Manis. Senyum yang menghiasi wajahnya membuat ia makin menarik. Muslimah sopan satu ini selalu membuatku malu bila di hadapannya. Bagaimana tidak, tuturnya santun, gerak-geriknya lemah lembut. Berbeda denganku yang masih sradak sruduk ini.
Kadang celotehan-celotehannya membuatku tertegun. Suatu hal yang tampak kecil di hadapanku bisa berarti sangat besar baginya. Apalagi jika itu menyangkut masalah hati.
Sungguh aku perlu belajar banyak darinya.
***
“Sa, kok tak pernah menghubungiku lagi? Insya Allah mulai sekarang aku bisa membantu dalam penerbitan buletin kecamatan”, ujarku suatu ketika. “Oia? Afwan, soalnya ane pikir anti masih sibuk. Jadi ane tunggu anti yang menghubungi ane”, jawabnya. Jadi tertohok lagi. Tampak husnudzhan telah menjadi bagian dari kebiasaannya. Padahal sejak Agustus lalu praktis amanah lain sudah tak kupegang lagi. Hanya sibuk berbenah diri dan menikmati hari sebelum memasuki masa prako-as. Lagi-lagi malu aku di hadapannya.
***
Dua hari yang lalu Allah memberiku kesempatan menghabiskan waktu setengah hari bersamanya. Saat itu ada Aisyah, gadis kecil yang baru duduk di bangku SD. Aku baru berkenalan dengan Aisyah. Sedangkan Sa tampak sudah akrab dengannya. Aisyah ini anak yang cerdas. Kemarin dia melontarkan pertanyaan: “Teh, pernah nonton Uka-uka ga? Kalau disuruh ikutan acara itu berani ngga?”. Spontan aku menjawab, “ngga”. Dari dulu aku memang alergi dengan acara seperti itu. Sedang Sa, dengan bijaknya ia berkata: “Kalau teteh lihat dulu itu acara yang seperti apa. Acara seperti Uka-uka itu kan acara yang menganggu keberadaan mahluk gaib. Berarti kita sudah mengusik ketenangan mereka dan itu bisa membuat mereka tidak nyaman dan balik menganggu kita. Seperti anak harimau saja, kalau tidak kita ganggu ia tidak akan menganggu kita bukan? Jadi untuk berperan serta dalam acara itu, teteh bukannya ngga berani, tapi ngga mau”. Subhanallah, entah sudah kali keberapa ia membuatku termangu. Bukan hanya perkataannya tapi cara ia menghadapi Aisyah juga mengingatkanku untuk bagaimana menyikapi kekritisan seorang anak. Bukan jawaban ngasal seperti jawabanku tetapi jawaban bijak dan memberi pengertian yang kemudian kan bermanfaat bagi Aisyah. Duh Sa, aku ingin bisa seperti itu.
***
Kini rutinitasku sudah dimulai kembali. Ia pun sedang menata aktivitasnya lagi. Dan seperti dulu, kami akan jarang berjumpa. Tak akan rutin bertemu mungkin, tapi tiap pertemuanku dengannya selalu meninggalkan sekeping kisah di sini, di sudut ruangku. Sungguh Sa, aku ingin belajar banyak darimu.
