang, jauh dari riweuhnya kota.
Alasan pengen ke desa kenapa ya? Ga tau :D. Lo ko ga tau? Ngga ding. Pertama karena ingin bisa deket ma masyarakat desa, belajar bersosialisasi, belajar memberikan sesuatu dan mendapatkan sesuatu dari mereka. Atmosfer desa pasti beda dengan kota, dan itu yang pengen dicari: ruh pedesaan, sebelum nantinya ngambil spesialis dll. Yang kedua karena pengen bisa mandiri. Di desa pasti ga sekomplit kota dari segi peralatan, obat dan pengambil kebijaksanaan. Dah kebayang klo di desa, kita dituntut untuk bisa cerdik ngakalin berbagai kondisi dan dituntut untuk bisa mengambil keputusan dengan tepat. Pengen nempa diri sendiri, bisa ga ya?
Jadi ingat lagu Raihan yang "kembali ke desa". Hayu-hayu sama-sama kita ke desa.
Itu mimpi-mimpi saat ini, berubah ga ya ntar? *khawatir mode*.
Tapi bener d pengen tinggal di desa asal ada internet, dah ada telpon, bisa langganan koran dan transportasi lancar? Lo kok :D.
Pas nyampe rumah. Wuih di sambut ma cap sepatu di lantai, akuarium yang butek dan makanan ikan yang tumpah *geleng2 kepala liatnya, gpp d, ol dulu aja hehe*. Eh ga lama, ada telepon: “git, gimana tgl 28 kumpul di jatinangor atau di bandung aja”. Waa, baru bentar juga menghirup udara bandung, dah dihadapkan pada persiapan2 ko as :(. Bener d kata mita pas pulang tadi: “selamat datang kenyataan”. saudara-saudara mohon doanya yak, dua minggu lagi dah masuk ko as ni.
Btw ibu yang satu ini dapat banyak ilham selama di garut buat ngisi blognya, gimana bu? buat icha, selamat menempuh hidup baru senin ntar hehe. Untuk mitaw, pergi lagi sabtu? Bener2 padat acara sampai tahun baru yak ;).
btw lagi, jadi lucu kalo inget tema obrolan kita :D, masak2nya, foto2nya, gelut2na, bangun bersama setelah tdk sengaja dibangunkan :D hihi, kalau lima tahun kemudian kita ke garut bareng lagi, ceritanya bgimana ya? :)
Wuih, nginep dua hari di pinggir sawah dan di dekat gunung itu emang bikin pikiran jadi fresh lagi -makasih icha-. Selama menghabiskan hari disana yang kepikiran: gimana ntar ya kalau jadi dokter di desa? Tiba-tiba jadi pengen hehe. Dari dulu emang kepikiran untuk ptt dulu setelah jadi dokter. Dan kemarin pas ke garut: iya jadi makin pengen tinggal di desa yang tenang, jauh dari riweuhnya kota.
Alasan pengen ke desa kenapa ya? Ga tau :D. Lo ko ga tau? Ngga ding. Pertama karena ingin bisa deket ma masyarakat desa, belajar bersosialisasi, belajar memberikan sesuatu dan mendapatkan sesuatu dari mereka. Atmosfer desa pasti beda dengan kota, dan itu yang pengen dicari: ruh pedesaan, sebelum nantinya ngambil spesialis dll. Yang kedua karena pengen bisa mandiri. Di desa pasti ga sekomplit kota dari segi peralatan, obat dan pengambil kebijaksanaan. Dah kebayang klo di desa, kita dituntut untuk bisa cerdik ngakalin berbagai kondisi dan dituntut untuk bisa mengambil keputusan dengan tepat. Pengen nempa diri sendiri, bisa ga ya?
Jadi ingat lagu Raihan yang "kembali ke desa". Hayu-hayu sama-sama kita ke desa.
Itu mimpi-mimpi saat ini, berubah ga ya ntar? *khawatir mode*.
Tapi bener d pengen tinggal di desa asal ada internet, dah ada telpon, bisa langganan koran dan transportasi lancar? Lo kok :D.
Pas nyampe rumah. Wuih di sambut ma cap sepatu di lantai, akuarium yang butek dan makanan ikan yang tumpah *geleng2 kepala liatnya, gpp d, ol dulu aja hehe*. Eh ga lama, ada telepon: “git, gimana tgl 28 kumpul di jatinangor atau di bandung aja”. Waa, baru bentar juga menghirup udara bandung, dah dihadapkan pada persiapan2 ko as :(. Bener d kata mita pas pulang tadi: “selamat datang kenyataan”. saudara-saudara mohon doanya yak, dua minggu lagi dah masuk ko as ni.
Btw ibu yang satu ini dapat banyak ilham selama di garut buat ngisi blognya, gimana bu? buat icha, selamat menempuh hidup baru senin ntar hehe. Untuk mitaw, pergi lagi sabtu? Bener2 padat acara sampai tahun baru yak ;).
btw lagi, jadi lucu kalo inget tema obrolan kita :D, masak2nya, foto2nya, gelut2na, bangun bersama setelah tdk sengaja dibangunkan :D hihi, kalau lima tahun kemudian kita ke garut bareng lagi, ceritanya bgimana ya? :)
Monday, 13 December 2004
Kemala
"Anda yang bernama Kemala?"
"Iya pak".
"Selamat atas bergabungnya saudara di perusahaan kami."
"Terima kasih pak, saya mohon bantuannya"
Kemala muda yang sedang menaruh harap pada pintu masa depannya.
