Dahulu kala di negeri khatuliswa terdapatlah sebuah pedesaan yang asri. Indah nian. Setiap hari para warganya saling menyapa diantara hangat mentari dan kicau burung. Udara pagi selalu memberi semangat pada warga yang bersiap pergi ke sawah, pada para wanita yang mencuci di sungai, dan anak kecil yang berlarian di jalan-jalan setapak. Kepala desa tak perlu bersusah payah memikirkan kesejahteraan desanya, rejeki mengalir tiap harinya, tak henti-henti. Mulai dari panen yang selalu sukses tiap musimnya hingga para pemuda desa yang berkesempatan menempuh pendidikan di kota.
Hari berganti, tahun berlalu. Penduduk desa masih larut dalam kesederhanaan yang membalut. Kepala desa berencana membuat festival untuk mensyukuri nikmat yang begitu banyak bagi warga desanya. Persiapan pun digelar, seluruh desa merencanakan kemeriahan yang luar biasa. Aneka hiasan beragam warna tergantung di sudut-sudut desa, kendaraan hias sedang di desain oleh anak-anak, perkumpulan wanita memasak dalam porsi yang banyak. Festival perayaan itu akan dilaksanakan seminggu kemudian.
Kini tibalah saatnya, kepala desa memberikan sambutannya: “Sudah sepatutnya kita bersyukur, desa kita selalu dilimpahi oleh nikmat dari Allah. Anak cucu kita yang sehat, alam yang bersahabat. Hari ini kita berkumpul tidak untuk menghabiskan kenikmatan itu dalam kegembiraan yang berlebihan. Hari ini supaya kita mengingat nikmat yang diberi dan bersyukur karenanya. Semoga Allah selalu memberikan keridhaannya pada kita”. Warga desa mendengarkan dengan seksama, lalu alunan doa mulai terdengar dipimpin oleh kepala desa. Dan wargapun bersuka cita.
Kemakmuran desa tidak hanya diketahui oleh penduduknya saja. Masyarakat kota pun mulai mencium kesejahteraan ini. Penghasilan penduduk desa yang biasa saja namun hidup berkecukupan mulai mendatangkan rasa ingin tahu masyarakat kota. Forum-forum kemudian digelar oleh pengusaha-pengusaha tamak yang melihat suatu potensi kekayaan disana. Diskusi-diskusi mengenai desa itu menjadi topik sehari-hari, baik saat rapat atau break makan siang. Hingga satu keputusan dicapai: target ditetapkan dan tim bergerak.
Kepala desa menyambut baik rombongan yang berkunjung ke desanya, bapak-bapak berdasi dengan pakaian yang cling. Keramahan penduduk desa tak sedikitpun menyimpan kecurigaan. Mereka menjawab dengan lugas bagaimana hidup mereka di topang selama ini, bagaimana alam memanjakan mereka. Dengan hati riang anak-anak kecil menunjukkan tempat-tempat kerja ayah mereka, dengan malu-malu para wanita menyuguhkan makanan. Sungguh sambutan yang hangat.
***
Perdebatan kini tengah terjadi diantara para pengusaha setelah melihat kondisi desa yang indah. Ada yang berniat menjadikannya tempat wisata dengan mengimingi pekerjaan bagi penduduk desa. Ada yang menginginkan mendirikan perusahan energi dengan mengeruk perut bumi tepat di wilayah desa, dan beragam keinginan lainnya. Hari demi hari mereka menggelar rapat dengan hitungan untung rugi yang selalu mengemuka. Akhirnya diambil satu kesepakatan, akan didirikan perusahaan energi dengan iming-iming suplay listrik bagi desa. Keesokan harinya mereka bergegas dengan sejumlah perencanaan yang tertuang dalam lembaran-lembaran kertas.
Kepala desa mengamati rencana bangun perusahaan yang akan ditempatkan di ujung desa. Ia mempelajari tiap detail proposal itu. Ia juga menimbang mengenai listrik yang akan segera mencerahkan malam hari masyarakat desa. "Maaf bapak-bapak sekalian, yang bapak-bapak ajukan adalah menyangkut seluruh kepentingan warga desa. Saya minta waktu untuk memusyawarahkan segala sesuatunya dengan warga”, kepala desa menutup pertemuan mereka dengan bijak.
Seluruh warga desa membicarakan kedatangan kedua rombongan dari kota itu. Mereka tak sabar untuk segera berkumpul di balai desa nanti malam untuk mendengarkan penjelasan sang tetua, kepala desa mereka.
Riuh rendah suara warga memenuhi seluruh ruang balai desa setelah mendengar penjelasan sang tetua. Warna muka mereka terlihat sangat antusias, anak-anak kecil yang ikut dengan orang tuanya tampak senang sekali mendengar bahwa malam mereka akan segera terang. Para wanita bergumam tak perlu bersusah payah menyalakan perapian di pagi hari. Singkat kata, warga desa menyambut baik rencana pengembangan desa mereka.
