Tuesday, 30 November 2004

transfer pemahaman

Ada yang salah. Selalu saja ada yang menganggu disini. Dan terjawab sudah ketika baca bukunya pak Anis Matta: “Dualisme kepribadian muncul ketika pemahaman belum menjadi karakter seseorang” –aduh lupa kalimat aslinya bgimana, kira2 bgitu, bukunya ga dibawa-.

#: Betul bu, ketika pemahaman dah menjadi karakter, maka yang hadir adalah keseimbangan.
@: Ya, ya, selama ini memang belum begitu. Saatnya untuk mentransfernya menjadi karakter diri.
#: Btw emang pemahaman ibu dah sampai mana sekarang?
@: (Tersipu-sipu) iya, pemahamannya juga harus dipahamkan lagi baru proses transfer menjadi karakternya lancar ya?
#: Sipp, namanya juga proses bu :) saling tolong menolong dalam menetapi kesabaran ya bu :)
@: :)

kangen

Kangen. Tiba-tiba kangen dengan semua hal berbau jerman. Dah lama banget ga les jerman, awalnya karena sibuk, tahu-tahu jadi agak-agak males, trus lupa deh kalau seharusnya les L. Semua kosakata jerman jadi lupa. Apalagi Grammatik-nya yang super ribet. Hayu-hayu mumpung masih ada waktu luang, buka themen neu ma kamusnya lagi ok!! *sambil tepuk-tepuk punggung sendiri :p*

Ich bin gita. Ich bin 21 Jahre alt…..lupa lagi kesananya apa aja

tanya

Benar
Semua tergesa tanpa pernah menunggu
Bahkan sang waktu yang berjanji setia
Kemana ia pergi?
Atau akukah yang terperangkap dalam autisme pergerakan?

Monday, 29 November 2004

fluktuasi kehidupan

Istilah usang yang masih terus berlaku sampai saat ini, bahwa hidup itu bagaikan roda. Ia kan berputar tiap saatnya. Lalu menghadirkan banyak peristiwa. Perubahan. Sesuatu yang berbeda. Tidak biasa. Tidak pernah diduga. Dan tidak dipersiapkan sebelumnya. Nah itu mungkin yang salah, "tidak dipersiapkan sebelumnya".

Tidak enak, tidak enak menghadapi sesuatu tanpa pernah men-setting-nya terlebih dahulu. Jadi yang harus dipersiapkan adalah persiapan menghadapi putaran roda, tidak lantas mengandai-andai. Begitu seharusnya.

ingin ke laut

ingin melihat laut. berdiri di atas pasirnya.

Sunday, 28 November 2004

rintik

Saat rintik seperti ini, ingin sekali menengadahkan kepala dan membiarkan puluhan tetes air menghujani wajah. Berharap setelah itu luntur semua ketidakberdayaan dan esok kan tumbuh subur penghambaan.

Saturday, 27 November 2004

ingin bersama

untuk semua yang sedang bergegas malam ini
mengepak perbekalan
berbagi sentuhan
:“kita kan bersama esok pagi”
tolong ceritakan nanti
bagaimana ruh terbang dalam zikruLlah
dalam cinta mulia
saat bumi lebur dalam satu nafas: meninggikan kalimah-Nya

Thursday, 25 November 2004

motret memotret

sejak kapan ya minat ma fotografi? sejak jatuh cinta ma dunia jurnalistik kayaknya :)
jadi pas ditawarin mau ganti hp baru, lebih memilih beli kamera
tapi kamera lebih banyak teronggok di kamar tanpa disentuh, sampai akhirnya anak2 pers niat bikin pameran foto kecil2an, setelah itu mulai hunting2 foto, standar banget, gapapalah, namanya juga proses :)

langit sukajadi

ini jepretan pertama yang agak lumayan, dan dipajang di pameran foto kita, alhamdulillah ada yang minat dan mesen fotonya, tapi ga tau tuh panitia, dah sampai ke pemesan blm ya fotonya?? btw sebenarnya motret langit ini karena dah rada rada hopeless mau motret apalagi, akhirnya naik ke atas rumah, dan klik, dijepretlah senja sore itu -btw ini pake film hitam putih-

