rasa-rasanya rumah adalah tempat ternyaman. damai, tenang. jika ada yang datang akan mengetuk pintu terlebih dahulu. jika ada yang meminjam akan meminta ijin terlebih dahulu.
home sweet home..
Tuesday, 16 January 2007
Sunday, 14 January 2007
bersama ayah ke surga
"Ini tragedi", ujar ibu sembari memeluk tubuhku erat.
"Entah kemana lenyapnya harapan, impian dan kebersamaan kita? Apa yang tuhan ingin ajarkan? Bukankah kita berusaha mengikuti segalanya dengan patuh. Mengapa kita?", Ibu tak kuasa meredam segalanya. Air matanya tumpah mengikuti gejolak kesedihannya.
***
Aku tak mengerti apa yang terjadi, yang aku tahu ayah telat pulang. Biasanya sebelum hari ulang tahunku ayah selalu saja menyempatkan diri meneleponku dari kota yang sedang ia kunjungi. Dulu ayah pernah bilang ia sedang di pantai losari, dan menanyakan padaku ibu menyiapkan apa untuk ulang tahunku esok. Lain waktu, ayah sedang membelikan otak-otak asli buatan palembang, kata ayah ibu selalu ngidam ini, jadi meski esok aku yang berulang tahun, ayah minta ijin padaku untuk membelikan hadiah untuk ibu juga.
Dan sekarang ulang tahunku sudah berlalu tiga hari yang lalu. Tiap kali telepon berdering aku berharap itu ayah. Tapi tak satupun suara yang ada di seberang sana yang menyapaku ceria dan bercerita padaku, meski dering telepon dirumahku selalu bergema memenuhi ruangan akhir-akhir ini. Hari ulang tahunku pun kelabu. Ibu enggan merayakannya. Padahal kini usiaku genap 6 tahun. Kata ibu, kita harus banyak berdoa, untuk ayah, juga untuk diriku, karena kini mungkin aku akan jadi laki-laki satu-satunya di keluarga ini, pesan ibu dengan mata yang pilu.
Lagi-lagi aku tak mengerti, aku tak memahami maksud ibu. Yang terekam di kepalaku adalah ulang tahun kelabu, tanpa ayah, tanpa keceriaan, tanpa kejutan hadiah. Dan aku ingin bertemu ayah, bermain bersama ayah, mengunjungi bandara atau mencoba topi pilotnya.
Meski berusaha berhati-hati menanyakan kedatangan ayah pada ibu, tetap saja tanggapan ibu tak biasa. Dulu ibu selalu berkata: "sabar sayang, segera ayahmu akan datang", tiap kali kutanya kapan ayah akan pulang. Kini ibu lebih banyak diam. Awalnya aku tak peduli tapi lama kelamaan aku pikir ibu sekarang tak menyukai pertanyaanku. Jadi kini aku selalu berhati-hati menanyakan ayah pada ibu.
Malam ini aku sangat rindu ayah. Kuhampiri ibu yang masih bersujud di atas sajadah. Ibu sedang menangis, bahunya terguncang lembut. Aku menunggu ibu selesai solat dan perlahan aku bertanya pada ibu tentang ayahku. Ibu terdiam, hanya terdiam. Lalu ibu berkata: ".. moga Allah jamu ayah disurga-Nya, doakan ayah ya nak". Aku lihat ibu tersenyum meski rapuh. Ada kepasrahan disana. Tapi aku tak begitu mengerti.
Ku kecup pipi ibu dengan lembut, dan aku berbisik perlahan: "bu, aku juga ingin ke surga menemui ayah".
"Entah kemana lenyapnya harapan, impian dan kebersamaan kita? Apa yang tuhan ingin ajarkan? Bukankah kita berusaha mengikuti segalanya dengan patuh. Mengapa kita?", Ibu tak kuasa meredam segalanya. Air matanya tumpah mengikuti gejolak kesedihannya.
***
Aku tak mengerti apa yang terjadi, yang aku tahu ayah telat pulang. Biasanya sebelum hari ulang tahunku ayah selalu saja menyempatkan diri meneleponku dari kota yang sedang ia kunjungi. Dulu ayah pernah bilang ia sedang di pantai losari, dan menanyakan padaku ibu menyiapkan apa untuk ulang tahunku esok. Lain waktu, ayah sedang membelikan otak-otak asli buatan palembang, kata ayah ibu selalu ngidam ini, jadi meski esok aku yang berulang tahun, ayah minta ijin padaku untuk membelikan hadiah untuk ibu juga.