from: Sa. 21/09/2004. 09:45
Jazakillah, semoga kemarin tergantikan dengan kemuliaan nan hakiki dariNya
Wednesday, 22 September 2004
Tuesday, 14 September 2004
meski tak sempurna
Harumnya mungkin tak semerbak melati
Indahnya mungkin tak seindah lembayung senja
Tak sempurna mungkin
Tapi polesan iman membuatnya semakin menawan
Tundukan malu membuatnya tak mudah tergoda
Kerlingan cinta membuatnya menjadi jenaka
Duhai cinta.. kuharap kau jadi bidadari surga-Nya
mbak, uhibukifillah :)
Indahnya mungkin tak seindah lembayung senja
Tak sempurna mungkin
Tapi polesan iman membuatnya semakin menawan
Tundukan malu membuatnya tak mudah tergoda
Kerlingan cinta membuatnya menjadi jenaka
Duhai cinta.. kuharap kau jadi bidadari surga-Nya
mbak, uhibukifillah :)
Monday, 13 September 2004
tolong bantu
Pak tua
Tolong buatkan sebuah kotak untukku disudut sana
Untuk menyimpan semua rasa, ingin dan pinta ini
Pak tua
Sediakan juga cermin di ruangan ini
Agar ia memantulkan isinya
Dan tolong pak
Bantu aku membersihkannya jika ia telah kusam dan tak bersinar lagi
Agar esok kilaunya kan seperti semula
meine Liebe Schwestern.. saling menyemangati ya
Tolong buatkan sebuah kotak untukku disudut sana
Untuk menyimpan semua rasa, ingin dan pinta ini
Pak tua
Sediakan juga cermin di ruangan ini
Agar ia memantulkan isinya
Dan tolong pak
Bantu aku membersihkannya jika ia telah kusam dan tak bersinar lagi
Agar esok kilaunya kan seperti semula
meine Liebe Schwestern.. saling menyemangati ya
Saturday, 11 September 2004
yakinlah Allah pasti menolong
Derit pintu itu mengusiknya. Sesaat ia tersadar, ah sudah tengah malam. Bagaimana ini, ia belum memutuskan satu hal pun untuk dilakukannya besok. Masih terngiang gurauan Pak Iwan: “Masa gitu aja ga bisa”. Sederhana memang. Tapi kata-kata itu begitu mempengaruhinya hingga ia tidak bisa tidur malam ini.
Iya, masa untuk melakukan hal ini saja tak bisa. Lantas kemana dulu ajaran-ajaran untuk saling menolong, mana ikatan ukhuwah itu, mana semangat untuk menjadi golongan orang-orang yang bahu membahu meninggikan kalimah-Nya.
Malu.
“Ri, belum tidur?”. Ai, kakak pertamanya heran melihat ia masih bengong di kamarnya sambil memegang Samsung E-700 yang baru dibelinya seminggu yang lalu. “Belum kak, ini masih harus sms teman-teman, besok ada acara mendadak ni”. Begitu dalihnya, padahal pikirannya sendiri masih tak menentu. Ia tidak perlu menghubungi teman-temannya. 0815, hanya nomor itu yang harus ia hubungi untuk mengkonfirmasi kehadirannya esok.
Ia melirik jam di kamarnya. Sudah 10 menit yang lalu sejak ia membatalkan janjinya. Tapi ragu itu masih menyelimuti. Benar tidak ya keputusan yang ia ambil. Sejuta alasan yang ia kemukakan lewat telepon tadi terasa seperti mengada-ada kini.
“Jadi besok Ri tidak bisa ya?”. Terputar kembali rekaman pembicaraan tadi.
Dan kini ia mengulang pertanyaan yang sama untuk dirinya. “Benarkah besok aku tidak bisa?”
Perlahan matanya memerah. Bulir-bulir air mata itu mulai jatuh. AstagfiruLlah. Maafkan ya Allah. Betapa egoisnya dirinya. Bukankah semua merasakan hal yang sama. Lelah dan penat. Maka seberapa besar pengorbanan dirinya esok hari jika dibandingkan pengorbanan Abu Bakar, Umar dan sahabat Rasulullah lainnya bagi Islam? Malu.
Allah tidak menjanjikan kesenangan dan kemudahan setiap harinya, tapi Dia janjikan di tengah kesedihan, kesusahan, dan kesulitan tangan-tangan penolong yang tiada berkesudahan.
Yakinlah Allah pasti menolong.
Perlahan diketiknya rangkaian huruf demi huruf: ”Aslm, insya Allah besok saya bisa hadir…"
Iya, masa untuk melakukan hal ini saja tak bisa. Lantas kemana dulu ajaran-ajaran untuk saling menolong, mana ikatan ukhuwah itu, mana semangat untuk menjadi golongan orang-orang yang bahu membahu meninggikan kalimah-Nya.
Malu.