Hingga 10 bulan lamanya pendirian perusahaan itu menyita perhatian warga desa. Aktivitas pagi mereka sekarang bertambah dengan obrolan mengenai lapangan kerja dan listrik desa. Pengguntingan pita peresmian perusahaan dihadiri oleh seluruh warga dengan hati yang suka cita.
Satu bulan setelah perusahaan itu beroperasi, warga kini sudah dapat menikmati terangnya gelap malam. Anak-anak kecil tak takut untuk keluar rumah lagi, para wanita dapat mengerjakan jahitan hingga larut malam. Kesejahteraan warga bertambah, kepala desa pun senang.
Perusahaan itu beroperasi siang dan malam, menyedot jumlah tenaga kerja yang besar. Para pria kini tak lagi menghabiskan waktu di ladang. Puluhan hektar sawah mereka dijual untuk dijadikan kompleks perumahan pegawai perusahaan dengan jabatan yang lebih tinggi. Lapangan golf direncanakan untuk dibangun, mini market telah bertengger dalam kantor perusahaan. Wajah desa kini berubah. Anak-anak kecil mulai bermain pistol-pistolan dan pesawat terbang. Para wanita kini bergincu tebal. Dan kepala desa tak lagi mengkoleksi batik.
Wajah desa kini telah berubah, tapi alam masih tetap setia memanjakannya meski kesederhanaan tak lagi melekat disana, meski ketamakan mulai muncul di garis-garis wajah mereka.
Bumi dikeruk habis-habisan hingga sekarat. Penduduk desa telah lupa.
***
Tawa centil para wanita dan bujuk rayu pria di keremangan desa tiba-tiba terhenti saat sebuah ledakan muncul dari dalam kantor perusahaan. Para wanita bersembunyi dan para pria yang merasa menjadi superhero mendatangi sumber ledakan, tiba-tiba muncul ledakan kedua dan merekapun berjatuhan.
Peristiwa tadi malam menjadi gunjingan pagi di desa. Kepala desa mewakili warganya meminta kejelasan dari pihak perusahaan. Namun kepiawaian dan kelihaian mengolah kata membuat para warga memaklumi kejadian itu dan kemudian kembali ke rumah masing-masing tanpa kekhawatiran yang bergelayut. Namun tidak demikian halnya yang terjadi dalam kantor perusahaan, para pekerja panik, ledakan tadi malam rupa-rupanya telah membuat kebocoran pipa dan menyebabkan lumpur panas yang entah dari mana asalnya menyembur keluar. Namun mereka diminta tutup mulut jika tak ingin dipecat.
Satu bulan berlalu dari rencana penargetan penyelesaian dan penanggulangan masalah semburan lumpur. Namun tidak ada hasil yang terlihat. Semburan lumpur terlampau banyak hingga menggenangi sawah-sawah warga yang tersisa. Dan panen musim ini gagal. Puluhan kepala keluarga mengalami kerugian yang sangat besar. Sedangkan penduduk desa lainnya harus membeli beras dengan harga yang sangat mahal dari desa tetangga mereka. Para pekerja ditangguhkan gajinya karena dana besar tersedot untuk mengatasi semburan lumpur. Listrik kini mulai turun naik, hidup sesekali dan mati berulang-ulang kali. Paceklik mendatangi desa.
Dua bulan berlalu, tetap tak ada perubahan. Semburan lumpur meluas dan mulai menggenangi lantai-lantai rumah warga. Pihak perusahaan sibuk menggelar rapat-rapat darurat. Warga pun merugi.
Lima bulan berlalu dan genangan lumpur masih tetap tinggi dan terus bertambah tinggi. Kini bukan hanya lumpur yang menjadi masalah, kelaparan dan penyakit mulai bermunculan. Kepala desa kemudian menyarankan agar warganya mengungsi untuk sementara waktu hingga masalah ini dapat teratasi. Beberapa penduduk terlihat mulai sibuk berbenah, beberapa diantaranya masih bertahan untuk tetap tinggal di tanah kelahirannya.
***
Kali ini kepala desa yang dulunya bijak itu salah perhitungan. Masalah ini tak kunjung selesai. Balai desa yang dulu merupakan bangunan tertinggi hanya tinggal terlihat atapnya saja karena kini tergenang lumpur. Matahari yang hangat sekarang tak bisa lagi menemukan rimbun pepohonan di pinggir kali. Kicau burung tak lagi jadi harmoni pagi hari. Penduduk desa tak lagi bisa menikmati alamnya, mereka kini hanya bisa memandang sedih pada tanah kelahirannya. Desa yang indah itu kini jadi kubangan lumpur. Desa itu kini hilang. Bumi yang sedang sekarat yang menelannya.
No comments:
Post a Comment