Dan sekarang ulang tahunku sudah berlalu tiga hari yang lalu. Tiap kali telepon berdering aku berharap itu ayah. Tapi tak satupun suara yang ada di seberang sana yang menyapaku ceria dan bercerita padaku, meski dering telepon dirumahku selalu bergema memenuhi ruangan akhir-akhir ini. Hari ulang tahunku pun kelabu. Ibu enggan merayakannya. Padahal kini usiaku genap 6 tahun. Kata ibu, kita harus banyak berdoa, untuk ayah, juga untuk diriku, karena kini mungkin aku akan jadi laki-laki satu-satunya di keluarga ini, pesan ibu dengan mata yang pilu.
Lagi-lagi aku tak mengerti, aku tak memahami maksud ibu. Yang terekam di kepalaku adalah ulang tahun kelabu, tanpa ayah, tanpa keceriaan, tanpa kejutan hadiah. Dan aku ingin bertemu ayah, bermain bersama ayah, mengunjungi bandara atau mencoba topi pilotnya.
Meski berusaha berhati-hati menanyakan kedatangan ayah pada ibu, tetap saja tanggapan ibu tak biasa. Dulu ibu selalu berkata: "sabar sayang, segera ayahmu akan datang", tiap kali kutanya kapan ayah akan pulang. Kini ibu lebih banyak diam. Awalnya aku tak peduli tapi lama kelamaan aku pikir ibu sekarang tak menyukai pertanyaanku. Jadi kini aku selalu berhati-hati menanyakan ayah pada ibu.
Malam ini aku sangat rindu ayah. Kuhampiri ibu yang masih bersujud di atas sajadah. Ibu sedang menangis, bahunya terguncang lembut. Aku menunggu ibu selesai solat dan perlahan aku bertanya pada ibu tentang ayahku. Ibu terdiam, hanya terdiam. Lalu ibu berkata: ".. moga Allah jamu ayah disurga-Nya, doakan ayah ya nak". Aku lihat ibu tersenyum meski rapuh. Ada kepasrahan disana. Tapi aku tak begitu mengerti.
Ku kecup pipi ibu dengan lembut, dan aku berbisik perlahan: "bu, aku juga ingin ke surga menemui ayah".
Thursday, 11 January 2007
cinta sampai mati
Ia pandangi lagi cincin yang melingkar manis di jemarinya. Entah mengapa pernikahan seperti sesuatu yang menakutkan baginya. Bermacam skenario mulai membayangi. Ia takut hatinya sakit, teramat tersakiti, hingga pernikahan menjadi sesuatu yang mengerikan.
Calonnya itu lelaki yang baik, santun, dan sangat pintar. Ia tertarik pada lelaki itu saat perbincangan dengannya pertama kali. Ia telah mengenalnya, jauh-jauh hari sebelumnya, tapi pada saat pertemuan yang melibatkan diskusi yang cukup serius, hatinya terpikat pada laki-laki bermata elang itu.
Tidak ada yang salah dengannya. Laki-laki itu nyaris sempurna. Wajah tampan, karier sukses, keluarga yang harmonis. Hampir sempurna. Dan kesempurnaan itu bagai karunia untuknya. Tak boleh tangan-tangan wanita lain menyentuhnya, tak boleh suara-suara centil menyapanya. Ia hanya ingin lelaki itu untuknya, hanya untuknya.
Dan kini kegundahannya bertambah. Ia semakin mencintai lelaki itu. Menjadikannya candu. Membuatnya berteman sepi. Ia tak pernah ingin berbagi lelaki itu dengan wanita lain –selain ibu dan saudara kandungnya.
Ia semakin larut dalam kekhawatiran saat pernikahannya menjelang. Ia takut tersakiti. Ia tak ingin cintanya yang teramat besar kandas di lembaga sosial yang bernama pernikahan. Ia tersudut oleh ketakutannya sendiri. Ia tak ingin lelaki itu akan berpaling, meninggalkannya, melupakannya, seperti lelaki-lelaki purna yang tidak pernah tahu diri itu. Ia takut lelaki itu mengkhianati cintanya dan pergi dengan wanita lain, seperti penguasa-penguasa yang menikahi wanita yang lebih muda saat kesuksesan melanda mereka.
Ia takut, takut pada luka yang perih, teramat perih. Karena jika luka itu ada, ia akan ada dihatinya, ruang rapuh dalam dirinya. Dan kekhawatirannya menjadi-jadi, bukan karena ketidakpercayaannya pada lelaki itu, tapi pada cintanya yang begitu besar. Mengapa cinta, mengapa rasa sedemikian menyiksa?
Ia pandangi lagi cincin yang melingkar di jemarinya: Tuhan, tolong aku agar bisa kumencintainya dengan sederhana, dengan balutan ikhlas, dengan tenang, karena ia milik-Mu, karena Kau yang menjaganya untukku, lirih pintanya.
