Friday, 20 March 2020

Iri

Ingin rasanya berada bersisian, berdampingan dengan teman-teman di lapangan yang sedang berjibaku tak kenal henti.

Mereka diberi kesempatan memberi seluas-luasnya manfaat diri mereka untuk orang lain, bagi kemanusiaan. 

Dan saya iri. 

Wednesday, 18 March 2020

Terima Kasih, Blogger

Saya kangen nulis di blog. Tempat dimana orang-orang tidak berusaha menemukan celah kesalahan saya. Tempat dimana titik koma bahkan spasi tulisan saya tidak diperdebatkan.

Saya menulis sejak lama. Saya menulis karena jatuh cinta pada kata. Kata membuat segala rasa yang ada di hati dan kepala menjadi rupa.

Saat menulis saya menjadi sangat rileks. Saat menulis saya menikmati membaca ulang, berulang-ulang tulisan saya. Saat menulis saya menikmati rupa dari pikiran dan hati saya.

Dulu hampir tiap saat saya menulis. Apakah itu senang sedih resah. Semua saya tumpahkan dalam kata. Uniknya adalah saya tidak pernah merencanakan apa yang akan saya tulis. Hanya tinggal menghidupkan komputer dan membiarkan jari menari di atas tuts. Kadang hasil tulisan saya berupa cerpen, kadang berupa puisi, atau kadang hanya bercerita. Saya suka sekali menulis. Saya betul-betul jatuh cinta pada kata.

Tapi itu dulu.

Sebelum era semua orang menggunakan tulisan.

Ketika datang era dimana orang-orang mencaci maki dengan tulisan, memperdebatkan sebuah kata, mempermasalahkan bahkan titik koma sebuah kalimat, saya kehilangan kata-kata. Saya tak bisa lagi memberi rupa pada pikiran dan hati saya karena tulisan saya seringkali dihakimi tanpa melihat arti dan makna komprehensifnya.

Saya begitu takut. Hingga tak lagi bisa menulis.

Bagi saya tidak lagi menulis itu bagai dikebiri.

Saya kehilangan kebebasan berekspresi. Kebebasan bermain dengan kata. Sesuatu yang sangat saya senangi.

Bagi saya ketika orang-orang menghakimi tulisan saya dan salah paham dengannya hal itu sangat menakutkan.

Maka saya menarik diri dan kata-kata tak lagi bermunculan.

Tapi ada saat-saat dimana pikiran dan perasaan saya butuh rupa, ingin saya ekspresikan. Terutama jika ada yang membuncah di hati, seringnya itu berupa kekhawatiran. Sayangnya seringkali saya salah pilih tempat untuk berekspresi. Saya lupa tidak ada tempat sebaik blog ini yang telah ada bagi saya sejak 16 tahun lalu.

Terima kasih, Blogger.

Monday, 14 December 2015

Amalan Baik

Suatu saat nanti ketika tak ada lagi cahaya maka hanya amalan yang menemani, semoga ia kelak berwujud sesuatu yang indah dan berbau harum, semoga amalan yang menemani nanti bukan sesuatu yang disesali, semoga kelak pemenangnya adalah kita dan gelap menjadi terang benderang. Amin.

Semoga untukmu dan untukku berikutnya adalah tumpukan amal baik. Amin.

Thursday, 29 May 2014

Wednesday, 28 May 2014

Mengapa?

Pernahkah bertanya mengapa Tuhan pilihkan aku untukmu?
Juga kamu untukku?

Sunday, 12 May 2013

Jangan Pecah

Ada apa ketika tidak ada? Ada apa ketika tidak ingin berdiri, duduk, melangkah, ataupun tidur? Ada apa ketika mulai mengepakkan sayap namun terhempas lagi? Ada apa ketika kepingan yang disusun berserakan lagi? Ada apa ketika mulai menaiki tangga namun terjatuh lagi? Ada apa ketika mulai beranjak namun tersudut lagi?

Ada apa?
Kenapa?
Mengapa?

Jika tak sanggup hidup, cukuplah dengan mengingat mati, kematian. Lalu tidak ada apa-apa dengan semua itu.

Jika tidak ada, tidak ingin berdiri, duduk, melangkah atau tidak bisa tidur. Jika terhempas ketika baru akan mengepakkan sayap. Jika kepingan yang disusun terserak lagi. Jika menaiki tangga lalu terjatuh lagi. Jika baru hendak beranjak lalu tersudut lagi. Tidak ada apa-apa. Itu hanya berarti segala sesuatunya harus diawali lagi.

Jadilah ada, berdirilah, duduk, melangkah, terlelaplah, terbanglah, rapihkan kepingan, naiki tangga, dan beranjaklah. Ingat saja, ingat saja mati, kematian.

Jangan pecah.

