Saturday 11 September 2004

yakinlah Allah pasti menolong

Derit pintu itu mengusiknya. Sesaat ia tersadar, ah sudah tengah malam. Bagaimana ini, ia belum memutuskan satu hal pun untuk dilakukannya besok. Masih terngiang gurauan Pak Iwan: “Masa gitu aja ga bisa”. Sederhana memang. Tapi kata-kata itu begitu mempengaruhinya hingga ia tidak bisa tidur malam ini.
Iya, masa untuk melakukan hal ini saja tak bisa. Lantas kemana dulu ajaran-ajaran untuk saling menolong, mana ikatan ukhuwah itu, mana semangat untuk menjadi golongan orang-orang yang bahu membahu meninggikan kalimah-Nya.
Malu.

“Ri, belum tidur?”. Ai, kakak pertamanya heran melihat ia masih bengong di kamarnya sambil memegang Samsung E-700 yang baru dibelinya seminggu yang lalu. “Belum kak, ini masih harus sms teman-teman, besok ada acara mendadak ni”. Begitu dalihnya, padahal pikirannya sendiri masih tak menentu. Ia tidak perlu menghubungi teman-temannya. 0815, hanya nomor itu yang harus ia hubungi untuk mengkonfirmasi kehadirannya esok.

Ia melirik jam di kamarnya. Sudah 10 menit yang lalu sejak ia membatalkan janjinya. Tapi ragu itu masih menyelimuti. Benar tidak ya keputusan yang ia ambil. Sejuta alasan yang ia kemukakan lewat telepon tadi terasa seperti mengada-ada kini.

“Jadi besok Ri tidak bisa ya?”. Terputar kembali rekaman pembicaraan tadi.
Dan kini ia mengulang pertanyaan yang sama untuk dirinya. “Benarkah besok aku tidak bisa?”

Perlahan matanya memerah. Bulir-bulir air mata itu mulai jatuh. AstagfiruLlah. Maafkan ya Allah. Betapa egoisnya dirinya. Bukankah semua merasakan hal yang sama. Lelah dan penat. Maka seberapa besar pengorbanan dirinya esok hari jika dibandingkan pengorbanan Abu Bakar, Umar dan sahabat Rasulullah lainnya bagi Islam? Malu.

Allah tidak menjanjikan kesenangan dan kemudahan setiap harinya, tapi Dia janjikan di tengah kesedihan, kesusahan, dan kesulitan tangan-tangan penolong yang tiada berkesudahan.

Yakinlah Allah pasti menolong.

Perlahan diketiknya rangkaian huruf demi huruf: ”Aslm, insya Allah besok saya bisa hadir…"

2 comments:

Anonymous said...

10:41 PM 9/11/04

Kepada waktu
Yang aku tak slalu mampu
Untuk sempat memaknainya
Lalu pergi
Dalam ironi-ironi simfoni hidup ini
Atau elegi?

Untuk waktu
Yang entah berapa mil tlah merekam
Dengan sayup-sayup langkah tertatih
Untuk tak puas mengingatkan diri

Bahwa perjalanan ada
Untuk dibaca kembali
dengan bahasa kesalahan, ruh, dan tujuan...

Dan waktu pun tak pernah punya salah
jika kehampaan jiwa, lalu tenggelam..

Demi membayarnya...sekarang
Ketika nafas masih terhembus satu-satu...

Bantu aku, waktu!
Merekamnya selalu
dalam pita-detikmu yang tak pandang bulu dan ketika-

;yant_s 2K

...emang bukan komentar buat bentuk dan gaya cerpen ienk kali ini, cuma berbagi sesuatu,bahwa hidup ini sepertinya memang tidak boleh lepas dari memuhasabahi diri :)keep istiqomah!

mitatea said...

Subhanallah, untuk mencapai khusnul khatimah, kita memang harus menyegerakan kebaikan. Bacaannya memotivasi nih, mudah2an dapat diamalkan sama-sama ya…bagi penulis and pembacanya.

Iri

Ingin rasanya berada bersisian, berdampingan dengan teman-teman di lapangan yang sedang berjibaku tak kenal henti. Mereka diberi kesempa...