“Ri, belum tidur?”. Ai, kakak pertamanya heran melihat ia masih bengong di kamarnya sambil memegang Samsung E-700 yang baru dibelinya seminggu yang lalu. “Belum kak, ini masih harus sms teman-teman, besok ada acara mendadak ni”. Begitu dalihnya, padahal pikirannya sendiri masih tak menentu. Ia tidak perlu menghubungi teman-temannya. 0815, hanya nomor itu yang harus ia hubungi untuk mengkonfirmasi kehadirannya esok.
Ia melirik jam di kamarnya. Sudah 10 menit yang lalu sejak ia membatalkan janjinya. Tapi ragu itu masih menyelimuti. Benar tidak ya keputusan yang ia ambil. Sejuta alasan yang ia kemukakan lewat telepon tadi terasa seperti mengada-ada kini.
“Jadi besok Ri tidak bisa ya?”. Terputar kembali rekaman pembicaraan tadi.
Dan kini ia mengulang pertanyaan yang sama untuk dirinya. “Benarkah besok aku tidak bisa?”
Perlahan matanya memerah. Bulir-bulir air mata itu mulai jatuh. AstagfiruLlah. Maafkan ya Allah. Betapa egoisnya dirinya. Bukankah semua merasakan hal yang sama. Lelah dan penat. Maka seberapa besar pengorbanan dirinya esok hari jika dibandingkan pengorbanan Abu Bakar, Umar dan sahabat Rasulullah lainnya bagi Islam? Malu.
Allah tidak menjanjikan kesenangan dan kemudahan setiap harinya, tapi Dia janjikan di tengah kesedihan, kesusahan, dan kesulitan tangan-tangan penolong yang tiada berkesudahan.
Yakinlah Allah pasti menolong.
Perlahan diketiknya rangkaian huruf demi huruf: ”Aslm, insya Allah besok saya bisa hadir…"
Thursday, 9 September 2004
matahari masih setia menyinari Jakarta
Matahari masih bersedia menyinari Jakarta. Menerobos masuk lewat kardus-kardus di tepian rel yang telah berubah fungsi menjadi rumah tinggal. Kumuh, gelap, dan entah berapa jenis hewan yang senang bermain-main disana.
Laju kereta pun sama apatisnya dengan kebanyakan orang. Melenggang dengan cepatnya tanpa peduli sedang apa mereka dibawah sana.
***
Peluh itu membasahi wajahnya. “ Es jeruk bu, segar”. Ucapnya berulang-ulang seraya berkeliling memegang baki berisi enam gelas jeruk dingin yang memang menggoda untuk diminum di tengah ramainya Pasar Tanah Abang.
“Wuih, kok asam begini”, terdengar olehnya seseorang berucap. “Gulanya sedikit kali”, timpal yang lain. Sebenarnya kalau bukan untuk menopang hidupnya di Jakarta dia pun tak ingin menjajakan es jeruk segar yang asam ini. Segera ia pindah ke blok lain. Tak lama kemudian riuhnya Tanah Abang pun bertambah dengan seruannya: “Es jeruk bu, segar”.
***
Fauzan, “jan” begitu biasa dia dipanggil, tinggal hanya terpisah beberapa meter dari rel kereta yang seharinya mungkin bisa dilalui 10-15 argo gede dengan rute Gambir-Bandung ataupun Bandung-Gambir. Sesekali jikalau kereta itu melambatkan lajunya, ia memperhatikan rangkaian gerbong-gerbong eksekutif itu sembari menunggu untuk dapat menyeberang rel. Kali ini pikirannya terbang, tak terusik gemuruhnya deritan kereta. Melekat dengan kuatnya kenangan saat ia berusia 11 tahun. Saat itu hidupnya pun tak ubah seperti mereka yang sedang menikmati dinginnya AC gerbong eksekutif. Ia dan ayahnya sering menghabiskan waktu bersama mengunjungi stasiun kereta api. Memandangi laju kereta yang datang dan pergi, dan kemudian berceloteh bagaimana suatu saat nanti ia ingin menjadi seorang masinis. Kenangan itu kemudian berganti menjadi gundah. Segundah hatinya ketika ayah yang dibanggakannya telah berganti menjadi seorang kerdil yang terbudakkan hatinya oleh kerasnya Jakarta. Dan hancurlah semua impiannya. Kini ia hanya bersama ibunya bertahan di tepian rel kereta dan memandangi laju kereta yang datang dan pergi tiap harinya.