Friday, 29 March 2013

Kematian yang Manis

Segala sesuatu di muka bumi ini tidak satupun sejatinya milik kita. Ia akan hangus, hilang tanpa bekas. Ia akan menguap tanpa pernah teringat rupanya dalam indra penghidu kita. Ia akan melarikan diri dan tidak bisa dimintai pertanggungjawabannya kelak.

Segala sesuatu di dunia ini, sejatinya akan kita tinggalkan. Secantik apapun, sekuat apapun, sehebat apapun, sekaya apapun. Maka relakan, relakan, relakan, ikhlaskan, suatu saat semua akan dimintai pertanggungjawaban cara kita mengurusnya. Bahkan untuk hal kecil nan remeh temeh yang seringnya kita abaikan.

Maka ikhlaskan, ikhlaskan, ikhlaskan. Agar pintu gerbang menuju keabadian itu kita masuki dengan cara terbaik, cara termanis, dengan terang benderang. Kematian yang manis.

Pemilik Jiwa

Kenapa harus kaya?
Kenapa harus pintar?
Kenapa harus cantik?
Kenapa harus gagah?

Ada apa jika tidak kaya?
Mengapa jika tidak pintar?
Apa harus selalu cantik?
Dimana salahnya jika tidak gagah?

Kenapa mempermainkan pemberian Tuhan dengan persepsi?
Mengkotak-kotakkan pemberian Tuhan?

Segala sesuatu pemberian Tuhan sejatinya adalah nikmat, rejeki, anugerah. Persepsi manusia mengkotak-kotakkannya membuat suatu pemberian terasa nikmat dan pemberian lainnya sebagai "musibah". Persepsi manusia menjadikan manusia mengkotak-kotakkan caranya menikmati segala jenis pemberian Tuhan.

Seharusnya susah-senang, sehat-sakit, kaya-miskin itu adalah kondisi yang membuat manusia senantiasa bersyukur dan menikmatinya. Menikmati saat susah, menikmati saat senang, menikmati sakit, menikmati sehat. Bukan karena sehat kita bahagia, tapi karena saat sehat maupun sakit kita menikmatinya maka bahagia itu muncul begitu saja.

Segala sesuatu yang Allah beri sejatinya adalah nikmat, bagaimanapun bentuknya menurut persepsi manusia. Maka nikmati dengan syahdu. Karena Allah adalah sesuai persangkaan kita. Karena Allah yang mengetahui apa yang sesungguhnya baik walau terlihat tidak baik, dan apa sesungguhnya yang tidak baik meskipun terlihat begitu indah.

Jangan biarkan persepsi menyempitkan dan mengecilkan Allah yang Mahabesar. Pemilik langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya. Pemilik jiwa kita.

Wednesday, 27 March 2013

Langit dan Bumi

Namaku Rindu. Aku berjalan menyusuri langit. Langit tanpa tiang. Iya, langit yang tanpa tiang ini tersangga begitu gagahnya. Ia berubah menjadi hitam pekat saat hendak mengamuk dan meniupkan anginnya kencang-kencang. Lalu ia berubah menjadi biru, warna yang sangat jernih. Indah, sejuk, menyegarkan. Lalu jika beruntung ia dapat melukis pelangi yang ujungnya bahkan tak kan pernah bisa kau sentuh.

Namaku Rindu. Aku kini berjalan menyusuri bumi. Iya, Bumi. Tempat dimana lautan, pegunungan terhampar. Luas dan tak terbatas. Pernahkah engkau menyusuri satu titik lalu kembali ke titik mula? Jika pernah seberapa lama kau perlukan waktu untuk menyusurinya hingga kembali ke titik awal?

Namaku Rindu. Aku kini terdiam. Diam memandangi langit. Menikmati bumi. Mengapa aku dinamakan Rindu? Mungkin karena rinduku pada langit. Mungkin karena rinduku di bumi. Mungkin karena berada di antara dua titik dan tetap murni itu tidak mudah. Murni seperti langit. Murni walaupun berada di bumi.

Namaku Rindu.
Dan aku tahu.
Yang aku rindukan adalah bentuk termurniku. Seperti langit, walaupun sedang berada di bumi.

Saturday, 24 November 2012

Tanpa Mereka

Tak mudah untuk berlari. Tapi kita tetap mampu berjalan. Walau pelan, walau tertatih. Karena langkah kecil itu akan selalu menapak satu persatu. Tak perlu berlari karena waktu telah menghentikan putarannya untuk kita. Bukan karena kita tak mampu berlari. Tapi karena kita memilih menguasai waktu dalam langkah-langkah kecil kita. Kita: aku dan kamu. Tanpa mereka.

Iri

Ingin rasanya berada bersisian, berdampingan dengan teman-teman di lapangan yang sedang berjibaku tak kenal henti. Mereka diberi kesempa...