***
Pernah suatu ketika ia berusaha untuk mengurangi cintanya pada lelaki itu, namun sungguh hatinya tak bisa untuk tak jujur. Ia tahu, ia tak kuasa atas segala sesuatu. Ia tak punya andil membolak-balikkan hati, hatinya dan hati lelaki itu. Ia hanya ingin mencintai lelaki itu dengan sederhana, tanpa kecewa, tanpa sepi, tanpa tersiksa, cinta sampai mati.
Calonnya itu lelaki yang baik, santun, dan sangat pintar. Ia tertarik pada lelaki itu saat perbincangan dengannya pertama kali. Ia telah mengenalnya, jauh-jauh hari sebelumnya, tapi pada saat pertemuan yang melibatkan diskusi yang cukup serius, hatinya terpikat pada laki-laki bermata elang itu.
Tidak ada yang salah dengannya. Laki-laki itu nyaris sempurna. Wajah tampan, karier sukses, keluarga yang harmonis. Hampir sempurna. Dan kesempurnaan itu bagai karunia untuknya. Tak boleh tangan-tangan wanita lain menyentuhnya, tak boleh suara-suara centil menyapanya. Ia hanya ingin lelaki itu untuknya, hanya untuknya.
Dan kini kegundahannya bertambah. Ia semakin mencintai lelaki itu. Menjadikannya candu. Membuatnya berteman sepi. Ia tak pernah ingin berbagi lelaki itu dengan wanita lain –selain ibu dan saudara kandungnya.
Ia semakin larut dalam kekhawatiran saat pernikahannya menjelang. Ia takut tersakiti. Ia tak ingin cintanya yang teramat besar kandas di lembaga sosial yang bernama pernikahan. Ia tersudut oleh ketakutannya sendiri. Ia tak ingin lelaki itu akan berpaling, meninggalkannya, melupakannya, seperti lelaki-lelaki purna yang tidak pernah tahu diri itu. Ia takut lelaki itu mengkhianati cintanya dan pergi dengan wanita lain, seperti penguasa-penguasa yang menikahi wanita yang lebih muda saat kesuksesan melanda mereka.
Ia takut, takut pada luka yang perih, teramat perih. Karena jika luka itu ada, ia akan ada dihatinya, ruang rapuh dalam dirinya. Dan kekhawatirannya menjadi-jadi, bukan karena ketidakpercayaannya pada lelaki itu, tapi pada cintanya yang begitu besar. Mengapa cinta, mengapa rasa sedemikian menyiksa?
Ia pandangi lagi cincin yang melingkar di jemarinya: Tuhan, tolong aku agar bisa kumencintainya dengan sederhana, dengan balutan ikhlas, dengan tenang, karena ia milik-Mu, karena Kau yang menjaganya untukku, lirih pintanya.
***
Pernah suatu ketika ia berusaha untuk mengurangi cintanya pada lelaki itu, namun sungguh hatinya tak bisa untuk tak jujur. Ia tahu, ia tak kuasa atas segala sesuatu. Ia tak punya andil membolak-balikkan hati, hatinya dan hati lelaki itu. Ia hanya ingin mencintai lelaki itu dengan sederhana, tanpa kecewa, tanpa sepi, tanpa tersiksa, cinta sampai mati.
Friday, 5 January 2007
jenaka dan bulan
Jenaka ingin bercerita lagi dengan mata berbinar, dengan pipi tersipu malu. Jenaka ingin sekali berbicara pada bintang bagaimana hari ia lalui. Jenaka selalu membuat bulan cemburu padanya, pada keakrabannya dengan bintang, pada derai tawanya, pada binar matanya, pada rona pipinya. Jenaka selalu datang tiap malam, menghabiskan kesendirian untuk mendekap malam bersama bintang. Jenaka datang dengan binar mata dan pipi tersipu malu, berharap bintang sampaikan salam padanya, pada bulan.
desa yang hilang
Dahulu kala di negeri khatuliswa terdapatlah sebuah pedesaan yang asri. Indah nian. Setiap hari para warganya saling menyapa diantara hangat mentari dan kicau burung. Udara pagi selalu memberi semangat pada warga yang bersiap pergi ke sawah, pada para wanita yang mencuci di sungai, dan anak kecil yang berlarian di jalan-jalan setapak. Kepala desa tak perlu bersusah payah memikirkan kesejahteraan desanya, rejeki mengalir tiap harinya, tak henti-henti. Mulai dari panen yang selalu sukses tiap musimnya hingga para pemuda desa yang berkesempatan menempuh pendidikan di kota.
