Wednesday 19 January 2005

dalam hujan

Kabut mulai menghampiri wajahnya. Satu persatu bulir mulai menghangat di pipinya. Ia kini sendiri, walau sebenarnya sepi telah menjadi bagian dirinya.

***

Re, langit mulai mendung. Yuk ke rumah sakit.
Iya Na, hayu..

Mereka berdua bergegas membawa payung berukuran besar, dengan warna yang mencolok.
Moga hujan cukup deras hari ini, harap Re dalam hati.
Benar, baru sepuluh meter dari tempat mereka menghabiskan siangnya, tiba-tiba byuurr, hujan turun dengan derasnya. Re memandang Na. Na tersenyum nakal. Lalu mereka berdua berlari sekencang-kencangnya.
Pasti aku duluan yang dapat tumpangan.
Ngga, aku yang bakal duluan dapat

Teriak keduanya, hendak mengalahkan riuh hujan.

Re tiba duluan di rumah sakit. Lalu..
Bu, payungnya bu, hujannya deras bu.
Tak berhasil dengan seorang ibu muda yang mengapit dua anaknya, ia beralih ke seorang pria dewasa yang sedang menahan dingin dari balik jaketnya.
Pak, diantar pak, payungnya pak..
Merasa gagal juga, kini Re berusaha merayu Pak tua yang sedang asik memandangi hujan. Tiba-tiba ekor matanya menangkap payung milik Na, ada seorang ibu dengan tas yang cukup besar sedang menelusuri jalan rumah sakit. Di belakangnya Na mengiringi. Saat mata mereka beradu, Na tersenyum girang, merasa menang dari Re. Senyum yang samar, karena bentuknya mulai beradu dengan dingin.

Re kini kedinginan. Kakinya tak beralas. Bajunya mulai basah kuyup. Tak lama kemudian seorang wanita berkaca minus mendekatinya.
Dek, antar sampai sana ya.
Mata Re berbinar, tatapannya menyapu teras rumah sakit, tapi Na belum kembali. Ia ingin memamerkan betapa dirinya merasakan sedikit kehangatan saat sang wanita mengajaknya bersama berjalan di bawah payung, tak seperti kebanyakan pemakai jasanya yang membiarkan ia menggigil kedinginan karena tertinggal di belakang mereka. Sayang Na tak melihatnya. Padahal Re tahu, pasti Na akan sangat iri. Lalu Re bisa tersenyum puas karena menang kali ini.

Sekembalinya mengantar wanita tadi, Re lantas mengitari teras, mencari Na. tapi masih belum tampak batang hidungnya. Tak lama di sudut jalan menyembul payung biru, payung andalan Na. Senyum mulai menghiasi wajah Re.
Mendapati Re di teras rumah sakit, Na pun tak kalah girangnya. Ia mulai mempercepat langkahnya. Tak sabar ia pun berlari. Tapi jalanan licin membuatnya terjatuh. Na bergegas bangkit, tapi terlambat. Dari arah yang berlawanan muncul mobil sedan dengan kecepatan tinggi. Lalu.. BLAM..

***

Air mata Re tak bisa dibedakan dengan hujan. Na kini terkulai. Re hanya bisa berbisik lemah..
Na, ibu tadi memberi uang lebih, tak seperti biasanya. Jadi hari ini kita bisa makan enak di warung mpok Mini. Bangun Na. Kamu baru dapat satu tumpangan hari ini. Hujan masih turun dengan derasnya. Bangun Na. Lalu kita berlomba lagi.

2 comments:

gitafh said...

desska: he eh,kemarin abis nungguin ujan reda di rumah sakit, trus ngeliat anak2 itu.. jadi pengen nulis..

mba: krm ke penerbit? hehe, kapan ya?? :p

Anonymous said...

mungkin cerpen ini jawaban dari postingan "menitip mimpi"

cerpennya bagus mbak

Iri

Ingin rasanya berada bersisian, berdampingan dengan teman-teman di lapangan yang sedang berjibaku tak kenal henti. Mereka diberi kesempa...