"Bu, saya ndak bisa sering2 pulang kampung. Pekerjaan menumpuk bu. Sebagai pegawai baru saya harus berupaya membangun kepercayaan orang-orang di kantor bu"
Penggalan surat pertama Kemala.
"Bu, bagaimana Bima bu? Sudah pintar apa? Saya ingin sekali membawa Bima kesini bu. Bisa ibu datang kemari?"
Penggalan suratnya yang kedua.
"Bu, Bima ndak betah disini. Rewel terus. Kalau bekerja, saya terpaksa menitipkannya pada ibu kos. Sepertinya untuk sementara waktu saya harus menitipkannya lagi pada ibu."
Penggal surat ketiga Kemala untuk ibunya.
Setelah itu, seminggu, dua minggu, hingga 4 bulan lamanya tiada kabar dari Kemala.
-----
"Ingat nduk, anak itu amanah. Apalagi anakmu. Ia sekarang hanya memiliki engkau, ibunya."
"Nggih bu, saya tahu itu. Tapi membesarkan anak butuh biaya bu. Dengan penghasilan seperti ini saya ndak bisa berharap banyak untuk memberikan kebutuhannya bu."
"Tapi pergi ke sana itu jauh sekali nduk. Sebentar lagi anakmu mulai menanyakan ayahnya. kalau ibunya juga harus pergi jauh, nanti bagaimana ibu menjelaskannya nduk."
"Bu, saya pergi untuk kebaikannya. Dan itu tak akan lama bu."
-----
"Saya terima nikahnya Kemala binti Wardini dengan mas kawin tunai."
Senyum mengembang di wajah kedua mempelai baru. Ada janji disitu, janji setia hingga akhir nanti.
Tiga bulan kemudian.
"Alhamdulillah mas, sudah positif dua bulan", ujar sang istri malu-malu.
Wajah sang suami kaget, namun sedetik kemudian berubah menjadi sumringah.
"Alhamdulillah dek, jaga kesehatan ya", ujarnya seraya mengecup sang istri mesra.
Enam bulan kemudian.
"Nduk, ibu ndak tahu bagaimana menyampaikannya. suamimu sekarang di rawat di rumah sakit. Kepalanya bocor setelah ditabrak mobil saat menyeberang hendak pulang. Pak Yadi tadi yang mengabari ibu."
Sesampainya di rumah sakit.
"Maaf bu, kami sudah berusaha melakukan usaha sebaik mungkin. Tapi bapak sudah tidak tertolong lagi."
Lalu tiba-tiba dunia menjadi gelap bagi Kemala.
-----
Kemala muda kini bukan lagi kembang desa nan pemalu. Kariernya semakin menanjak. Hidupnya semakin mapan.
Demi inikah ia gadaikan peran mulianya?
"Iya pak".
"Selamat atas bergabungnya saudara di perusahaan kami."
"Terima kasih pak, saya mohon bantuannya"
Kemala muda yang sedang menaruh harap pada pintu masa depannya.
"Bu, saya ndak bisa sering2 pulang kampung. Pekerjaan menumpuk bu. Sebagai pegawai baru saya harus berupaya membangun kepercayaan orang-orang di kantor bu"
Penggalan surat pertama Kemala.
"Bu, bagaimana Bima bu? Sudah pintar apa? Saya ingin sekali membawa Bima kesini bu. Bisa ibu datang kemari?"
Penggalan suratnya yang kedua.
"Bu, Bima ndak betah disini. Rewel terus. Kalau bekerja, saya terpaksa menitipkannya pada ibu kos. Sepertinya untuk sementara waktu saya harus menitipkannya lagi pada ibu."
Penggal surat ketiga Kemala untuk ibunya.
Setelah itu, seminggu, dua minggu, hingga 4 bulan lamanya tiada kabar dari Kemala.
-----
"Ingat nduk, anak itu amanah. Apalagi anakmu. Ia sekarang hanya memiliki engkau, ibunya."
"Nggih bu, saya tahu itu. Tapi membesarkan anak butuh biaya bu. Dengan penghasilan seperti ini saya ndak bisa berharap banyak untuk memberikan kebutuhannya bu."
"Tapi pergi ke sana itu jauh sekali nduk. Sebentar lagi anakmu mulai menanyakan ayahnya. kalau ibunya juga harus pergi jauh, nanti bagaimana ibu menjelaskannya nduk."
"Bu, saya pergi untuk kebaikannya. Dan itu tak akan lama bu."
-----
"Saya terima nikahnya Kemala binti Wardini dengan mas kawin tunai."
Senyum mengembang di wajah kedua mempelai baru. Ada janji disitu, janji setia hingga akhir nanti.
Tiga bulan kemudian.
"Alhamdulillah mas, sudah positif dua bulan", ujar sang istri malu-malu.
Wajah sang suami kaget, namun sedetik kemudian berubah menjadi sumringah.
"Alhamdulillah dek, jaga kesehatan ya", ujarnya seraya mengecup sang istri mesra.
Enam bulan kemudian.
"Nduk, ibu ndak tahu bagaimana menyampaikannya. suamimu sekarang di rawat di rumah sakit. Kepalanya bocor setelah ditabrak mobil saat menyeberang hendak pulang. Pak Yadi tadi yang mengabari ibu."
Sesampainya di rumah sakit.
"Maaf bu, kami sudah berusaha melakukan usaha sebaik mungkin. Tapi bapak sudah tidak tertolong lagi."
Lalu tiba-tiba dunia menjadi gelap bagi Kemala.
-----
Kemala muda kini bukan lagi kembang desa nan pemalu. Kariernya semakin menanjak. Hidupnya semakin mapan.
Demi inikah ia gadaikan peran mulianya?