Hari berganti, tahun berlalu. Penduduk desa masih larut dalam kesederhanaan yang membalut. Kepala desa berencana membuat festival untuk mensyukuri nikmat yang begitu banyak bagi warga desanya. Persiapan pun digelar, seluruh desa merencanakan kemeriahan yang luar biasa. Aneka hiasan beragam warna tergantung di sudut-sudut desa, kendaraan hias sedang di desain oleh anak-anak, perkumpulan wanita memasak dalam porsi yang banyak. Festival perayaan itu akan dilaksanakan seminggu kemudian.
Kini tibalah saatnya, kepala desa memberikan sambutannya: “Sudah sepatutnya kita bersyukur, desa kita selalu dilimpahi oleh nikmat dari Allah. Anak cucu kita yang sehat, alam yang bersahabat. Hari ini kita berkumpul tidak untuk menghabiskan kenikmatan itu dalam kegembiraan yang berlebihan. Hari ini supaya kita mengingat nikmat yang diberi dan bersyukur karenanya. Semoga Allah selalu memberikan keridhaannya pada kita”. Warga desa mendengarkan dengan seksama, lalu alunan doa mulai terdengar dipimpin oleh kepala desa. Dan wargapun bersuka cita.
Kemakmuran desa tidak hanya diketahui oleh penduduknya saja. Masyarakat kota pun mulai mencium kesejahteraan ini. Penghasilan penduduk desa yang biasa saja namun hidup berkecukupan mulai mendatangkan rasa ingin tahu masyarakat kota. Forum-forum kemudian digelar oleh pengusaha-pengusaha tamak yang melihat suatu potensi kekayaan disana. Diskusi-diskusi mengenai desa itu menjadi topik sehari-hari, baik saat rapat atau break makan siang. Hingga satu keputusan dicapai: target ditetapkan dan tim bergerak.
Kepala desa menyambut baik rombongan yang berkunjung ke desanya, bapak-bapak berdasi dengan pakaian yang cling. Keramahan penduduk desa tak sedikitpun menyimpan kecurigaan. Mereka menjawab dengan lugas bagaimana hidup mereka di topang selama ini, bagaimana alam memanjakan mereka. Dengan hati riang anak-anak kecil menunjukkan tempat-tempat kerja ayah mereka, dengan malu-malu para wanita menyuguhkan makanan. Sungguh sambutan yang hangat.
***
Perdebatan kini tengah terjadi diantara para pengusaha setelah melihat kondisi desa yang indah. Ada yang berniat menjadikannya tempat wisata dengan mengimingi pekerjaan bagi penduduk desa. Ada yang menginginkan mendirikan perusahan energi dengan mengeruk perut bumi tepat di wilayah desa, dan beragam keinginan lainnya. Hari demi hari mereka menggelar rapat dengan hitungan untung rugi yang selalu mengemuka. Akhirnya diambil satu kesepakatan, akan didirikan perusahaan energi dengan iming-iming suplay listrik bagi desa. Keesokan harinya mereka bergegas dengan sejumlah perencanaan yang tertuang dalam lembaran-lembaran kertas.
Kepala desa mengamati rencana bangun perusahaan yang akan ditempatkan di ujung desa. Ia mempelajari tiap detail proposal itu. Ia juga menimbang mengenai listrik yang akan segera mencerahkan malam hari masyarakat desa. "Maaf bapak-bapak sekalian, yang bapak-bapak ajukan adalah menyangkut seluruh kepentingan warga desa. Saya minta waktu untuk memusyawarahkan segala sesuatunya dengan warga”, kepala desa menutup pertemuan mereka dengan bijak.
Seluruh warga desa membicarakan kedatangan kedua rombongan dari kota itu. Mereka tak sabar untuk segera berkumpul di balai desa nanti malam untuk mendengarkan penjelasan sang tetua, kepala desa mereka.
Riuh rendah suara warga memenuhi seluruh ruang balai desa setelah mendengar penjelasan sang tetua. Warna muka mereka terlihat sangat antusias, anak-anak kecil yang ikut dengan orang tuanya tampak senang sekali mendengar bahwa malam mereka akan segera terang. Para wanita bergumam tak perlu bersusah payah menyalakan perapian di pagi hari. Singkat kata, warga desa menyambut baik rencana pengembangan desa mereka.
Hingga 10 bulan lamanya pendirian perusahaan itu menyita perhatian warga desa. Aktivitas pagi mereka sekarang bertambah dengan obrolan mengenai lapangan kerja dan listrik desa. Pengguntingan pita peresmian perusahaan dihadiri oleh seluruh warga dengan hati yang suka cita.