hasil foto berikutnya pas hunting ke-2, ada dua yang terkategori cukup :)

mobil laswi

yang satu ini, pas lagi nunggu lampu merah di jalan laswi, eh pas liat spion, kayaknya cakep juga kalo di potret

bunga gasibu

nah yang ini, pas lagi survey tempat di gasibu, lagi celingak celinguk nyari tempat, ga taunya pas nengok ke atas, subhanallah bunganya cantik bgt, sayang sudutnya ga gitu bagus, jadi kecantikannya ga terlalu terlihat

--> baru bisa pasang foto di blog, jadi semangat d :)

Wednesday, 24 November 2004

repotnya jadi ibu

Malam sudah merayap larut, hampir tengah malam. Semua penghuni rumah tampaknya sudah lelap melepas lelah. Pun seorang ibu muda. Wajah letihnya seakan bercerita bagaimana waktu yang dilalui hari ini. Di sampingnya ada seorang bayi mungil yang juga sedang tertidur pulas.
Kriet.. tiba-tiba pintu kamarnya terbuka.
“Bunda dah tidur? Temenin kakak ke kamar mandi ya nda”. Anak sulungnya perlahan masuk dan membangunkannya.
Sang ibu menoleh sekilas pada suaminya. “Kasihan Ayah, pasti letih sekali”, batinnya. “Iya sayang, bunda temenin”.
“Bunda, tapi nanti nda temenin kakak juga ya sampai kakak tidur lagi, takut nda”. Hari ini adalah hari pertama si sulung mendapatkan kamar barunya.
“Iya sayang, tapi nanti kakak harus berani tidur sendiri ya”, ujar sang ibu sambil tersenyum.

Waktu terus bergulir, tanpa pernah menunggu.
Tiga belas tahun kemudian.

Di ruang tamu yang tak banyak berubah, seorang ibu sedang duduk terkantuk-kantuk. Hari sudah semakin gelap. Anak bungsu dan suaminya pun telah terlelap. Tak lama berselang, bel berbunyi. Sang ibu tergopoh-gopoh membukakan pintu, setelah sebelumnya mengintip lewat jendela.
“Loh, belum tidur nda?”, tanya anak sulungnya yang baru saja pulang.
“Belum sayang, tadi masih ada pesanan yang harus bunda selesaikan. Kok baru pulang jam segini kak?”, ujar sang bunda masih diwarnai kecemasan.
“Iya, maaf ya nda. Tadi ikutan bantu-bantu panitia di sekolahan. Pulsa kakak tadi habis nda, jadi ga sempat ngabarin ke rumah”, jelas anaknya.
“Ga apa-apa sayang, tapi nanti kalau pulang larut, kasih kabar ya. Bunda kan cemas. Sekarang ganti baju dan makan dulu. Sudah bunda siapkan di meja makan.”
“Ok bunda”. Dikecupnya pipi wanita setengah baya itu.

Wajah letih sang ibu masih melekat, tapi ada kehangatan disana. Hangat oleh cinta dan keikhlasan. Walau ada penat yang melelahkan, tetap tegar, tetap berpijak dan tak ingin beranjak, demi keluarganya, demi cinta-Nya.

--> ditulis setelah merasakan ga enaknya tidur malam yang terganggu. Bgmana dulu ya ibu-ibu kita? Tidur malam tak nyenyak, tapi pagi hari harus berletih lagi. Ternyata ga hanya saat kita kecil, tapi dah besar2 bgini juga kita masih bisa membuat tidur ibu kita jadi ga nyenyak. Itu baru masalah tidur, belum kerepotan-kerepotan lain yang kita “hadiahi” padanya. Memang benar menjadi ibu bukan pekerjaan mudah, tapi pekerjaan mulia.
Semoga Allah membalas semua keikhlasan beliau dengan sebaik-baik balasan. Amin.