Saturday, 11 December 2004
generasi orang muda
Kurus. Wajahnya berhiaskan kacamata. Ia berdiri dengan tegaknya di atas mobil pick up coklat yang melaju perlahan. Tangannya memegang toa yang bertuliskan “milik BEM”. Sesekali ia berteriak dan menyenandungkan semangat. Semangat gelora untuk rakyat, untuk sebuah idealisme.
Beriringan di belakangnya, jas almamater warna-warni yang berdesakan. Warnanya membaur menjadi satu, warna kerinduan. Kerinduan hadirnya keadilan. Barisan itu panjang, seperti hendak menyedot masyarakat turut bersamanya.
Lalu di ujung sana. Seorang perempuan berlari-lari kecil. Peluh belum juga hilang. Tapi ia masih berusaha untuk bersama mereka. Bersama untuk bisa berpegangan tangan, walau mungkin kehadirannya tak disadari.
Masih di tempat yang sama. Di tengah laju gerak harapan. Ada percakapan kecil:
“Kasihan, banyak yang belum minum ni. Panas terik begini.”
“Iya, aku ada si 2 botol air. Ya mungkin bisa membantu, walau sedikit.”
“He eh, aku juga ada 3 gelas air ni. Ntar kita bagi-bagi ma yang lain ya.”
Sepenggal gerak harmoni yang begitu indah. Indah dalam harapan. Indah dalam kebersaman.
Lalu sayup-sayup terdengar:
Kepada para mahasiswa
Yang merindukan kejayaan..
Di sudut yang sama di tengah gelombang harmoni indah itu, ada harap dalam diri. Harap harmoni ini akan senantiasa indah. Harap agar idealisme ini tidak pernah luntur. Harap kejayaan peradaban yang terukir kemudian.
Suatu saat kelak, kita kan bersama kembali dalam kiprah nyata untuk bangsa. Itu impian kita bukan?
Beriringan di belakangnya, jas almamater warna-warni yang berdesakan. Warnanya membaur menjadi satu, warna kerinduan. Kerinduan hadirnya keadilan. Barisan itu panjang, seperti hendak menyedot masyarakat turut bersamanya.
Lalu di ujung sana. Seorang perempuan berlari-lari kecil. Peluh belum juga hilang. Tapi ia masih berusaha untuk bersama mereka. Bersama untuk bisa berpegangan tangan, walau mungkin kehadirannya tak disadari.
Masih di tempat yang sama. Di tengah laju gerak harapan. Ada percakapan kecil:
“Kasihan, banyak yang belum minum ni. Panas terik begini.”
“Iya, aku ada si 2 botol air. Ya mungkin bisa membantu, walau sedikit.”
“He eh, aku juga ada 3 gelas air ni. Ntar kita bagi-bagi ma yang lain ya.”
Sepenggal gerak harmoni yang begitu indah. Indah dalam harapan. Indah dalam kebersaman.
Lalu sayup-sayup terdengar:
Kepada para mahasiswa
Yang merindukan kejayaan..
Di sudut yang sama di tengah gelombang harmoni indah itu, ada harap dalam diri. Harap harmoni ini akan senantiasa indah. Harap agar idealisme ini tidak pernah luntur. Harap kejayaan peradaban yang terukir kemudian.
Suatu saat kelak, kita kan bersama kembali dalam kiprah nyata untuk bangsa. Itu impian kita bukan?
mereka
seperti para sahabat yang meninggalkan kota tercinta, tempat kelahiran, tempat berkumpul sanak saudara, meninggalkan hasil usaha bertahun-tahun..
seperti itulah aku saat ini.
seperti para sahabat yang berhijrah ke sebuah kota yang tidak diketahui bagaimana keadaannya, tidak dipastikan seperti apa kenyamanannya..
seperti itulah aku saat ini
hanya berharap keikhlasan dan ketundukan yang melekat padaku..
seperti yang mereka rasakan saat itu..
terinspirasi dari kutipan pernyatan wni yang dideportasi dari Timor Leste:
“Kami yakin semua ini milik Allah yang sedang menguji umat-Nya. Yang penting kami bisa berdakwah” (Muhamad Panijan, 45 tahun)
Wajah puluhan lelaki di Asrama Transito Pondok Kelapa, Jakarta Timur, itu tak meninggalkan kesan sedih dan kurang bergairah. Wajah mereka memancarkan semangat hidup dan gairah tak pernah padam.
Sumber: Koran Tempo, edisi sabtu, 11 desember 2004
seperti itulah aku saat ini.
seperti para sahabat yang berhijrah ke sebuah kota yang tidak diketahui bagaimana keadaannya, tidak dipastikan seperti apa kenyamanannya..
seperti itulah aku saat ini
hanya berharap keikhlasan dan ketundukan yang melekat padaku..
seperti yang mereka rasakan saat itu..
terinspirasi dari kutipan pernyatan wni yang dideportasi dari Timor Leste:
“Kami yakin semua ini milik Allah yang sedang menguji umat-Nya. Yang penting kami bisa berdakwah” (Muhamad Panijan, 45 tahun)
Wajah puluhan lelaki di Asrama Transito Pondok Kelapa, Jakarta Timur, itu tak meninggalkan kesan sedih dan kurang bergairah. Wajah mereka memancarkan semangat hidup dan gairah tak pernah padam.
Sumber: Koran Tempo, edisi sabtu, 11 desember 2004
Thursday, 9 December 2004
Tuesday, 7 December 2004
wie..
Mba, aku ingin seperti mereka yang ada di televisi. Yang kemarin baru saja dikirim untuk mengikuti olimpiade fisika sedunia.
