Wednesday, 22 September 2004

Sa

Manis. Senyum yang menghiasi wajahnya membuat ia makin menarik. Muslimah sopan satu ini selalu membuatku malu bila di hadapannya. Bagaimana tidak, tuturnya santun, gerak-geriknya lemah lembut. Berbeda denganku yang masih sradak sruduk ini.
Kadang celotehan-celotehannya membuatku tertegun. Suatu hal yang tampak kecil di hadapanku bisa berarti sangat besar baginya. Apalagi jika itu menyangkut masalah hati.
Sungguh aku perlu belajar banyak darinya.

***

“Sa, kok tak pernah menghubungiku lagi? Insya Allah mulai sekarang aku bisa membantu dalam penerbitan buletin kecamatan”, ujarku suatu ketika. “Oia? Afwan, soalnya ane pikir anti masih sibuk. Jadi ane tunggu anti yang menghubungi ane”, jawabnya. Jadi tertohok lagi. Tampak husnudzhan telah menjadi bagian dari kebiasaannya. Padahal sejak Agustus lalu praktis amanah lain sudah tak kupegang lagi. Hanya sibuk berbenah diri dan menikmati hari sebelum memasuki masa prako-as. Lagi-lagi malu aku di hadapannya.

***

Dua hari yang lalu Allah memberiku kesempatan menghabiskan waktu setengah hari bersamanya. Saat itu ada Aisyah, gadis kecil yang baru duduk di bangku SD. Aku baru berkenalan dengan Aisyah. Sedangkan Sa tampak sudah akrab dengannya. Aisyah ini anak yang cerdas. Kemarin dia melontarkan pertanyaan: “Teh, pernah nonton Uka-uka ga? Kalau disuruh ikutan acara itu berani ngga?”. Spontan aku menjawab, “ngga”. Dari dulu aku memang alergi dengan acara seperti itu. Sedang Sa, dengan bijaknya ia berkata: “Kalau teteh lihat dulu itu acara yang seperti apa. Acara seperti Uka-uka itu kan acara yang menganggu keberadaan mahluk gaib. Berarti kita sudah mengusik ketenangan mereka dan itu bisa membuat mereka tidak nyaman dan balik menganggu kita. Seperti anak harimau saja, kalau tidak kita ganggu ia tidak akan menganggu kita bukan? Jadi untuk berperan serta dalam acara itu, teteh bukannya ngga berani, tapi ngga mau”. Subhanallah, entah sudah kali keberapa ia membuatku termangu. Bukan hanya perkataannya tapi cara ia menghadapi Aisyah juga mengingatkanku untuk bagaimana menyikapi kekritisan seorang anak. Bukan jawaban ngasal seperti jawabanku tetapi jawaban bijak dan memberi pengertian yang kemudian kan bermanfaat bagi Aisyah. Duh Sa, aku ingin bisa seperti itu.

***

Kini rutinitasku sudah dimulai kembali. Ia pun sedang menata aktivitasnya lagi. Dan seperti dulu, kami akan jarang berjumpa. Tak akan rutin bertemu mungkin, tapi tiap pertemuanku dengannya selalu meninggalkan sekeping kisah di sini, di sudut ruangku. Sungguh Sa, aku ingin belajar banyak darimu.

from: Sa. 21/09/2004. 09:45
Jazakillah, semoga kemarin tergantikan dengan kemuliaan nan hakiki dariNya

1 comment:

mitatea said...

ayo kita sama-sama belajar dari cerita ini. hope alwayas be a better person.

Iri

Ingin rasanya berada bersisian, berdampingan dengan teman-teman di lapangan yang sedang berjibaku tak kenal henti. Mereka diberi kesempa...