Thursday 11 January 2007

cinta sampai mati

Ia pandangi lagi cincin yang melingkar manis di jemarinya. Entah mengapa pernikahan seperti sesuatu yang menakutkan baginya. Bermacam skenario mulai membayangi. Ia takut hatinya sakit, teramat tersakiti, hingga pernikahan menjadi sesuatu yang mengerikan.
Calonnya itu lelaki yang baik, santun, dan sangat pintar. Ia tertarik pada lelaki itu saat perbincangan dengannya pertama kali. Ia telah mengenalnya, jauh-jauh hari sebelumnya, tapi pada saat pertemuan yang melibatkan diskusi yang cukup serius, hatinya terpikat pada laki-laki bermata elang itu.
Tidak ada yang salah dengannya. Laki-laki itu nyaris sempurna. Wajah tampan, karier sukses, keluarga yang harmonis. Hampir sempurna. Dan kesempurnaan itu bagai karunia untuknya. Tak boleh tangan-tangan wanita lain menyentuhnya, tak boleh suara-suara centil menyapanya. Ia hanya ingin lelaki itu untuknya, hanya untuknya.
Dan kini kegundahannya bertambah. Ia semakin mencintai lelaki itu. Menjadikannya candu. Membuatnya berteman sepi. Ia tak pernah ingin berbagi lelaki itu dengan wanita lain –selain ibu dan saudara kandungnya.
Ia semakin larut dalam kekhawatiran saat pernikahannya menjelang. Ia takut tersakiti. Ia tak ingin cintanya yang teramat besar kandas di lembaga sosial yang bernama pernikahan. Ia tersudut oleh ketakutannya sendiri. Ia tak ingin lelaki itu akan berpaling, meninggalkannya, melupakannya, seperti lelaki-lelaki purna yang tidak pernah tahu diri itu. Ia takut lelaki itu mengkhianati cintanya dan pergi dengan wanita lain, seperti penguasa-penguasa yang menikahi wanita yang lebih muda saat kesuksesan melanda mereka.
Ia takut, takut pada luka yang perih, teramat perih. Karena jika luka itu ada, ia akan ada dihatinya, ruang rapuh dalam dirinya. Dan kekhawatirannya menjadi-jadi, bukan karena ketidakpercayaannya pada lelaki itu, tapi pada cintanya yang begitu besar. Mengapa cinta, mengapa rasa sedemikian menyiksa?

Ia pandangi lagi cincin yang melingkar di jemarinya: Tuhan, tolong aku agar bisa kumencintainya dengan sederhana, dengan balutan ikhlas, dengan tenang, karena ia milik-Mu, karena Kau yang menjaganya untukku, lirih pintanya.

***

Pernah suatu ketika ia berusaha untuk mengurangi cintanya pada lelaki itu, namun sungguh hatinya tak bisa untuk tak jujur. Ia tahu, ia tak kuasa atas segala sesuatu. Ia tak punya andil membolak-balikkan hati, hatinya dan hati lelaki itu. Ia hanya ingin mencintai lelaki itu dengan sederhana, tanpa kecewa, tanpa sepi, tanpa tersiksa, cinta sampai mati.

2 comments:

Anonymous said...

ceritanya nyentuh banget...
apa karena perasaan saya yang hampir mirip dengan cerita tersebut sehingga saya tersentuh...
who know???

dhiannita said...

kondisinya sama dengan saya... hanya saja sekarang saya masih dalam penantian... menanti keputusan lebih tepatnya....
mbak... boleh nggak saya ambil sebagian kata-katanya???
saya appreciate banget !!!

Iri

Ingin rasanya berada bersisian, berdampingan dengan teman-teman di lapangan yang sedang berjibaku tak kenal henti. Mereka diberi kesempa...