Lamunannya lenyap ketika seseorang tanpa sengaja menyenggolnya. Ah, kereta itu telah melaju. Anak-anak kecil pun tengah berlarian menyeberangi rel kereta. Seulas senyum menghias wajahnya. Biarlah, bukankah kemuliaan itu hanya datang dari Allah. Yang ia yakini ia harus mengikhlaskan semuanya dan berusaha memperbaiki kualitas hidupnya. Allah pasti menolong. Toh matahari pun masih setia menyinari Jakarta.
Hari ini ini ia harus kembali ke Tanah Abang lagi. Tapi kali ini seruannya berbeda: “Es jeruk bu, segar. Tapi agak sedikit asam”.
--> oleh-oleh dari Jakarta :)
Laju kereta pun sama apatisnya dengan kebanyakan orang. Melenggang dengan cepatnya tanpa peduli sedang apa mereka dibawah sana.
***
Peluh itu membasahi wajahnya. “ Es jeruk bu, segar”. Ucapnya berulang-ulang seraya berkeliling memegang baki berisi enam gelas jeruk dingin yang memang menggoda untuk diminum di tengah ramainya Pasar Tanah Abang.
“Wuih, kok asam begini”, terdengar olehnya seseorang berucap. “Gulanya sedikit kali”, timpal yang lain. Sebenarnya kalau bukan untuk menopang hidupnya di Jakarta dia pun tak ingin menjajakan es jeruk segar yang asam ini. Segera ia pindah ke blok lain. Tak lama kemudian riuhnya Tanah Abang pun bertambah dengan seruannya: “Es jeruk bu, segar”.
***
Fauzan, “jan” begitu biasa dia dipanggil, tinggal hanya terpisah beberapa meter dari rel kereta yang seharinya mungkin bisa dilalui 10-15 argo gede dengan rute Gambir-Bandung ataupun Bandung-Gambir. Sesekali jikalau kereta itu melambatkan lajunya, ia memperhatikan rangkaian gerbong-gerbong eksekutif itu sembari menunggu untuk dapat menyeberang rel. Kali ini pikirannya terbang, tak terusik gemuruhnya deritan kereta. Melekat dengan kuatnya kenangan saat ia berusia 11 tahun. Saat itu hidupnya pun tak ubah seperti mereka yang sedang menikmati dinginnya AC gerbong eksekutif. Ia dan ayahnya sering menghabiskan waktu bersama mengunjungi stasiun kereta api. Memandangi laju kereta yang datang dan pergi, dan kemudian berceloteh bagaimana suatu saat nanti ia ingin menjadi seorang masinis. Kenangan itu kemudian berganti menjadi gundah. Segundah hatinya ketika ayah yang dibanggakannya telah berganti menjadi seorang kerdil yang terbudakkan hatinya oleh kerasnya Jakarta. Dan hancurlah semua impiannya. Kini ia hanya bersama ibunya bertahan di tepian rel kereta dan memandangi laju kereta yang datang dan pergi tiap harinya.
Lamunannya lenyap ketika seseorang tanpa sengaja menyenggolnya. Ah, kereta itu telah melaju. Anak-anak kecil pun tengah berlarian menyeberangi rel kereta. Seulas senyum menghias wajahnya. Biarlah, bukankah kemuliaan itu hanya datang dari Allah. Yang ia yakini ia harus mengikhlaskan semuanya dan berusaha memperbaiki kualitas hidupnya. Allah pasti menolong. Toh matahari pun masih setia menyinari Jakarta.
Hari ini ini ia harus kembali ke Tanah Abang lagi. Tapi kali ini seruannya berbeda: “Es jeruk bu, segar. Tapi agak sedikit asam”.
--> oleh-oleh dari Jakarta :)
Subscribe to:
Posts (Atom)
Iri
Ingin rasanya berada bersisian, berdampingan dengan teman-teman di lapangan yang sedang berjibaku tak kenal henti. Mereka diberi kesempa...