Mba tahu kan kalau nilai fisikaku bagus-bagus. Aku tersenyum gembira saat mendapat nilai tertinggi di kelas. Tapi kalau aku tunjukkan pada bapakku lagi-lagi jawabannya hanya berdehem. Ibuku? Tak jauh beda. Kata ibu: untuk apa toh nduk nilai setinggi langit, kamu itu seharusnya lebih sering bantu bapakmu nyari uang.
Tapi aku dapat nilai tinggi kan bukan untuk mendapat kebanggaan dari ibu dan bapakku ya mba? Pendidikan adalah ibadah, aku selalu inget kata-kata mba. Jadi walaupun ibu dan bapakku tampak tidak menghiraukan, tapi aku ingin Allah yang menyapaku atas semua usahaku mba. Boleh kan berharap seperti itu?
Kadang aku geli sendiri mba, kalau teman-teman lebih sering bertanya padaku ketimbang pada Pak Jono, guru fisika di sekolahku. Bagaimana tidak lucu, mereka bertanya padaku yang tidak punya buku di rumah. Aku hanya mengandalkan catatan dan ingatanku ketika membaca buku pinjaman dari temanku saat istirahat sekolah. Tapi semuanya lantas berubah menjadi kelegaan, merasa diriku bisa bermanfaat bagi orang lain merubah senyum geliku jadi senyum bahagia yang kuingin selalu berkembang selamanya.
Berlebihankah mba jika aku ingin menggantungkan cita-citaku disana, tinggi sekali?
Aku tergugu mendengar semua celotehnya.
Wie, semoga binar dimatamu tak pernah redup. Lalu sapaan-Nya yang kan kau dapati nanti.
Pagi-pagi sekali.
Mba, bapak sakit. Sudah tiga hari batuk darahnya tak henti juga. Ibu sudah semakin kurus saja. Tiga hari juga ibu tak tidur menemani bapak. Aku juga sudah tiga hari tidak masuk sekolah mba. Doakan bapak ya mba.
Wajahnya kuyu. Lelah jelas berbayang. Wie, ada cinta dalam tiap episode yang Ia hadirkan, percayalah.
Lalu seminggu kemudian.
Mba, yang ibu takutkan terjadi mba. Allah menghendaki bapak pergi meninggalkan kami. Meninggalkan ibu, aku dan dua orang adikku. Aku ikhlas mba. Aku sudah tidak tahan melihat bapak begitu menderita seminggu terakhir ini. Allah berikan yang terbaik bagi hamba-Nya. Itu yang selalu mba katakan padaku kan?
Wie, setabah itukah dirimu? Bahwa Allah pasti berikan yang terbaik bagi hamba-Nya.
Dua hari kemudian.
Mba tampaknya aku memang harus menggantung cita-citaku tinggi disana. Kini aku harus lebih memikirkan ibu dan adik-adikku mba. Aku tak ingin jadi manusia egois yang lebih mementingkan mimpiku. Aku ingin aku turut bermain dalam mimpi-mimpi ibu dan adik-adikku yang bisa kubantu mewujudkannya. Mulai besok aku berhenti sekolah mba.
Aku menghela nafas dalam. Wie, salahkah aku jika berharap binar di matamu tak kan pernah redup?
Inspired by iklan layanan masyarakat "pendidikan adalah ibadah".
Semoga semua anak negeri ini mendapat pendidikan selayaknya, lalu yang hadir kemudian adalah kemuliaan bangsa ini.
Mba tahu kan kalau nilai fisikaku bagus-bagus. Aku tersenyum gembira saat mendapat nilai tertinggi di kelas. Tapi kalau aku tunjukkan pada bapakku lagi-lagi jawabannya hanya berdehem. Ibuku? Tak jauh beda. Kata ibu: untuk apa toh nduk nilai setinggi langit, kamu itu seharusnya lebih sering bantu bapakmu nyari uang.
Tapi aku dapat nilai tinggi kan bukan untuk mendapat kebanggaan dari ibu dan bapakku ya mba? Pendidikan adalah ibadah, aku selalu inget kata-kata mba. Jadi walaupun ibu dan bapakku tampak tidak menghiraukan, tapi aku ingin Allah yang menyapaku atas semua usahaku mba. Boleh kan berharap seperti itu?
Kadang aku geli sendiri mba, kalau teman-teman lebih sering bertanya padaku ketimbang pada Pak Jono, guru fisika di sekolahku. Bagaimana tidak lucu, mereka bertanya padaku yang tidak punya buku di rumah. Aku hanya mengandalkan catatan dan ingatanku ketika membaca buku pinjaman dari temanku saat istirahat sekolah. Tapi semuanya lantas berubah menjadi kelegaan, merasa diriku bisa bermanfaat bagi orang lain merubah senyum geliku jadi senyum bahagia yang kuingin selalu berkembang selamanya.
Berlebihankah mba jika aku ingin menggantungkan cita-citaku disana, tinggi sekali?
Aku tergugu mendengar semua celotehnya.
Wie, semoga binar dimatamu tak pernah redup. Lalu sapaan-Nya yang kan kau dapati nanti.
Pagi-pagi sekali.
Mba, bapak sakit. Sudah tiga hari batuk darahnya tak henti juga. Ibu sudah semakin kurus saja. Tiga hari juga ibu tak tidur menemani bapak. Aku juga sudah tiga hari tidak masuk sekolah mba. Doakan bapak ya mba.
Wajahnya kuyu. Lelah jelas berbayang. Wie, ada cinta dalam tiap episode yang Ia hadirkan, percayalah.
Lalu seminggu kemudian.