Tuesday, 23 November 2004

menikah = cita-cita?

Menikah adalah impian setiap orang –mungkin-. Indahnya pernikahan yang selalu terbayangkan, hingga lupa ada banyak hiasan selain itu di dalamnya. Menikah adalah menghabiskan sisa umur dengan seseorang. Yang bersamanya ada bangunan kokoh yang tiap harinya dijaga dalam satu nafas: keikhlasan. Selalu tersenyum saat melihat pasangan muda yang menggendong anaknya, entah senyum bahagia atau senyum cita-cita hehe.
Jadi menikah itu cita-cita? Mmm –sampai disini ga bisa ngelanjutin nulis lagi :p-

--> ditulis setelah mampir ke blognya mba rieska :) salam kenal mba

Monday, 22 November 2004

h+9

Lagi ingin obrol mba, bentar aja malam ini. Butuh teman untuk berbagi. Rasanya hari ini aku ingin menangis mba. Di luar lagi hujan, jadi mungkin tangisku kan berbaur dengan suara hujan. Tidak ada yang tahu. Mungkin setelah menangis semua kan jadi lebih baik. Setidaknya jadi sedikit lega.

Akhir-akhir ini semua jadi terasa agak berat mba. Rasanya ada tumpukan beban di pundakku. Kalau seperti ini aku ingin terus menjadi anak-anak. Bisa berlarian sesukanya, kalau memecahkan gelas itupun tak jadi masalah. Masalah mungkin bagi sang ibu, tapi anak itu hanya menangis sebentar lalu kan berlari lagi. Aku juga ingin menangis sebentar lalu berlari lagi. Tak ingin pecahan-pecahan kaca itu membuatku takut untuk melangkah mba. Tapi sesudah kesulitan kan hadir kemudahan, itu janji-Nya kan mba? Karena kekuatan adalah kekuatan-Nya, kekuasaan adalah kekuasaan-Nya dan perlindungan adalah perlindungan-Nya.

Mba, aku jadi ingin membeli sofa terempuk di dunia dan bersandar hangat disana, memejamkan mata sejenak, lalu berlari lagi.

Sunday, 21 November 2004

h+8.. semoga bisa menjaganya

“Selamat pagi mentari”, ujarnya seraya menyibak tirai dan menghirup segar udara pagi. Angin yang berhembus menerpa dingin dirinya. Pagi selalu membuat lupa ada terik dan panas yang kan hadir sesudahnya. Perlahan dituruni tangga-tangga rumahnya dengan riang. “Ada bidadari surga di rumahku”, batinnya. Dibukanya pintu berwarna kuning itu, mengendap-endap dan kemudian di kecupnya pipi seorang wanita yang sedang tertidur pulas.
“Pagi bunda, bangun dong, udah pagi ni”.
Wanita itu membuka matanya perlahan kemudian tersenyum. “Pagi cinta, gimana tidurnya tadi malam?”.
“Nyenyak bunda”, sahutnya jenaka. “Tidur lagi bunda selepas sholat?”
“Iya cinta, niatnya hanya melepas lelah sebentar saja, tapi malah kebablasan”, ujar sang ibu yang tengah beranjak bangun.
“Capek banget kemarin ya bunda. Hari ini shaum ga bunda? Kalau ga shaum mau minum apa?”.
“Semangat banget cinta, tuh bangunin ayah dulu. Bunda dan ayah ga shaum hari ini.nanti tolong buatin teh ya sayang”.
“Ok deh bunda”, dikecupnya kembali pipi wanita kesayangannya itu sebelum ia melangkah ke dapur.

