Friday 29 March 2013

Kematian yang Manis

Segala sesuatu di muka bumi ini tidak satupun sejatinya milik kita. Ia akan hangus, hilang tanpa bekas. Ia akan menguap tanpa pernah teringat rupanya dalam indra penghidu kita. Ia akan melarikan diri dan tidak bisa dimintai pertanggungjawabannya kelak.

Segala sesuatu di dunia ini, sejatinya akan kita tinggalkan. Secantik apapun, sekuat apapun, sehebat apapun, sekaya apapun. Maka relakan, relakan, relakan, ikhlaskan, suatu saat semua akan dimintai pertanggungjawaban cara kita mengurusnya. Bahkan untuk hal kecil nan remeh temeh yang seringnya kita abaikan.

Maka ikhlaskan, ikhlaskan, ikhlaskan. Agar pintu gerbang menuju keabadian itu kita masuki dengan cara terbaik, cara termanis, dengan terang benderang. Kematian yang manis.

Pemilik Jiwa

Kenapa harus kaya?
Kenapa harus pintar?
Kenapa harus cantik?
Kenapa harus gagah?

Ada apa jika tidak kaya?
Mengapa jika tidak pintar?
Apa harus selalu cantik?
Dimana salahnya jika tidak gagah?

Kenapa mempermainkan pemberian Tuhan dengan persepsi?
Mengkotak-kotakkan pemberian Tuhan?

Segala sesuatu pemberian Tuhan sejatinya adalah nikmat, rejeki, anugerah. Persepsi manusia mengkotak-kotakkannya membuat suatu pemberian terasa nikmat dan pemberian lainnya sebagai "musibah". Persepsi manusia menjadikan manusia mengkotak-kotakkan caranya menikmati segala jenis pemberian Tuhan.

Seharusnya susah-senang, sehat-sakit, kaya-miskin itu adalah kondisi yang membuat manusia senantiasa bersyukur dan menikmatinya. Menikmati saat susah, menikmati saat senang, menikmati sakit, menikmati sehat. Bukan karena sehat kita bahagia, tapi karena saat sehat maupun sakit kita menikmatinya maka bahagia itu muncul begitu saja.

Segala sesuatu yang Allah beri sejatinya adalah nikmat, bagaimanapun bentuknya menurut persepsi manusia. Maka nikmati dengan syahdu. Karena Allah adalah sesuai persangkaan kita. Karena Allah yang mengetahui apa yang sesungguhnya baik walau terlihat tidak baik, dan apa sesungguhnya yang tidak baik meskipun terlihat begitu indah.

Jangan biarkan persepsi menyempitkan dan mengecilkan Allah yang Mahabesar. Pemilik langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya. Pemilik jiwa kita.

Wednesday 27 March 2013

Langit dan Bumi

Namaku Rindu. Aku berjalan menyusuri langit. Langit tanpa tiang. Iya, langit yang tanpa tiang ini tersangga begitu gagahnya. Ia berubah menjadi hitam pekat saat hendak mengamuk dan meniupkan anginnya kencang-kencang. Lalu ia berubah menjadi biru, warna yang sangat jernih. Indah, sejuk, menyegarkan. Lalu jika beruntung ia dapat melukis pelangi yang ujungnya bahkan tak kan pernah bisa kau sentuh.

Namaku Rindu. Aku kini berjalan menyusuri bumi. Iya, Bumi. Tempat dimana lautan, pegunungan terhampar. Luas dan tak terbatas. Pernahkah engkau menyusuri satu titik lalu kembali ke titik mula? Jika pernah seberapa lama kau perlukan waktu untuk menyusurinya hingga kembali ke titik awal?

Namaku Rindu. Aku kini terdiam. Diam memandangi langit. Menikmati bumi. Mengapa aku dinamakan Rindu? Mungkin karena rinduku pada langit. Mungkin karena rinduku di bumi. Mungkin karena berada di antara dua titik dan tetap murni itu tidak mudah. Murni seperti langit. Murni walaupun berada di bumi.

Namaku Rindu.
Dan aku tahu.
Yang aku rindukan adalah bentuk termurniku. Seperti langit, walaupun sedang berada di bumi.

Iri

Ingin rasanya berada bersisian, berdampingan dengan teman-teman di lapangan yang sedang berjibaku tak kenal henti. Mereka diberi kesempa...