Mba, yang ibu takutkan terjadi mba. Allah menghendaki bapak pergi meninggalkan kami. Meninggalkan ibu, aku dan dua orang adikku. Aku ikhlas mba. Aku sudah tidak tahan melihat bapak begitu menderita seminggu terakhir ini. Allah berikan yang terbaik bagi hamba-Nya. Itu yang selalu mba katakan padaku kan?
Wie, setabah itukah dirimu? Bahwa Allah pasti berikan yang terbaik bagi hamba-Nya.
Dua hari kemudian.
Mba tampaknya aku memang harus menggantung cita-citaku tinggi disana. Kini aku harus lebih memikirkan ibu dan adik-adikku mba. Aku tak ingin jadi manusia egois yang lebih mementingkan mimpiku. Aku ingin aku turut bermain dalam mimpi-mimpi ibu dan adik-adikku yang bisa kubantu mewujudkannya. Mulai besok aku berhenti sekolah mba.
Aku menghela nafas dalam. Wie, salahkah aku jika berharap binar di matamu tak kan pernah redup?
Inspired by iklan layanan masyarakat "pendidikan adalah ibadah".
Semoga semua anak negeri ini mendapat pendidikan selayaknya, lalu yang hadir kemudian adalah kemuliaan bangsa ini.
Monday, 6 December 2004
kerja kata-kata
Adalah dunia warna warni saat menyesatkan diri dalam ribuan kata dan titik yang berhamburan dalam ruang maya yang seakan tak terbatas. Ya, tak berbatas hingga harus kembali.
dari pensilwarna juga mengucapkan terima kasih untuk para indonesian bloggers untuk tiap sentuhan baru di blognya *sebenernya dah nebeng di cahy0, tapi pengen juga ngucapin secara langsung :D*.. ditunggu postingan2 selanjutnya.. terus menulis yak saudara-saudara, untuk diri sendiri, untuk kita semua, semoga ada kebaikan didalamnya :)
dari pensilwarna juga mengucapkan terima kasih untuk para indonesian bloggers untuk tiap sentuhan baru di blognya *sebenernya dah nebeng di cahy0, tapi pengen juga ngucapin secara langsung :D*.. ditunggu postingan2 selanjutnya.. terus menulis yak saudara-saudara, untuk diri sendiri, untuk kita semua, semoga ada kebaikan didalamnya :)
Sunday, 5 December 2004
pecah
Tiba-tiba semua menjadi tak bersahabat. Dia yang dulu selalu mendorongku, berada di belakangku, tempat ku mengadu. Sekarang ia berada di seberang sana. Memandang aneh padaku. Atau aku yang memang tampak aneh baginya sekarang? Sudahlah. Aku tinggalkan saja ia dan pandangan anehnya yang menembus punggungku ketika aku berbalik, memilih pulang.
***
Belum juga genap setahun kota ini kutinggalkan, tapi aku seperti baru tiba di kota asing. Bukan kota kelahiran tempatku menghabiskan waktu menapaki jalan lumpur bersamanya.
Pagi ini aku menyusurinya kembali. Mencoba mencari keping-keping ingatanku yang mungkin bersisa di tempat ini. Mencoba menemukan kesan yang sama. Tapi lagi-lagi hanya ia yang kudapati. Berdiri di sana dan memandangku aneh.
Hei hentikan. Jangan seperti itu. Ini aku..
Aku mencoba mengalah kali ini. Tapi dia yang berbalik pulang. Meninggalkan aku yang semakin pilu disini.
Mengapa?
Tahukah bahwa aku hanya ingin mengajakmu terbang bersama?
***
Tapaknya tergesa. Meninggalkan jejak-jejak baru di tanah berlumpur, jejak tak beraturan seperti pikirannya yang kalut kali ini :
Aku kalah lagi hari ini. Sepuluh bulan tak cukup bagiku untuk menerima semua kemenangannya atasku. Akankah esok egoku luntur? Kuharap demikian. Aku lelah dengan semua ini.
***
Belum juga genap setahun kota ini kutinggalkan, tapi aku seperti baru tiba di kota asing. Bukan kota kelahiran tempatku menghabiskan waktu menapaki jalan lumpur bersamanya.
Pagi ini aku menyusurinya kembali. Mencoba mencari keping-keping ingatanku yang mungkin bersisa di tempat ini. Mencoba menemukan kesan yang sama. Tapi lagi-lagi hanya ia yang kudapati. Berdiri di sana dan memandangku aneh.
Hei hentikan. Jangan seperti itu. Ini aku..
Aku mencoba mengalah kali ini. Tapi dia yang berbalik pulang. Meninggalkan aku yang semakin pilu disini.
Mengapa?
Tahukah bahwa aku hanya ingin mengajakmu terbang bersama?
***
Tapaknya tergesa. Meninggalkan jejak-jejak baru di tanah berlumpur, jejak tak beraturan seperti pikirannya yang kalut kali ini :
Aku kalah lagi hari ini. Sepuluh bulan tak cukup bagiku untuk menerima semua kemenangannya atasku. Akankah esok egoku luntur? Kuharap demikian. Aku lelah dengan semua ini.
dalam batasan dirinya
Pernah terpikir bahwa ia hanya ingin memberikan yang terbaik dalam batasan kesanggupannya? Seperti seorang anak kecil yang meraung tak ingin pulang sebelum sepeda kecilnya diterima mereka? Jadi bersihkan karat-karat masa lalu, yang hanya membuatmu buta akan cinta yang ia tawarkan.