Satu bulan setelah perusahaan itu beroperasi, warga kini sudah dapat menikmati terangnya gelap malam. Anak-anak kecil tak takut untuk keluar rumah lagi, para wanita dapat mengerjakan jahitan hingga larut malam. Kesejahteraan warga bertambah, kepala desa pun senang.
Perusahaan itu beroperasi siang dan malam, menyedot jumlah tenaga kerja yang besar. Para pria kini tak lagi menghabiskan waktu di ladang. Puluhan hektar sawah mereka dijual untuk dijadikan kompleks perumahan pegawai perusahaan dengan jabatan yang lebih tinggi. Lapangan golf direncanakan untuk dibangun, mini market telah bertengger dalam kantor perusahaan. Wajah desa kini berubah. Anak-anak kecil mulai bermain pistol-pistolan dan pesawat terbang. Para wanita kini bergincu tebal. Dan kepala desa tak lagi mengkoleksi batik.
Wajah desa kini telah berubah, tapi alam masih tetap setia memanjakannya meski kesederhanaan tak lagi melekat disana, meski ketamakan mulai muncul di garis-garis wajah mereka.
Bumi dikeruk habis-habisan hingga sekarat. Penduduk desa telah lupa.
***
Tawa centil para wanita dan bujuk rayu pria di keremangan desa tiba-tiba terhenti saat sebuah ledakan muncul dari dalam kantor perusahaan. Para wanita bersembunyi dan para pria yang merasa menjadi superhero mendatangi sumber ledakan, tiba-tiba muncul ledakan kedua dan merekapun berjatuhan.
Peristiwa tadi malam menjadi gunjingan pagi di desa. Kepala desa mewakili warganya meminta kejelasan dari pihak perusahaan. Namun kepiawaian dan kelihaian mengolah kata membuat para warga memaklumi kejadian itu dan kemudian kembali ke rumah masing-masing tanpa kekhawatiran yang bergelayut. Namun tidak demikian halnya yang terjadi dalam kantor perusahaan, para pekerja panik, ledakan tadi malam rupa-rupanya telah membuat kebocoran pipa dan menyebabkan lumpur panas yang entah dari mana asalnya menyembur keluar. Namun mereka diminta tutup mulut jika tak ingin dipecat.
Satu bulan berlalu dari rencana penargetan penyelesaian dan penanggulangan masalah semburan lumpur. Namun tidak ada hasil yang terlihat. Semburan lumpur terlampau banyak hingga menggenangi sawah-sawah warga yang tersisa. Dan panen musim ini gagal. Puluhan kepala keluarga mengalami kerugian yang sangat besar. Sedangkan penduduk desa lainnya harus membeli beras dengan harga yang sangat mahal dari desa tetangga mereka. Para pekerja ditangguhkan gajinya karena dana besar tersedot untuk mengatasi semburan lumpur. Listrik kini mulai turun naik, hidup sesekali dan mati berulang-ulang kali. Paceklik mendatangi desa.
Dua bulan berlalu, tetap tak ada perubahan. Semburan lumpur meluas dan mulai menggenangi lantai-lantai rumah warga. Pihak perusahaan sibuk menggelar rapat-rapat darurat. Warga pun merugi.
Lima bulan berlalu dan genangan lumpur masih tetap tinggi dan terus bertambah tinggi. Kini bukan hanya lumpur yang menjadi masalah, kelaparan dan penyakit mulai bermunculan. Kepala desa kemudian menyarankan agar warganya mengungsi untuk sementara waktu hingga masalah ini dapat teratasi. Beberapa penduduk terlihat mulai sibuk berbenah, beberapa diantaranya masih bertahan untuk tetap tinggal di tanah kelahirannya.
***
Kali ini kepala desa yang dulunya bijak itu salah perhitungan. Masalah ini tak kunjung selesai. Balai desa yang dulu merupakan bangunan tertinggi hanya tinggal terlihat atapnya saja karena kini tergenang lumpur. Matahari yang hangat sekarang tak bisa lagi menemukan rimbun pepohonan di pinggir kali. Kicau burung tak lagi jadi harmoni pagi hari. Penduduk desa tak lagi bisa menikmati alamnya, mereka kini hanya bisa memandang sedih pada tanah kelahirannya. Desa yang indah itu kini jadi kubangan lumpur. Desa itu kini hilang. Bumi yang sedang sekarat yang menelannya.
Hari berganti, tahun berlalu. Penduduk desa masih larut dalam kesederhanaan yang membalut. Kepala desa berencana membuat festival untuk mensyukuri nikmat yang begitu banyak bagi warga desanya. Persiapan pun digelar, seluruh desa merencanakan kemeriahan yang luar biasa. Aneka hiasan beragam warna tergantung di sudut-sudut desa, kendaraan hias sedang di desain oleh anak-anak, perkumpulan wanita memasak dalam porsi yang banyak. Festival perayaan itu akan dilaksanakan seminggu kemudian.
