"Ini tragedi", ujar ibu sembari memeluk tubuhku erat.
"Entah kemana lenyapnya harapan, impian dan kebersamaan kita? Apa yang tuhan ingin ajarkan? Bukankah kita berusaha mengikuti segalanya dengan patuh. Mengapa kita?", Ibu tak kuasa meredam segalanya. Air matanya tumpah mengikuti gejolak kesedihannya.
***
Aku tak mengerti apa yang terjadi, yang aku tahu ayah telat pulang. Biasanya sebelum hari ulang tahunku ayah selalu saja menyempatkan diri meneleponku dari kota yang sedang ia kunjungi. Dulu ayah pernah bilang ia sedang di pantai losari, dan menanyakan padaku ibu menyiapkan apa untuk ulang tahunku esok. Lain waktu, ayah sedang membelikan otak-otak asli buatan palembang, kata ayah ibu selalu ngidam ini, jadi meski esok aku yang berulang tahun, ayah minta ijin padaku untuk membelikan hadiah untuk ibu juga.
Dan sekarang ulang tahunku sudah berlalu tiga hari yang lalu. Tiap kali telepon berdering aku berharap itu ayah. Tapi tak satupun suara yang ada di seberang sana yang menyapaku ceria dan bercerita padaku, meski dering telepon dirumahku selalu bergema memenuhi ruangan akhir-akhir ini. Hari ulang tahunku pun kelabu. Ibu enggan merayakannya. Padahal kini usiaku genap 6 tahun. Kata ibu, kita harus banyak berdoa, untuk ayah, juga untuk diriku, karena kini mungkin aku akan jadi laki-laki satu-satunya di keluarga ini, pesan ibu dengan mata yang pilu.
Lagi-lagi aku tak mengerti, aku tak memahami maksud ibu. Yang terekam di kepalaku adalah ulang tahun kelabu, tanpa ayah, tanpa keceriaan, tanpa kejutan hadiah. Dan aku ingin bertemu ayah, bermain bersama ayah, mengunjungi bandara atau mencoba topi pilotnya.
Meski berusaha berhati-hati menanyakan kedatangan ayah pada ibu, tetap saja tanggapan ibu tak biasa. Dulu ibu selalu berkata: "sabar sayang, segera ayahmu akan datang", tiap kali kutanya kapan ayah akan pulang. Kini ibu lebih banyak diam. Awalnya aku tak peduli tapi lama kelamaan aku pikir ibu sekarang tak menyukai pertanyaanku. Jadi kini aku selalu berhati-hati menanyakan ayah pada ibu.
Malam ini aku sangat rindu ayah. Kuhampiri ibu yang masih bersujud di atas sajadah. Ibu sedang menangis, bahunya terguncang lembut. Aku menunggu ibu selesai solat dan perlahan aku bertanya pada ibu tentang ayahku. Ibu terdiam, hanya terdiam. Lalu ibu berkata: ".. moga Allah jamu ayah disurga-Nya, doakan ayah ya nak". Aku lihat ibu tersenyum meski rapuh. Ada kepasrahan disana. Tapi aku tak begitu mengerti.
Ku kecup pipi ibu dengan lembut, dan aku berbisik perlahan: "bu, aku juga ingin ke surga menemui ayah".
1 comment:
hi, cerpennya bagus bagus, kok ngga dikirimkan ke media massa.
Post a Comment