Inspired by yang hari ini datang pagi-pagi sekali dan baru pulang malam tadi
Inspired by yang hari ini datang pagi-pagi sekali dan baru pulang malam tadi
lagi-lagi tentang menikah
Lagi-lagi tentang menikah. Usia seperti ini mungkin memang tak akan habis membicarakan topik itu. Atau mungkin ia baru akan berhenti ketika akad sudah berlangsung –berlebihan ya hehe-. Entahlah. Menikah. Satu kata yang maknanya begitu dalam. Dalam sekali, jadi jikalau berusaha menyelami kedalamannya maka benarlah butuh kekuatan lain yang lebih besar untuk itu. Benar kata seorang saudara bahwa menikah itu bukanlah cita-cita, tapi ia adalah sarana untuk mencapai cita-cita agung yang begitu indah. Maka pantaskah washilah dakwah ini kita jadikan ajang bermainnya ego kita? Ego diri dan hati. Sungguh berlelah pasti hadir saat tapakan demi tapakan kembali diteguhkan, kala semangat meredup, kejenuhan muncul dan saat merasa membutuhkan uluran untuk kembali mengokohkan pijakan. Lantas karena itukah keputusan menikah diambil?
Menikah adalah menyinergikan energi bagi dakwah, yang bersamanya akan timbul kekuatan baru bagi kegemilangan Islam. Mulia sekali. Hingga perjalanan menuju kesana adalah proses yang terjaga dan dijaga. Lalu pertanyaannya adalah: Sudah siapkah untuk membina rumah tangga? Bertemu dengan karakter berbeda yang belum dikenal sebelumnya? Mengenal keluar besar, latar belakang budaya dan adat yang berbeda? Mengubah impian menjadi impian bersama? Mengkompromikan ego? Mendengarkan keluh kesah? Berdiskusi? Menjadi penyemangat? Mendidik anak?
Kenapa tiba-tiba menjadi takut? Takut dengan bertambahnya pertanyaan-pertanyaan itu. Takut jika "cukuplah agamanya saja" sulit diucapkan dengan ikhlas.
Takut jika ternyata komitmen diri untuk dakwah adalah tidak sebesar keinginan untuk menikah. Takut jika ternyata ia –komitmen terhadap dakwah.red- belum selayak yang seharusnya menjadi energi tuk mengarungi episode baru kehidupan.
Btw seharusnya apa yang memotivasi seorang muslim/-ah untuk mengambil keputusan menikah?
-->ditulis setelah baca "obrolan ikhwan"-nya yoyo
Menikah adalah menyinergikan energi bagi dakwah, yang bersamanya akan timbul kekuatan baru bagi kegemilangan Islam. Mulia sekali. Hingga perjalanan menuju kesana adalah proses yang terjaga dan dijaga. Lalu pertanyaannya adalah: Sudah siapkah untuk membina rumah tangga? Bertemu dengan karakter berbeda yang belum dikenal sebelumnya? Mengenal keluar besar, latar belakang budaya dan adat yang berbeda? Mengubah impian menjadi impian bersama? Mengkompromikan ego? Mendengarkan keluh kesah? Berdiskusi? Menjadi penyemangat? Mendidik anak?
Kenapa tiba-tiba menjadi takut? Takut dengan bertambahnya pertanyaan-pertanyaan itu. Takut jika "cukuplah agamanya saja" sulit diucapkan dengan ikhlas.
Takut jika ternyata komitmen diri untuk dakwah adalah tidak sebesar keinginan untuk menikah. Takut jika ternyata ia –komitmen terhadap dakwah.red- belum selayak yang seharusnya menjadi energi tuk mengarungi episode baru kehidupan.
Btw seharusnya apa yang memotivasi seorang muslim/-ah untuk mengambil keputusan menikah?
-->ditulis setelah baca "obrolan ikhwan"-nya yoyo
berita pagi
Sigit pramono mengadakan pameran 47 foto karyanya dengan target penjualan 1 milyar untuk disumbangkan bagi pendidikan anak. Tidak banyak yang tahu bahwa Direktur Utama BNI’46 ini adalah seorang fotografer.
"Bisa dijelaskan awal ketertarikan Bapak pada dunia fotografi?"
"Awalnya saya memang sering memotret kegiatan keluarga. Tapi makin lama terasa bahwa saya bisa mengekspresikan diri melalui foto".
"Kenapa Pak? Apa Bapak mengalami kesulitan dalam mengekspresikan diri dengan kata-kata?"
"Justru karena pekerjaan saya sebagai bankir, saya jadi lebih banyak berbicara (tertawa). Dan melalui foto, saya bisa mengekspresikan diri saya dengan lebih tenang."
"Saat ini Bapak membawa kamera, bisa dijelaskan?"
"Ini kamera pertama yang saya gunakan. Kamera yang semuanya manual. Setelah saya menguasai bagaimana teknik memotret, baru saya gunakan kamera … (lupa) yang tidak lagi menggunakan film. Digital." (menerangkan kamera-kamera canggih dihadapannya *mau .. mau.. :)*)
"Kalau boleh memilih menjadi bankir atau fotografer, bapak akan memilih yang mana?"
"Karena profesi saya, sekarang ini saya tekuni menjadi bankir. Tapi mungkin kalau sudah pensiun saya akan menjadi fotografer (tertawa)".
Mungkin beberapa tahun atau puluhan tahun kedepan. Di acara yang sama ada seseorang yang berprofesi di bidang kesehatan sedang diwawancarai mengenai pameran foto yang sedang diselenggarakannya. *wink.. wink.. mimpi lagi :) *
Dikutip dari liputan 6 pagi, dengan percakapan yang tak sama persis dengan aslinya.