Pagi ini batinnya bersenandung.Senandung senang dan semangat. Senang dipertemukan dengan ayah bundanya dalam keadaan sehat dan bahagia. Senang bisa membuatkan sesuatu untuk keduanya, walau ia tahu seberapa banyak pun usahanya tak bisa membalas jasa mereka.
Harapannya, semoga ia selalu ingat bahwa kebaikan mereka begitu besar, tanpa mengingat teguran kasih yang terkadang terdengar bagai bentakan, amarah atau apapun yang dirinya bahasakan. Bukan mereka, ia-lah yang sering menorehkan luka bagi keduanya. Entah matanya, ucapannya, tingkah lakunya, kadang menyakitkan atau bahkan sering. Astagfirullah.
Semoga ia selalu ingat bahwa tiap kesempatan yang Allah hadirkan bersama keduanya adalah kesempatan untuk berbuat baik dan membalas budi keduanya. Ada ruang disana yang tiap detiknya adalah rajutan kasih yang dibuat bersama agar kelak ia, saudara-saudaranya dan kedua orang tuanya dipertemukan kembali dalam taman surga-Nya kelak. Semoga setiap kesempatan yang Allah beri, bisa ia isi sebaik mungkin.

Seraya mengaduk teh untuk keduanya, tangannya meraih telepon seluler yang terletak di meja dapur. Dibacanya ulang pesan yang masuk subuh tadi:

Ada berjuta hamasah dakwah untuk memperbaiki umat, ada beribu langkah yang tak pernah henti tuk membina umat. Namun seringkali ada banyak lupa dan lalai tuk menjaga keluarga kita, bidadari surga kita, ibu, ayah dan orang-orang tercinta.

Pagi ini indah sekali. Seindah semua yang Allah karuniai untuknya. Moga ia bisa menjaganya.

-->teteh makasih dah berbagi pagi ini. jazakillah khair :)

Saturday, 20 November 2004

h+7

Seperti turun dari gunung. Bengong. Bukan karena melihat gemerlap kota dan banyaknya polusi. Tapi lebih banyak bengong karena melihat perubahan diri sendiri. Dulu sepertinya ia tak begini. Cara berbicara, gerak-gerik, semua menjadi tak sama. Ada apa?
Entah. Sehari dua hari, masih dirindukannya suasana damai disana. Tapi seminggu, dua minggu kemudian ia berlomba, tak mau kalah, tak ingin ketinggalan. “Ini kemajuan jaman bung”, ujarnya. Tapi kala sendiri ia termenung kembali. Mengapa? mengapa ia ikuti semua yang membuatnya lupa. Ingin mendapat tempat di hati mereka? Ingin diingat oleh setiap orang? Atau ingin meninggalkan kesan yang mendalam hingga kemudian didapatkannya semua gemerlap ini? Kalau sudah seperti ini ia menyesal turun dari gunung. Lantas waktu dihabiskannya dalam diam.

Dulu, temannya berkata: “turunlah kesana, kelak kau kan tahu seperti apa dirimu”. Dan benar, ia jadi tahu seperti apa rupanya. Banyak sekali topeng yang ia kenakan di bawah sini. Berganti tiap harinya. Bermain dalam tiap peran yang ia lakoni.

Dan malam ini, ia terduduk dalam kepasrahan. Diingatnya semua. Tentang ia, dulu dan sekarang. Tentang semua perjalanan diri.

Yang ia tahu kini bahwa tiap detik adalah tahapan yang harus ia lalui dalam kesabaran. Ya kesabaran! Kesabaran menghadapi semua yang memikatnya dalam semu. Kesabaran mengingat kembali tujuan semula. Dan yang terpenting adalah kesabaran untuk melalui tangga-tangga perbaikan menuju muslim kaffah. Bukan hitungan detik yang kan mengubahnya menjadi hamba yang senantiasa ingat Tuhannya, tapi pernik kehidupan yang kan memolesnya indah. Esok mungkin kan ada kecewa dan sedih saat bercermin. Kecewa atas amalan diri dan amalan hati. Maka bersabarlah atas semuanya, bersabar atas dirinya sendiri. Dan kemudian bergeraklah dalam kesabaran.

Semoga yang hadir esok adalah buah kesabaran, cinta-Nya.

Di sepenggal akhir malamnya, ia tersenyum, bersyukur atas kesempatan turun gunung yang Allah beri, yang mengajarkannya atas satu makna kehidupan: kesabaran.