Kini tibalah saatnya, kepala desa memberikan sambutannya: “Sudah sepatutnya kita bersyukur, desa kita selalu dilimpahi oleh nikmat dari Allah. Anak cucu kita yang sehat, alam yang bersahabat. Hari ini kita berkumpul tidak untuk menghabiskan kenikmatan itu dalam kegembiraan yang berlebihan. Hari ini supaya kita mengingat nikmat yang diberi dan bersyukur karenanya. Semoga Allah selalu memberikan keridhaannya pada kita”. Warga desa mendengarkan dengan seksama, lalu alunan doa mulai terdengar dipimpin oleh kepala desa. Dan wargapun bersuka cita.
Kemakmuran desa tidak hanya diketahui oleh penduduknya saja. Masyarakat kota pun mulai mencium kesejahteraan ini. Penghasilan penduduk desa yang biasa saja namun hidup berkecukupan mulai mendatangkan rasa ingin tahu masyarakat kota. Forum-forum kemudian digelar oleh pengusaha-pengusaha tamak yang melihat suatu potensi kekayaan disana. Diskusi-diskusi mengenai desa itu menjadi topik sehari-hari, baik saat rapat atau break makan siang. Hingga satu keputusan dicapai: target ditetapkan dan tim bergerak.
Kepala desa menyambut baik rombongan yang berkunjung ke desanya, bapak-bapak berdasi dengan pakaian yang cling. Keramahan penduduk desa tak sedikitpun menyimpan kecurigaan. Mereka menjawab dengan lugas bagaimana hidup mereka di topang selama ini, bagaimana alam memanjakan mereka. Dengan hati riang anak-anak kecil menunjukkan tempat-tempat kerja ayah mereka, dengan malu-malu para wanita menyuguhkan makanan. Sungguh sambutan yang hangat.
***
Perdebatan kini tengah terjadi diantara para pengusaha setelah melihat kondisi desa yang indah. Ada yang berniat menjadikannya tempat wisata dengan mengimingi pekerjaan bagi penduduk desa. Ada yang menginginkan mendirikan perusahan energi dengan mengeruk perut bumi tepat di wilayah desa, dan beragam keinginan lainnya. Hari demi hari mereka menggelar rapat dengan hitungan untung rugi yang selalu mengemuka. Akhirnya diambil satu kesepakatan, akan didirikan perusahaan energi dengan iming-iming suplay listrik bagi desa. Keesokan harinya mereka bergegas dengan sejumlah perencanaan yang tertuang dalam lembaran-lembaran kertas.
Kepala desa mengamati rencana bangun perusahaan yang akan ditempatkan di ujung desa. Ia mempelajari tiap detail proposal itu. Ia juga menimbang mengenai listrik yang akan segera mencerahkan malam hari masyarakat desa. "Maaf bapak-bapak sekalian, yang bapak-bapak ajukan adalah menyangkut seluruh kepentingan warga desa. Saya minta waktu untuk memusyawarahkan segala sesuatunya dengan warga”, kepala desa menutup pertemuan mereka dengan bijak.
Seluruh warga desa membicarakan kedatangan kedua rombongan dari kota itu. Mereka tak sabar untuk segera berkumpul di balai desa nanti malam untuk mendengarkan penjelasan sang tetua, kepala desa mereka.
Riuh rendah suara warga memenuhi seluruh ruang balai desa setelah mendengar penjelasan sang tetua. Warna muka mereka terlihat sangat antusias, anak-anak kecil yang ikut dengan orang tuanya tampak senang sekali mendengar bahwa malam mereka akan segera terang. Para wanita bergumam tak perlu bersusah payah menyalakan perapian di pagi hari. Singkat kata, warga desa menyambut baik rencana pengembangan desa mereka.
Hingga 10 bulan lamanya pendirian perusahaan itu menyita perhatian warga desa. Aktivitas pagi mereka sekarang bertambah dengan obrolan mengenai lapangan kerja dan listrik desa. Pengguntingan pita peresmian perusahaan dihadiri oleh seluruh warga dengan hati yang suka cita.
Satu bulan setelah perusahaan itu beroperasi, warga kini sudah dapat menikmati terangnya gelap malam. Anak-anak kecil tak takut untuk keluar rumah lagi, para wanita dapat mengerjakan jahitan hingga larut malam. Kesejahteraan warga bertambah, kepala desa pun senang.