"Bisa dijelaskan awal ketertarikan Bapak pada dunia fotografi?"
"Awalnya saya memang sering memotret kegiatan keluarga. Tapi makin lama terasa bahwa saya bisa mengekspresikan diri melalui foto".
"Kenapa Pak? Apa Bapak mengalami kesulitan dalam mengekspresikan diri dengan kata-kata?"
"Justru karena pekerjaan saya sebagai bankir, saya jadi lebih banyak berbicara (tertawa). Dan melalui foto, saya bisa mengekspresikan diri saya dengan lebih tenang."
"Saat ini Bapak membawa kamera, bisa dijelaskan?"
"Ini kamera pertama yang saya gunakan. Kamera yang semuanya manual. Setelah saya menguasai bagaimana teknik memotret, baru saya gunakan kamera … (lupa) yang tidak lagi menggunakan film. Digital." (menerangkan kamera-kamera canggih dihadapannya *mau .. mau.. :)*)
"Kalau boleh memilih menjadi bankir atau fotografer, bapak akan memilih yang mana?"
"Karena profesi saya, sekarang ini saya tekuni menjadi bankir. Tapi mungkin kalau sudah pensiun saya akan menjadi fotografer (tertawa)".
Mungkin beberapa tahun atau puluhan tahun kedepan. Di acara yang sama ada seseorang yang berprofesi di bidang kesehatan sedang diwawancarai mengenai pameran foto yang sedang diselenggarakannya. *wink.. wink.. mimpi lagi :) *
Dikutip dari liputan 6 pagi, dengan percakapan yang tak sama persis dengan aslinya.
Saturday, 4 December 2004
pesona bintang
Lalu tergerak begitu mendapati pesona bintang malam ini. Cahayanya masih redup. Kadang terhalau sapuan awan. Tapi begitu ku berpindah, ia terlihat lagi. Selalu begitu. Dan berharap selalu seperti itu. Ada pesona yang membuatku selalu ingin bergerak, menjadi seperti indahnya.
Friday, 3 December 2004
si gendut
Kenal ma si gendut? Jawabannya bisa dipastikan "belum kenal". Tepat sekali. Soalnya belum satu postingan pun ttg si gendut –merhatiin gendut dan teman-temannya juga baru beberapa hari terakhir ini L -. Gendut, gendut. Lucu d. kalau berenang perutnya yang gendut itu bakal goyang kiri goyang kanan. Alhamdulillah dia dikaruniai keseimbangan ma Allah, waduh kalau ngga, kayaknya goyang dikit aja dia ga bisa berenang lagi. Dari samping diliat: gendut. Dari belakang diliat: gendut. Dari depan diliat juga: gendut. "ko bisa ya perutnya segede itu?", gitu d ptanyaan orang-orang yang baru liat si gendut. Gendut, gendut emang lucu. Seharusnya kemarin bisa lebih sering main2 ma si gendut, kasi makan, atau hanya sekedar merhatiin aktivitasnya ngelilingin akuarium. Sekarang dah ga bisa lagi. Iya, si gendut mati :( . Ikan gendut yang lucu itu mati, ga tau karena kurang oksigen atau kelaperan. Kemarin pas nyampe rumah lagi, tau-tau si gendut dah terapung di sudut akuarium. Sedih d liatnya. Temen-temen si gendut -gendut-gendut juga walau ga segendut si gendut- baik-baik aja. Kecuali ada satu ikan gendut yang warnanya putih –si gendut ini warnanya kuning- kayaknya lagi agak-agak ingin menyusul si gendut, berenangnya aja dah kebalik-balik. Kepala di bawah, perut gendutnya diatas. Kayaknya dia dah ga bisa ngendaliin dirinya sendiri. Terus berenangnya jarang banget ke dalam, pasti di permukaan. Padahal sirkulasi udara di akuarium dah dibenerin. Kenapa ya? Aduh jangan nyusul si gendut ya gendut putih, nanti aku harus bilang apa pada kedua orang tuaku? Ngurus ikan-ikan gendut aja masih sradak sruduk :(
--> sedang belajar mengenali ikan-ikan. Duh ternyata emang bener, harus tetep pay attention dgn serius walaupun pada hal-hal yang terlihat kecil :(
--> sedang belajar mengenali ikan-ikan. Duh ternyata emang bener, harus tetep pay attention dgn serius walaupun pada hal-hal yang terlihat kecil :(
surga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai
"Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang beriman dan berbuat kebajikan, bahwa untuk mereka (disediakan) surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai." (QS. 2:25)
Kenapa ya kebanyakan kata surga dalam Al-Quran diikuti dengan kalimat "yang mengalir dibawahnya sungai-sungai". Apa ya yang Allah ingin kita pahami dari kalimat itu? Kalau misalnya ingin menggambarkan keindahan surga, kenapa tidak diganti dengan kalimat "yang didalamnya bertahtakan emas berlian". Atau kalau ingin menggambarkan bahwa sungai identik dengan air dan air identik dengan kehidupan, kenapa sungai? Kenapa tidak laut atau samudera? Atau memang karena sungai-lah sumber peradaban manusia? Seperti Eufrat, Tigris dan Nil? Wallahu’alam bisshowab. Ada yang mau berbagi?
Dari yang lagi bertanya-tanya, tapi belum banyak baca buku, baca terjemah masih bolong2 dan baca tafsir masih tersendat-sendat. Moga Allah karuniai kesanggupan untuk berdekatan dengan-Nya melalui ilmu. Amin.
Btw, ingin pergi ke Eufrat, Tigris dan Nil. Suatu saat nanti. Semoga.