--> dan jadikanlah sholat dan sabar sebagai penolongmu

Thursday, 18 November 2004

aku, Reno dan Ais

Tanganku hanya dua. Yang setiap harinya kupakai untuk menghidupi mereka dan membuat diriku juga tetap “hidup”. Jemari ini rasanya kian hari kian kasar. Tak sehalus dulu saat bunda setiap hari menimangku.

Satu, dua, tiga.. Kuhitung perlahan jumlah karung yang berhasil aku pindahkan hari ini. Lumayanlah, menjelang idul fitri begini proyek kerjaanku setidaknya bertambah, walaupun sedikit. Namun saat kuhitung kembali lembaran uang di tanganku, jumlahnya tak seperti yang kuharapkan. Tampaknya tukang jagal itu berhasil memotong jatah kami terlebih dahulu. Kuhela napas perlahan seraya meninggalkan tempat ini. Aku berjalan ditemani rumitnya pikiranku. Reno minta sandal baru, sandal yang kemarin talinya putus saat ia harus berlarian mengejar bus. Ais sekarang semakin kurus, bukan karena kami hanya memiliki sedikit uang untuk makan tapi ia sendiri tidak suka makan. Dan aku, entahlah, aku tak ingin menjadi orang egois di saat seperti ini. Melihat senyum manis mereka saat menyambutku pulang membawa kantong plastik saja sudah sangat membahagiakanku.

***

Terik sekali. Sudah beberapa hari terakhir ini puasa sangat terasa. Udara Bandung semakin panas. Sesekali tergiur juga melihat segarnya minuman warna warni di taman kota. Kulirik sekilas jam yang terpajang di toko depan. Dua jam lagi berbuka. Aku harus bergegas. Reno dan Ais pasti menungguku di ujung Bandung ini, Cileunyi.
Ramai. Semua orang sedang mempersiapkan kemeriahan idul fitri. Mungkinkah mereka juga sibuk dengan ramadhan yang tinggal sehari ini? Setahuku Reno selalu bersedih jikalau mentari ramadhan kan berganti. “Mas, kita masih kan dipertemukan dengan ramadhan mendatang tidak ya?” Begitu selalu tanyanya tiap kali takbir berkumandang di akhir ramadhan. Reno juga yang selalu mengingatkanku untuk menahan lapar dan haus selama ramadhan ini, walau bagaimanapun beratnya pekerjaanku. “Mas, toh tidak ada orang yang meninggal karena berpuasa, malu mas wong anak SD aja shaum kok.”
Reno adikku, ia yang menyejukkan rumah kami –walau hanya sepetak ruang-. Sejak tidak sekolah lagi, harinya dihabiskan untuk berjualan dan berdiam diri di masjid. Ia berteman dengan mereka yang menundukkan pandangan dan berjenggot tipis, entah siapa mereka. Aku juga tidak mengenalnya, aku kan jarang dirumah. Tapi yang aku tahu Reno semakin alim sejak berteman dengan mereka, jadi aku biarkan saja.
Dan Reno kecilku kini semakin beranjak remaja. Tapi ia tak seperti kebanyakan anak ABG –yang bagaimanapun kondisi ekonominya- berlomba-lomba menyaingi idola mereka. Reno lebih senang mengasuh Ais yang sekarang seharusnya sudah duduk di kelas 2 SD.
Aku tersenyum. Reno dan Ais, merekalah yang membuatku selalu ingin bekerja.

Langit sudah semakin gelap. Kini di tanganku sudah ada sepasang sandal baru dan jepit lucu untuk Ais. Mungkin aku baru akan tiba satu setengah jam lagi di Cileunyi. Tapi aku percaya Reno, pasti ia telah mempersiapkan makanan ala kadarnya untuk ia dan Ais. Perlahan kutuju masjid di taman kota, saat air segar membasuh wajahku, teringat kembali pertanyaan Reno: “mas, kita masih kan dipertemukan dengan ramadhan mendatang tidak ya?”.
Tiba-tiba aku jadi kangen dengan mereka. Reno, Ais, mas sayang Reno dan Ais.
Uhh, ingin sekali segera terbang ke sana dan memeluk mereka erat.