Perusahaan itu beroperasi siang dan malam, menyedot jumlah tenaga kerja yang besar. Para pria kini tak lagi menghabiskan waktu di ladang. Puluhan hektar sawah mereka dijual untuk dijadikan kompleks perumahan pegawai perusahaan dengan jabatan yang lebih tinggi. Lapangan golf direncanakan untuk dibangun, mini market telah bertengger dalam kantor perusahaan. Wajah desa kini berubah. Anak-anak kecil mulai bermain pistol-pistolan dan pesawat terbang. Para wanita kini bergincu tebal. Dan kepala desa tak lagi mengkoleksi batik.
Wajah desa kini telah berubah, tapi alam masih tetap setia memanjakannya meski kesederhanaan tak lagi melekat disana, meski ketamakan mulai muncul di garis-garis wajah mereka.
Bumi dikeruk habis-habisan hingga sekarat. Penduduk desa telah lupa.
***
Tawa centil para wanita dan bujuk rayu pria di keremangan desa tiba-tiba terhenti saat sebuah ledakan muncul dari dalam kantor perusahaan. Para wanita bersembunyi dan para pria yang merasa menjadi superhero mendatangi sumber ledakan, tiba-tiba muncul ledakan kedua dan merekapun berjatuhan.
Peristiwa tadi malam menjadi gunjingan pagi di desa. Kepala desa mewakili warganya meminta kejelasan dari pihak perusahaan. Namun kepiawaian dan kelihaian mengolah kata membuat para warga memaklumi kejadian itu dan kemudian kembali ke rumah masing-masing tanpa kekhawatiran yang bergelayut. Namun tidak demikian halnya yang terjadi dalam kantor perusahaan, para pekerja panik, ledakan tadi malam rupa-rupanya telah membuat kebocoran pipa dan menyebabkan lumpur panas yang entah dari mana asalnya menyembur keluar. Namun mereka diminta tutup mulut jika tak ingin dipecat.
Satu bulan berlalu dari rencana penargetan penyelesaian dan penanggulangan masalah semburan lumpur. Namun tidak ada hasil yang terlihat. Semburan lumpur terlampau banyak hingga menggenangi sawah-sawah warga yang tersisa. Dan panen musim ini gagal. Puluhan kepala keluarga mengalami kerugian yang sangat besar. Sedangkan penduduk desa lainnya harus membeli beras dengan harga yang sangat mahal dari desa tetangga mereka. Para pekerja ditangguhkan gajinya karena dana besar tersedot untuk mengatasi semburan lumpur. Listrik kini mulai turun naik, hidup sesekali dan mati berulang-ulang kali. Paceklik mendatangi desa.
Dua bulan berlalu, tetap tak ada perubahan. Semburan lumpur meluas dan mulai menggenangi lantai-lantai rumah warga. Pihak perusahaan sibuk menggelar rapat-rapat darurat. Warga pun merugi.
Lima bulan berlalu dan genangan lumpur masih tetap tinggi dan terus bertambah tinggi. Kini bukan hanya lumpur yang menjadi masalah, kelaparan dan penyakit mulai bermunculan. Kepala desa kemudian menyarankan agar warganya mengungsi untuk sementara waktu hingga masalah ini dapat teratasi. Beberapa penduduk terlihat mulai sibuk berbenah, beberapa diantaranya masih bertahan untuk tetap tinggal di tanah kelahirannya.
***
Kali ini kepala desa yang dulunya bijak itu salah perhitungan. Masalah ini tak kunjung selesai. Balai desa yang dulu merupakan bangunan tertinggi hanya tinggal terlihat atapnya saja karena kini tergenang lumpur. Matahari yang hangat sekarang tak bisa lagi menemukan rimbun pepohonan di pinggir kali. Kicau burung tak lagi jadi harmoni pagi hari. Penduduk desa tak lagi bisa menikmati alamnya, mereka kini hanya bisa memandang sedih pada tanah kelahirannya. Desa yang indah itu kini jadi kubangan lumpur. Desa itu kini hilang. Bumi yang sedang sekarat yang menelannya.
Thursday, 4 January 2007
pak tani dan belalang
Suatu ketika, saat pak tani hendak pergi berladang, di tengah jalan ia menjumpai belalang yang patah kakinya. Pak tani berhenti sesaat, mengamati apakah belalang itu masih hidup atau tidak. Tiba-tiba terdengar suara: “ Pak tani, tolong aku, aku harus segera sampai ke ujung desa, disini bukan tempat yang aman lagi bagi bangsa kami, tolong jangan bunuh aku pak”. Pak tani tersentak kaget, ia memperhatikan sekelilingnya, hanya ada ia dan belalang itu. Lalu, “Pak, ini aku, tolong bantu aku pak”. Pak tani semakin kaget mengetahui bahwa yang berbicara adalah belalang yang sedang terluka itu. Akhir-akhir ini penduduk desa memang sedang mengalami krisis makanan, maka semua jenis bahan makanan yang bisa disantap akan habis dalam sekejap. Termasuk belalang, kini belalang diburu oleh para penduduk desa, untuk dijadikan sate.