Kenapa ya kebanyakan kata surga dalam Al-Quran diikuti dengan kalimat "yang mengalir dibawahnya sungai-sungai". Apa ya yang Allah ingin kita pahami dari kalimat itu? Kalau misalnya ingin menggambarkan keindahan surga, kenapa tidak diganti dengan kalimat "yang didalamnya bertahtakan emas berlian". Atau kalau ingin menggambarkan bahwa sungai identik dengan air dan air identik dengan kehidupan, kenapa sungai? Kenapa tidak laut atau samudera? Atau memang karena sungai-lah sumber peradaban manusia? Seperti Eufrat, Tigris dan Nil? Wallahu’alam bisshowab. Ada yang mau berbagi?
Dari yang lagi bertanya-tanya, tapi belum banyak baca buku, baca terjemah masih bolong2 dan baca tafsir masih tersendat-sendat. Moga Allah karuniai kesanggupan untuk berdekatan dengan-Nya melalui ilmu. Amin.
Btw, ingin pergi ke Eufrat, Tigris dan Nil. Suatu saat nanti. Semoga.
selalu dinanti
Kadang ingin sekali terbebas dari setiap jengkal keinginan yang membuat diri berjarak dengan sang pencipta. Kadang ingin sekali menjadi makhluk yang terbebas dari nafsu. Menjadi malaikat yang hanya sujud pada sang Khalik.
"Kalau diperbolehkan memilih, lebih memilih menjadi manusia atau malaikat?"
"Jelas manusia dong. Kan di mata Allah ia lebih mulia".
"Tapi malaikat kan makhluk yang selalu setia, tidak mengkhianati sang Khalik yang menciptakannya. Tidak seperti manusia yang kadang terkuasai dunia"
"Tapi kepada manusia-lah Allah perintahkan semua bersujud, ia adalah makhluk yang Allah karuniai akal dan hawa nafsu yang semestinya dipergunakan untuk selalu tunduk pada-Nya."
"Setelah semua pengkhianatan yang dilakukan manusia, masih adakah keistimewaan yang kan ia peroleh dari-Nya".
"Percayalah. Bahkan untuk segenap cinta yang dilalaikan makhluk-Nya, manusia selalu dinanti untuk kembali pada-Nya. Tiada kekasih di dunia yang begitu setia dalam cinta, lalu mengapa ingin melepas semua kesempatan untuk bermesra dengan-Nya dalam bentuk terbaik yang ia karuniakan, yaitu dengan menjadikan kita manusia, yang merasakan pengapnya udara dunia untuk selalu kembali bersandar pada-Nya?
Percayalah.. seperti apapun kita hari ini, kita selalu dinanti untuk kembali pada-Nya."
"Kalau diperbolehkan memilih, lebih memilih menjadi manusia atau malaikat?"
"Jelas manusia dong. Kan di mata Allah ia lebih mulia".
"Tapi malaikat kan makhluk yang selalu setia, tidak mengkhianati sang Khalik yang menciptakannya. Tidak seperti manusia yang kadang terkuasai dunia"
"Tapi kepada manusia-lah Allah perintahkan semua bersujud, ia adalah makhluk yang Allah karuniai akal dan hawa nafsu yang semestinya dipergunakan untuk selalu tunduk pada-Nya."
"Setelah semua pengkhianatan yang dilakukan manusia, masih adakah keistimewaan yang kan ia peroleh dari-Nya".
"Percayalah. Bahkan untuk segenap cinta yang dilalaikan makhluk-Nya, manusia selalu dinanti untuk kembali pada-Nya. Tiada kekasih di dunia yang begitu setia dalam cinta, lalu mengapa ingin melepas semua kesempatan untuk bermesra dengan-Nya dalam bentuk terbaik yang ia karuniakan, yaitu dengan menjadikan kita manusia, yang merasakan pengapnya udara dunia untuk selalu kembali bersandar pada-Nya?
Percayalah.. seperti apapun kita hari ini, kita selalu dinanti untuk kembali pada-Nya."
Thursday, 2 December 2004
ada oleh-oleh hari ini
dari cover sebuah buku -lagi2 lupa judulnya apa, klo ga salah tentang pemikiran aburzal bakrie-, ga mau ngomentarin isi bukunya -karena emang bukunya juga ga dibaca, hanya diliat-liat doang :)-
tapi yang menarik kalimat di halaman sampul:
"jangan biarkan dirimu berada di kegelapan. disana, bayangan pun akan meninggalkanmu"
begitu kira-kira kalimatnya. sederhana tapi bermakna.
tapi yang menarik kalimat di halaman sampul:
"jangan biarkan dirimu berada di kegelapan. disana, bayangan pun akan meninggalkanmu"
begitu kira-kira kalimatnya. sederhana tapi bermakna.
Wednesday, 1 December 2004
laut
Kubiarkan saja kakiku menyentuh dinginnya air. Laut di tengah malam seperti ini, mengerikan, tapi aku suka. Begitu damai. Lampu-lampu kapal dari kejauhan terlihat seperti kunang-kunang dan langit seperti tak berbatas. Lalu suara ombak yang menggulung. Lengkaplah senandung laut malam ini. Tenang sekali. Semua memainkan peran dengan begitu ceria. Rutinitas yang sama tiap harinya.
Lalu aku ingin mengusiknya. Tak rela ketenangan hanya miliknya.
Lalu aku ingin mengusiknya. Tak rela ketenangan hanya miliknya.
Subscribe to:
Posts (Atom)
Iri
Ingin rasanya berada bersisian, berdampingan dengan teman-teman di lapangan yang sedang berjibaku tak kenal henti. Mereka diberi kesempa...