***

Cileunyi, saat azan magrib berkumandang.
Ada lafaz doa dalam diamnya seorang anak:
“Rabb, pertemukan kami kembali dengan ramadhan mendatang. Rabb, Reno sayang mas Tio dan Ais karena Engkau. Dan Rabb satukan Reno, mas Tio dan Ais dalam surga-Mu kelak ya Rabb. Amin.”

Tuesday, 16 November 2004

h+3..

Ternyata baru sebatas niat dan kesadaran. Tergoyah sedikit saja maka niat dan kesadaran itu menguap. Begitu cepatnya, hingga yang datang kemudian hanya penyesalan.

Kadang hadir tanya: jikalau ini tarbiyah, maka kenapa Allah memilihkan cara ini? Kenapa harus menggores luka? Kenapa harus ada tangis? Tak bisakah kemasan lain yang datang memberi arti?

Sungguh tiada niatan tuk memberi duka.

Astagfirullah.
Yakinkan sekali lagi, yakinkan tolong, bahwa Allah menyayangimu dan Allah tahu bagaimana menempamu dalam tiap episode yang Ia tentukan. Dan yakinkan bahwa tiap kepingan adalah kesempatan tuk bercermin dan mengukur diri.

Astagfirullah.
Semua indah hanya karena Allah bukan? jadi cukuplah Allah, Rasul dan orang beriman yang menjadi saksi atas semua niat dan semua usaha.
Dan pintalah pada-Nya agar yang terpendar adalah kebaikan.

Mohon ampun pada-Nya dan mintakan maaf atas semua khilaf yang ada.
Sekali lagi, mintakan maaf atas semua khilaf.
Moga esok hadir naungan cinta yang merendam semuanya.

Thursday, 11 November 2004

..

Bu, kesederhanaan itu seperti apa?
Diakah yang memilih menolak fasilitas negara yang berlebihan?

Bu, bagaimana aku meneladaninya?
Apa perlu kita batalkan rencana bepergian untuk berbelanja esok?

Subhanallah bu
Selalu ada tempat untuk berhenti sejenak
Menengok mereka dan kembali melihat diri ini

Semoga Allah selalu bersama mereka
Yang mendamba janji-Nya kelak

Sungguh bu, ini bukan di negeri dongeng

--> ditulis setelah mampir ke blognya Uni dan baca http://sabili.co.id/telus09thXII04.htm

Wednesday, 10 November 2004

bukan barisan malaikat

Jamaah ini bukanlah barisan malaikat
Yang didalamnya tak kau temui kekhilafan
Ia adalah barisan yang Allah adalah tujuannya
Betapapun tidak sempurnanya mereka

Sunday, 7 November 2004

karena begitu istimewa

Bukan seorang biasa
Yang melantunkan indah makna yang terucap dalam diam
Dalam tiap lukisan warna

Bukan seorang biasa
Yang mengajari betapa memikatnya irama perjalanan
Yang hadir untuk direnungi
Dan ditarikan dalam keteguhan gerak

Bukan seorang biasa
Karena mereka begitu istimewa

Dan aku disini
Mengamatinya
Menerjemahkannya ke ruang-ruang waktuku

Tuesday, 2 November 2004

sebait rindu

Ada yang menyentuh damai
Saat tiupan melayangkan pesan
Untukmu disana
Yang tersenyum
Meski teman tak sama bermain ayun.

Ada yang menyejukkan jiwa
Saat kupinta awan bercerita
Aku memimpikan mereka yang mengunjungi langit

Dan ada yang tertinggal disini
Sebait rindu
Kapankah angin kan menerbangkanku bersamanya

Iri

Ingin rasanya berada bersisian, berdampingan dengan teman-teman di lapangan yang sedang berjibaku tak kenal henti. Mereka diberi kesempa...