Pak tani tak habis pikir bagaimana mungkin belalang ini dapat bicara. ia mencubit kulitnya yang kelam, sakit, artinya ia tidak bermimpi. Ia belum yakin, kali ini ia memukul pipinya perlahan, sakit juga, ternyata ia benar-benar sedang tidak bermimpi. Pak tani lalu mengangkat belalang itu dan meletakkannya di atas tangannya. “ Kenapa aku harus menolongmu?”, ujar pak tani. “Desa kami sedang kelaparan dan sate belalang sungguh nikmat bagi kami”, lanjutnya lagi. “Tolonglah pak, aku harus segera ke ujung desa, menyelamatkan diri dan membangun bangsa kami lagi. Ada siklus makan di bumi ini kan pak tani? Jika bangsa kami musnah, maka ekosistem alam akan terganggu. Tolonglah aku pak. Aku akan membalas kebaikan bapak”, belalang itu memohon dengan sangat.
Pak tani tampak menimbang-nimbang hendak mengambil keputusan yang mana. Lalu ia letakkan kembali belalang itu di tanah. “Kau akan kutaruh di antara peralatan bertani ku, jangan menampakkan diri, nanti jika telah dekat ujung desa akan kuberitahu”. Belalang sangat senang mendengarnya, “Terima kasih, terima kasih pak”, ujarnya berulang-ulang. “ Hari ini istriku baru saja melahirkan, anakku sehat, dan kini hatiku riang, nikmat Allah sudah sangat banyak padaku, tak ada salahnya ku melepaskanmu kali ini”. Belalang tersenyum senang. Dan pak tani pun kembali melanjutkan perjalanannya menuju ladang.
***
Satu tahun kemudian
Pak tani sukses besar, hasil kerja kerasnya bebas hama, memiliki kualitas yang sangat bagus dan terjual dengan harga tinggi. Ini adalah peristiwa yang belum pernah ia alami. Pak tani lupa dulu ia pernah membantu seekor belalang menyelamatkan diri, dan ini adalah balasannya. Kebaikan untuk kebaikan.
Pak tani tak habis pikir bagaimana mungkin belalang ini dapat bicara. ia mencubit kulitnya yang kelam, sakit, artinya ia tidak bermimpi. Ia belum yakin, kali ini ia memukul pipinya perlahan, sakit juga, ternyata ia benar-benar sedang tidak bermimpi. Pak tani lalu mengangkat belalang itu dan meletakkannya di atas tangannya. “ Kenapa aku harus menolongmu?”, ujar pak tani. “Desa kami sedang kelaparan dan sate belalang sungguh nikmat bagi kami”, lanjutnya lagi. “Tolonglah pak, aku harus segera ke ujung desa, menyelamatkan diri dan membangun bangsa kami lagi. Ada siklus makan di bumi ini kan pak tani? Jika bangsa kami musnah, maka ekosistem alam akan terganggu. Tolonglah aku pak. Aku akan membalas kebaikan bapak”, belalang itu memohon dengan sangat.
Pak tani tampak menimbang-nimbang hendak mengambil keputusan yang mana. Lalu ia letakkan kembali belalang itu di tanah. “Kau akan kutaruh di antara peralatan bertani ku, jangan menampakkan diri, nanti jika telah dekat ujung desa akan kuberitahu”. Belalang sangat senang mendengarnya, “Terima kasih, terima kasih pak”, ujarnya berulang-ulang. “ Hari ini istriku baru saja melahirkan, anakku sehat, dan kini hatiku riang, nikmat Allah sudah sangat banyak padaku, tak ada salahnya ku melepaskanmu kali ini”. Belalang tersenyum senang. Dan pak tani pun kembali melanjutkan perjalanannya menuju ladang.
***
Satu tahun kemudian
Pak tani sukses besar, hasil kerja kerasnya bebas hama, memiliki kualitas yang sangat bagus dan terjual dengan harga tinggi. Ini adalah peristiwa yang belum pernah ia alami. Pak tani lupa dulu ia pernah membantu seekor belalang menyelamatkan diri, dan ini adalah balasannya. Kebaikan untuk kebaikan.
Subscribe to:
Posts (Atom)
Iri
Ingin rasanya berada bersisian, berdampingan dengan teman-teman di lapangan yang sedang berjibaku tak kenal henti. Mereka diberi kesempa...