Thursday, 9 September 2004

matahari masih setia menyinari Jakarta

Matahari masih bersedia menyinari Jakarta. Menerobos masuk lewat kardus-kardus di tepian rel yang telah berubah fungsi menjadi rumah tinggal. Kumuh, gelap, dan entah berapa jenis hewan yang senang bermain-main disana.
Laju kereta pun sama apatisnya dengan kebanyakan orang. Melenggang dengan cepatnya tanpa peduli sedang apa mereka dibawah sana.

***

Peluh itu membasahi wajahnya. “ Es jeruk bu, segar”. Ucapnya berulang-ulang seraya berkeliling memegang baki berisi enam gelas jeruk dingin yang memang menggoda untuk diminum di tengah ramainya Pasar Tanah Abang.
“Wuih, kok asam begini”, terdengar olehnya seseorang berucap. “Gulanya sedikit kali”, timpal yang lain. Sebenarnya kalau bukan untuk menopang hidupnya di Jakarta dia pun tak ingin menjajakan es jeruk segar yang asam ini. Segera ia pindah ke blok lain. Tak lama kemudian riuhnya Tanah Abang pun bertambah dengan seruannya: “Es jeruk bu, segar”.

***

Fauzan, “jan” begitu biasa dia dipanggil, tinggal hanya terpisah beberapa meter dari rel kereta yang seharinya mungkin bisa dilalui 10-15 argo gede dengan rute Gambir-Bandung ataupun Bandung-Gambir. Sesekali jikalau kereta itu melambatkan lajunya, ia memperhatikan rangkaian gerbong-gerbong eksekutif itu sembari menunggu untuk dapat menyeberang rel. Kali ini pikirannya terbang, tak terusik gemuruhnya deritan kereta. Melekat dengan kuatnya kenangan saat ia berusia 11 tahun. Saat itu hidupnya pun tak ubah seperti mereka yang sedang menikmati dinginnya AC gerbong eksekutif. Ia dan ayahnya sering menghabiskan waktu bersama mengunjungi stasiun kereta api. Memandangi laju kereta yang datang dan pergi, dan kemudian berceloteh bagaimana suatu saat nanti ia ingin menjadi seorang masinis. Kenangan itu kemudian berganti menjadi gundah. Segundah hatinya ketika ayah yang dibanggakannya telah berganti menjadi seorang kerdil yang terbudakkan hatinya oleh kerasnya Jakarta. Dan hancurlah semua impiannya. Kini ia hanya bersama ibunya bertahan di tepian rel kereta dan memandangi laju kereta yang datang dan pergi tiap harinya.

Lamunannya lenyap ketika seseorang tanpa sengaja menyenggolnya. Ah, kereta itu telah melaju. Anak-anak kecil pun tengah berlarian menyeberangi rel kereta. Seulas senyum menghias wajahnya. Biarlah, bukankah kemuliaan itu hanya datang dari Allah. Yang ia yakini ia harus mengikhlaskan semuanya dan berusaha memperbaiki kualitas hidupnya. Allah pasti menolong. Toh matahari pun masih setia menyinari Jakarta.

Hari ini ini ia harus kembali ke Tanah Abang lagi. Tapi kali ini seruannya berbeda: “Es jeruk bu, segar. Tapi agak sedikit asam”.

--> oleh-oleh dari Jakarta :)

3 comments:

Anonymous said...

ceritanya sederhana dan singkat.. kalo ga mau di bilang singkat sekali..sehingga mungkin yang membaca belum bisa mengerti dan mengagumi jalan ceritanya. Tetapi bahasanya sudah sangat lugas sekali dan enak untuk terus dibaca, seandainya tiba2 sang penulis ingin melanjutkannya menjadi panjang... Kemudian, sang penulis terasa sekali sudah bisa menjiwai n memahami karakternya, terasa dr kalimat2nya yang seperti benar2 keluar dari hati sang karakter. :) Segituh ajah komentnya, cukup kan yenk?? :) :) :)

Anonymous said...

Ckk..ckk..ckk..kalo kata yant tiba-tiba ienk jadi bermain kata-kata puitis dan melankolis..bagus! nyastra banget gitu..meski sederhana tapi cukup 'dalam'.
Tipe cerpen yang kudu rada mikir...cuman kalo kata yant lagi alurnya kudu lebih apik lagi..hehe..gaya gini.kayk orang sastra aja, padahal kan kita kuliah di kampus yang sama :)

mitatea said...

tulisannya daleeem, artinya sangat tersirat, jadi, orang2 sepertiku harus mencerna dengan waktu yang tidak sebentar hehe.. panjangin donk ceritanya oks.

Iri

Ingin rasanya berada bersisian, berdampingan dengan teman-teman di lapangan yang sedang berjibaku tak kenal henti. Mereka diberi kesempa...